Cerpen
Oleh Sunu RH
dickoandika.wordpress.com |
Kupandang lekat potret seorang pria tegap berwajah klimis. Pancaran
matanya berkilau, menunjukkan seorang yang keras dan tegas. Jujur, aku tak begitu
karib dengan sosoknya. Ya, dia memang bapakku, tapi selama ini figurnya seperti
bayangan. Gambar gagahnya menyebar di dinding seantero ruangan rumah besar kami,
tapi auranya begitu asing.
Tak lama lagi aku akan menikah, dan sebagai calon mempelai
perempuan harus mempunyai wali. Bagi gadis lain tentu bukanlah masalah, tapi
bagiku? Begitu rumit dan pelik. Kehadiran pria itu telah tenggelam, jauh di
relung kecewa paling dalam. Sejak usia lima tahun aku merasa kehilangan kasih
sayang seorang Bapak. Dia memilih tinggal bersama keluarganya yang lain.
“Nduk kamu harus
menemui Bapakmu, dialah yang wajib menjadi wali bila kamu menikah nanti,” kata Ibu
mendengung jelas. Titah itu masih sama seperti tiga hari lalu yang menjadi
pangkal perselisihan kami. Malam itu aku bercerita pada Ibu kalau tengah dekat
dengan seorang pria. Hubungan kami telah berjalan dua tahun. Segera setelah
wisuda bulan depan nanti, Mas Kuncoro bermaksud melamarku. Dan dua bulan
kemudian rencananya pernikahan akan dilangsungkan.
Tercenung sejenak, pikiran bergulat bimbang. Semilir angin
membelai daun suplir dalam pot yang tertata rapi. Di beranda belakang inilah
biasanya Ibu membatik. Motif Sida Mukti
telah terpola pada kain mori yang membentang di gawangan. Jemari lentik Ibu lincah memainkan canting sembari bibirnya meniup, mendinginkan malam. Cairan lilin terlalu panas akan merusak tekstur kain yang
tipis.
“Bukannya Pakdhe Marto bisa menjadi wali, Bu?” Kulontarkan
pilihan lain. Wajah Ibu mendadak merona, tersirat dia tidak berkenan. Matanya
menatap tajam.
“Opo Nduk, kamu tadi ngomong apa?”
“Bu, kenapa mesti Bapak yang mesti menjadi wali Sekar?”
kuulangi pertanyaan berharap Ibu segera menanggapi.
“Nduk, Pakdhe Marto tidak bisa maleni kamu. Bapakmu masih segar bugar!”
“Tapi Bu, kehadiran Bapak seperti angin lalu, tak berbekas.
Coba berapa kali dalam setahun nyambangi
kita? Lalu salahkah bila Sekar menganggapnya
tidak ada?” Bantahku tak mau kalah.
“Siapa Nduk yang
mengajari kamu selancang ini? Ibu tidak menyangka kamu berpikiran seburuk itu
tentang bapakmu. Bisa kualat nanti
kamu Nduk,” Sebelum aku membuka mulut Ibu telah menyambung, bibirnya bergetar. “Kamu
tidak pantas berbicara seperti itu tentang bapakmu. Bagaimanapun dialah yang
mengukir jiwa ragamu. Seharusnya kamu hormat, bukan mencelanya!”
Ibu meletakkan canting beranjak menuju kamar. Tak lama kemudian
terdengar lirih sedan. Dia rupanya begitu kecewa dengan sikapku. Terpantik
sesal telah melukai hati wanita yang begitu mengasihiku itu. Seharusnya tidak
kutunjukkan kekesalan tentang Bapak secara terang-terangan. Ah, apa mau dikata
nasi telah menjadi bubur.
Asap malam
bergulung pekat, bau khasnya menguar. Setelah mematikan bara api dalam anglo, ku melangkah ke kamarku sendiri. Ibu
bila sedang ngambeg sampai pagi tidak
bisa diganggu. Biarlah besok saja meminta maaf, menunggu amarahnya surut.
***
Sampai hari ketiga Ibu masih marah padaku. Dia tetap
berbicara tapi kalimatnya serasa hambar. Tidak seperti biasanya terdengar
lembut dan sejuk di telinga.
“Ibu masih marah ya sama Sekar?” Pancingku mengawali
perbincangan, mencoba melumerkan suasana. Kulihat wajah Ibu masih menyiratkan
mendung. Kepalanya menggeleng pelan. Sikapnya membuatku salah tingkah. ”Lalu
kenapa Ibu diam saja?” Tanyaku memburu.
“Ibu tidak marah kepadamu, Nduk. Aku hanya kecewa dengan
ucapanmu.” Akhirnya keluar juga suara dari bibir Ibu.
“Ya Bu, Sekar minta maaf,” tukasku pendek.
“Nduk, bagaimanapun jeleknya orang tuamu sebagai anak kamu
wajib mikul dhuwur mendhem jero.”
Sebenarnya aku tidak sepaham dengan pendapat itu, ingin kuutarakan
keberatan tapi takut Ibu ngambeg lagi. Bila itu terjadi tidak baik untuk
kesehatannya. Beberapa bulan belakangan, Ibu didiagnosa lemah jantung. Jadi
lebih baik aku mengalah, tak ingin penyakitnya bertambah parah.
Cinta Ibu kepada Bapak begitu mendalam. Baginya Bapak adalah
lelanange jagat, tidak ada laki-laki
di dunia ini sesempurna Bapak di mata Ibu. Aku sendiri heran kok ada ya
perempuan seperti Ibu? Tapi ini adalah kenyataan, aku tak bisa memungkiri. Dia
layaknya Dewi Wara Sembadra dalam
cerita pewayangan yang rela melihat suaminya, Arjuna, berbagi kasih dengan wanita lain.
Ibu adalah istri pertama Bapak dan seharusnya dia lebih
banyak tinggal bersama kami. Dari segi materi aku dan Ibu memang tidak pernah
kekurangan. Setiap bulan Bapak selalu mentransfer uang dalam jumlah cukup. Tapi
kehadirannya dapat dihitung dengan jari dan itulah yang membuat hatiku begitu
kebas terhadapnya. Malah waktu SD aku sempat berpikiran Pakdhe Marto-lah
bapakku. Dia sering dimintai tolong mengambil raport, bila Ibu sibuk mengurusi
bisnis batiknya.
Awal kemasgulanku terhadap Bapak bermula ketika aku kelas
satu SMP. Waktu itu diadakan pentas seni di sekolah, dan aku terpilih sebagai
salah satu penampil. Rencananya aku akan menari. Serimpi, jenis tarian
tradisional dari Jawa Tengah yang kupilih. Tentu saja sebagai seorang anak akan
begitu bangga bila disaksikan oleh kedua orang tuanya. Dengan riang kusampaikan
keinginan itu kepada Bapak ketika menengok kami.
“Oh Sekar mau menari ya? Bagus, entar Bapak usahakan nonton
ya, Nduk,” janjinya sambil mengelus rambutku. Hatiku melonjak girang,
membayangkan betapa bahagianya nanti menyaksikan Bapak-Ibu tampil sarimbit di muka umum.
Dari atas panggung
mataku nanar mencari Bapak, tapi tak kujumpai sosoknya. Hanya Ibu dengan anggun
tersenyum padaku. Konsentrasiku sedikit terganggu, untunglah gerakan tari Serimpi
sudah aku kuasai dengan baik. Maklum sejak umur tujuh tahun aku telah berlatih
menari atas dorongan Ibu. Dia ingin aku mengikuti jejaknya yang piawai menari
tradisional. Gerakan Ibu yang begitu luwes ketika menari di satu acara membuat Bapak
terpikat. Hubungan pun berlanjut sampai ke jenjang pernikahan.
Segera, setelah tarian usai kujumpai Ibu dengan nafsu
memburu seorang anak yang memendam kecewa. Kutanya mengapa Bapak tidak jadi datang
padahal dia telah berjanji. Kata Ibu, Bapak ada urusan bisnis mendesak yang tidak bisa diwakilkan. Aku tak
percaya, itu alasan kuno yang sengaja dibuat. Belakangan aku tahu, kalau
ketidakhadiran Bapak karena dia menunggui kelahiran adik tiri laki-lakiku. Semalaman
aku menangis, benar-benar kecewa, merasa menjadi anak yang terbuang. Semenjak
itu hubungan kami semakin renggang kian menjauh.
Pernah suatu kesempatan aku mencoba mengobarkan api cemburu
di hati Ibu atas perlakuan tidak adil Bapak. Usahaku nihil seperti menggarami
air laut, berujung sia. Dengan air muka tenang dia menjawab, “Nduk, semua manusia
di dunia ini punya lelakon sendiri. Kita
hanya sekedar menjalani, sudah ada dalangnya,”
“Terus sampai kapan Ibu rela diperlakukan begini?” Desakku
tak rela dengan kepasrahan yang ditunjukkan wanita yang masih terlihat cantik
di usia menjelang setengah abad itu.
“Entahlah Nduk, aku pun tak bisa menjawab. Hanya Gusti Alloh
yang tahu. Ibu selalu nenuwun semoga
lelakon Ibu tidak kamu alami kelak.” Kutatap mata bening Ibu, kucari disana
apakah ada setitik sesal menjalani takdirnya. Tiada kujumpai, yang ada hanya
kepasrahan yang terpancar.
***
“Benar kamu akan
menemui Bapak sendirian, Dik?” Mas Kuncoro menatapku lembut. Sepertinya tak
begitu setuju dengan keputusan yang kuambil. Siang ini aku bertemu dengan Mas
Kuncoro, dan kuungkapkan rencana untuk menemui Bapak seorang diri. Kami memilih
tempat duduk di sudut agar pembicaraan tidak terdengar pengunjung lain. Biasanya
pada jam makan siang, restaurant Jawa ini penuh dengan karyawan yang hendak
mengisi perut.
“Iya Mas, biar aku saja dulu yang menemui Bapak. Setelah
semua benderang kita berdua menghadapnya.”
“Ya sudah kalau begitu. Pesan Mas kamu jangan mengumbar
emosi. Kurangi egomu, ingat ini semua demi masa depan kita berdua.” Pelan suara
Mas Kuncoro, menyegarkan seperti jus jambu yang baru saja tandas membasahi
kerongkongan. Beruntung aku mendapatkan calon suami seperti Mas Kuncoro.
Perangai kami bak bumi dengan langit. Aku memiliki sifat keras, sedikit manja,
dan bicara apa adanya kalau ada sesuatu yang mengganjal. Perpaduan karakteristik
dari Bapak dan Ibu. Sedangkan Mas Kuncoro berpembawaan kalem, dewasa, dan sareh.
“Percayalah Mas, Sekar akan berusaha merendahkan emosi,” jawabku
datar. Sebenarnya aku juga ragu, apakah nanti bila bertemu muka dengan Bapak
bisa menahan gejolak. Bila itu terjadi, perselisihanku dengan Bapak akan
semakin runcing. Kami berdua ibarat api dan bensin, mudah tersulut amarah.
“Kok diam Dik, ada masalah?”
“Ti…tidak Mas, nggak
papa. Makannya udah?” Tanyaku balik, menepiskan gugup. Mas Kuncoro
tersenyum simpul, pasti dia tahu aku
telah berbohong. Seperti biasa dia tak pernah mendesak. Sikap ngemongnya
inilah yang membuatku bertekuk lutut.
“Wah, udah waktunya Mas balik ke kantor. Banyak tugas yang
harus diselesaikan hari ini,” ujarnya bergegas beranjak dari kursi dan segera
kuikuti.
“Oh ya Mas, aku pulang naik taksi saja. Nggak usah diantar,
Mas nanti bisa terlambat masuk kantor,”
“Terima kasih ya Dik atas pengertiannya,” raut muka Mas Kuncoro
terbersit ketidaknyamanan, mungkin tidak enak membiarkan calon istrinya pulang
sendirian. Kuanggukkan kepala tanpa ragu, memastikan bahwa diriku baik-baik
saja. Kami pun berpisah siang itu di tengah terik yang membakar kulit. Debu
mengepul sepanjang jalan di tengah kepadatan padat merayap. Surabaya tak seperti
dulu lagi, kota ini telah menggeliat menyaingi Jakarta. Menjadi kota metropolis
baru.
***
Sudah hampir setengah jam pantatku menempel di sofa ruang
tunggu tamu ini. Belum begitu lama tapi membuatku seperti duduk di atas tungku.
Kutatap pintu yang bertuliskan nama dan jabatan Bapak di perusahaan ini, PERMADI
WIBOWO, DIREKTUR UTAMA. Begitu gagah dan mentereng, tapi tidak di mataku. Bagiku
lebih beradab bila Bapak tidak mempunyai kedudukan apa pun, tapi menjadi suami yang baik dan ayah tauladan bagi
anaknya.
“Mbak mau ketemu Pak Permadi, ya?” Ramah suara perempuan cantik seumuranku menyadarkan
dari lamun. Dia sekretaris Bapak. Senyumnya mengembang dari bibir tipis bergincu
merah muda. Aku mengangguk pelan.
“Ya, aku Sekar. Mau
ketemu Pak Permadi. Beliau ada?”
“Sudah buat perjanjian?” Ah, ketemu Bapak sendiri kok susah
amat sih? Harus janjian segala. Mungkin kalau Ibu tidak memberi amanah dan
menyangkut rencana pernikahanku, tak akan sudi
menemuinya.
“Aku putrinya Mbak, masak harus membuat janji juga?” Ekspresi
sekretaris itu mendadak berubah, mungkin sedikit terkejut.
“Oh, Mbak putrinya? Maaf tidak tahu. Sebentar ya saya ke
dalam dulu,” geli melihat perubahan sikap sekretaris itu, rupanya nepotisme
terbukti ampuh di negeri ini. Benarkan, tak
sampai lima menit aku telah dipersilahkan masuk ruangan.
Bapak tersenyum melihat kedatanganku. Kuedarkan pandangan
menjelajah dinding. Lukisan keluarga berukuran sedang terpampang. Gambar Bapak
dengan Tante Rukmini serta dua adik tiriku: Bondan dan Kamajaya. Ceria, berempat
memamerkan kebahagiaan. Tak ada gambar aku dan Ibu. Rupanya kehadiran kami tak
begitu lekat di hati Bapak. Rasa iri berkecambah, namun harus ingat akan tujuan
utamaku kesini.
“Tumben kamu ke kantor, Nduk? Pasti ada hal penting
yang ingin dibicarakan,” Bapak mengawali kalimat, ketika melihatku terbengong.
Entah mengapa lidah terasa kaku. Harus kuakui Bapak memang memiliki kharisma
tinggi. Di usia mendekati kepala enam tubuh tegapnya masih terlihat gagah dan
berwibawa. Apalagi penampilannya selalu rapi dan perlente.
“Begini Pak, kedatangan Sekar kemari untuk menagih kewajiban
Bapak sebagai orang tua,”
“Maksudmu opo tho,
Nduk? Bapak nggak ngerti. Coba ngomong yang jelas!” Bapak kelihatan bingung
dengan perkataanku yang berputar-putar. Dia memang tipe orang yang tidak suka
basa-basi.
“Sekar mau dilamar orang Pak, rencananya tiga bulan lagi
kami menikah,” Bapak tidak langsung menjawab, kini giliranku yang tak sabar
menunggu reaksinya. Lipatan dahinya menonjol, pertanda tengah berpikir keras.
“Oh begitu. Tentu kamu meminta Bapak menjadi walimu ya? Tunggu
dulu aku belum bisa menjawab saat ini.”
“Maksud Bapak apa sih? Bapak tidak setuju Sekar menikah?” Tanyaku
bercampur kesal. Emosi tersulut, tapi segera reda setelah teringat janjiku pada
Mas Kuncoro.
“Bagaimana Bapak bisa bilang setuju bila belum bertemu
dengan pria yang mau menjadi suamimu?” Bapak menghela nafas, nampak dia juga
berusaha menahan emosi. “Kamu anak perawan Bapak satu-satunya. Aku tidak rela
bila kamu jatuh di tangan yang salah.” Terkesiap juga aku mendengar perkataan
yang baru saja Bapak ucapkan. Lega mendengarnya, ternyata Bapak tak seburuk
yang kuduga. Dia masih mengkhawatirkanku.
“Baik akan aku minta Mas Kuncoro menemui Bapak,”
“Besok Minggu bakda Magrib suruh menghadap aku di rumah!”
“Rumah mana Pak?”
“Ya rumah Ibumulah, memang rumah siapa?” Mungkinkah kupingku
masih normal? Bukankah hampir dua kali lebaran Bapak tak pernah menjejak rumah
kami? Ah, itu tak penting lagi, sekarang harus kuberitahukan hasil pertemuan
ini secepatnya kepada Mas Kuncoro. Tentu saja sembari berharap Bapak memegang
teguh janjinya. Kalau ingkar, tak terbayang apa yang akan terjadi nanti…
***
Minggu hari penentuan telah tiba. Sejak pagi
resah menyelimuti. Menunggu Magrib seperti menanti turunnya hujan di kemarau
kerontang ini, begitu menjemukan. Sampai matahari tepat di ubun-ubun kerjaku
hanya mondar-mandir tak karuan.
“Wis tho Nduk
tenang saja, Bapakmu pasti setuju dengan pilihanmu,” Ibu mencoba menentramkan.
Tetap saja tak dapat mengurangi
kecemasanku.
“Gimana kalau Bapak tak suka dengan Mas Kuncoro, Bu?”
“Apa alasannya Bapakmu nggak setuju? Nak Kuncoro itu
orangnya ngganteng, sopan dan baik hati,”
“Tapi Sekar khawatir Bu, Bapak orangnya susah ditebak,”
“Percaya pada Ibu, Nak Kuncoro pasti jadi jodohmu,” Ibu
merangkumku dalam pelukannya, membuat perasaan yang sedang bergelora perlahan
mereda. “Sudahlah, sekarang kamu dandan yang cantik. Bukannya Nak Kuncoro mau datang
sebentar lagi?” Bagai disengat lebah, aku terhenyak. Pikiran kacau hampir saja
memporandakan rencanaku. Mas Kuncoro memang berencana datang jauh lebih awal
sebelum Bapak. Tentu saja aku harus tampil menawan di depan calon suamiku itu.
Apa kata Mas Kuncoro nanti bila wajahnya kuyu, seperti sayuran layu. Bergegas
aku ke kamar mandi, dan seperempat jam kemudian telah berdiri di depan cermin mematut
diri. Aku ingin penampilanku nanti membuat Mas Kuncoro pangling.
Panggilan Magrib telah lama berkumandang. Bapak belum juga
memberi kabar jam berapa dia akan datang. Kutelepon HP-nya di luar jangkauan,
SMS-pun tak berbalas. Mas Kuncoro kelihatan tegang, nampak dari mukanya tak
setenang biasanya. Ibupun setali tiga uang, sebentar-bentar ke meja makan
menengok apakah makanan yang dihidangkan untuk suaminya telah tertata rapi.
Hari ini Ibu memasak semua klangenan
Bapak. Mulai dari sambal goreng hati sampai sop iga sapi.
Jam dinding kuno berdentang delapan kali ketika sebuah sedan
kelabu memasuki halaman. Spontan kami beranjak menuju pintu memastikan
Bapak-lah yang datang. Kali ini dia datang sendirian tanpa ditemani sopir. Ibu
tergopoh menghampiri dengan senyum merekah. Diciumnya tangan Bapak dengan
takzim. Ah, Ibu memang istri yang berbakti, tapi mengapa Bapak tega mencarikan tandingan? Duh Gusti, semoga Mas Kuncoro
tak berkehendak seperti itu nanti. Tetap setia pada satu sisihan.
“Oh ini ya yang namanya Nak Kuncoro?” Tanya Bapak acuh ketika
Mas Kuncoro bersalaman. Matanya awas menyelidik. Bibirku sudah bersiap memprotes
sikap Bapak, tetapi urung. Mas Kuncoro memberi kode dengan kedipan mata kiri
agar aku bersikap lebih tenang.
“Kita makan malam dulu ya, Bapak sudah lapar nih,” apa-apaan
ini? Ditengah perasaan kami yang tak karuan Bapak masih saja tega mengulur
waktu. Sekali lagi Mas Kuncoro menunjukkan kedewasaannya, dia berbisik agar
mengikuti saja semua permainan yang Bapak gelar. Mungkin ini ujian untuk
melihat kegigihannya mendapatkanku.
Jarum pendek arlojiku
mengarah pada angka sembilan. Masakan lezat Ibu telah berpindah ke
lambung, dan kami pun telah kembali ke ruang tamu. Gusti, drama apa lagi yang
akan dipentaskan Bapak?
“Nduk Sekar, kamu sama ibumu bisa pergi sebentar? Aku sama
Nak Kuncoro mau ngomong berdua saja. Ini pembicaraan antara dua orang laki-laki
dewasa,” pinta Bapak berbaur perintah tegas.
“Tapi Pak…,”
“Sudahlah Nduk kita ke dapur saja. Turuti apa kata bapakmu,”
Ibu menggamit lenganku, aneh seperti kerbau yang dicocok hidungnya aku pasrah
mengikuti.
Sudah hampir satu jam pembicaraan berlangsung tapi belum
juga berakhir. Jarak dapur dengan ruang tamu memang berjauhan sehingga tak sepatah
kata pun terdengar. Kulihat mereka berdebat serius, kadang berganti dengan
senyuman dan tak jarang tawa Bapak pecah. Jujur sampai hari ini aku memang tak
begitu paham dengan pikiran laki-laki. Bahkan majalah khusus pria yang sengaja
aku beli hingga beberapa edisi pun tak mampu menguraikan dengan tepat.
“Nduk, coba kamu sebentar ke ruang tamu, unjukan mereka pasti udah dingin,” Ibu
menyorongkan nampan dengan dua cangkir kopi yang masih mengepulkan asap. Tentu
saja tanpa menunggu perintah kedua aku segera bergegas. Ini kesempatan yang
kutunggu sedari tadi untuk bisa sedikit mencuri dengar.
“Wah kamu datang tepat pada waktunya Nduk. Mata Bapak udah
berat nih,” segar wajah Bapak, semoga ini pertanda bahwa telah tercapai
kesepakatan seperti yang diharapkan. Ekor
mata melirik Mas Kuncoro, dia tengah asyik menghirup kopi yang kusuguhkan.
Ekspresinya datar, sembulkan tanya yang mulai meraja.
“Gimana Pak sudah ada keputusan?” Tanyaku penasaran.
“Kenapa Nduk, udah nggak sabar ya,” goda Bapak melihat
mukaku yang keruh. “Yo wis sana
panggil Ibumu kemari!” Serasa terbang kujemput Ibu, mengajaknya segera
bergabung dengan mereka.
“Nduk kamu sudah mantap diwengku
Nak Kuncoro?” Aku tak langsung menjawab. Kukira Bapak sudah tahu jawabannya,
mungkin saja hanya ingin memastikan. “Kalau diam itu berarti mau. Iya kan, Bu?”
Ibu hanya tersenyum simpul, pipiku hangat memerah dadu.
“Begini, Bapak setuju Nak Kuncoro menjadi suamimu. Ada satu
sikap yang membuatku mantap menjadikannya menantu. Nak Kuncoro, Bapak harap
Bapak-Ibumu segera kemari untuk nembung
Sekar. Kita tentukan hari yang baik untuk melangsungkan pernikahan!” Plong
rasanya mendengar ucapan Bapak, gumpalan di dada seketika lenyap. Biarlah kuabaikan
sementara pertanyaan yang mulai hinggap. Teka-teki tentang sikap Mas Kuncoro hingga mampu menaklukkan
kekerasan hati Bapak. Aku teramat gembira hari ini dan tak ingin pikiran lain
menggelayut.
***
Tiga bulan
berselang…
Tadi pagi aku sudah resmi menjadi Nyonya Kuncoro. Dengan
lantang Mas Kuncoro mengucapkan akad nikah penuh percaya diri. Detik itu juga
status kami berubah menjadi sepasang suami-istri. Di dalam kamar ini untuk
pertama kali aku akan melayani secara
syah suamiku. Harum melati bercampur sedam malam semerbak menjenjam. Hawa romantis
menenangkan jiwa yang telah tertaut.
Mas Kuncoro mengecup keningku dengan lembut, merambat
beralih ke bibirku yang mungil. Serasa
selusin kembang api bertaburan, bergemuruh dalam dada. Celakanya di saat
seperti ini teka-teki tiga bulan lalu tiba-tiba kembali mengawang. Kudorong
pelan Mas Kuncoro yang terlihat kaget.
“Ada apa Dik?” Tanyanya tak mengerti.
“Tunggu sebentar. Mas belum cerita padaku tentang kejadian
tiga bulan yang lalu?”
“Kejadian opo tho,
Dik?” Polos paras Mas Kuncoro memperlihatkan kebingungan.
“Tentang sikap yang
membuat Bapak menerima Mas sebagai calon menantu,” Mas Kuncoro tergelak mendengarnya
kemudian segera diredam, takut kedengaran orang di luar kamar. Para pekerja tengah sibuk membereskan peralatan
pesta yang baru saja usai.
“Betul Dik Sekar mau tahu?” Aku mengangguk gemas. Dia mendekat,
diletakkan bibirnya di telingaku. “Bapak
meminta Mas untuk bersumpah. Apapun yang terjadi Dik Sekar harus menjadi
istriku satu-satunya, tidak boleh diduakan. Dia tidak ingin aku mengikuti
jejaknya. Tentu saja aku menyanggupi, karena aku begitu mencintai Dik Sekar.
Semoga Gusti Alloh selalu menjaga rumah tangga kita kelak sampai kaken-ninen.”
Air mata haru meluruh tanpa terbendung. Gusti, puji syukur dengan
semua barokah-Mu ini. Semakin erat kuterbenam dalam dada bidang Mas Kuncoro. Malam
ini akan aku persembahkan mahkota terindah yang kumiliki untuknya…
Rumah Hijau,
16012013
Sunu Rh, adalah nama pena dari Joko Rehutomo. Bekerja sebagai PNS. Sekarang tinggal di Depok Jawa Barat. Bergabung dengan FLP Jakarta Angkatan 16
Catatan :
1.
Gawangan : media
untuk membentangkan kain
2.
Malam
: lilin untuk membatik.
3.
Canthing : alat untuk menorehkan (melukiskan) cairan malam agar terbentuk
motif
4.
Anglo : tungku dari tanah
liat.
5.
Maleni : menjadi wali nikah.
6.
Nyambangi : menjenguk, menengok
7.
Kualat : mendapat bala/karma.
8.
Mikul dhuwur mendhem jero : menjunjung tinggi dan hormat kepada orang tua.
9.
Dewi Wara Sembadra : tokoh wanita dalam pewayangan, istri Arjuna.
10.
Arjuna : Pandhawa urutan ke -3 dalam kisah Maha Bharata.
11.
Sarimbit : berdua, berpasangan
12.
Nenuwun : berdoa.
13.
Sareh : sabar.
14.
Pangling : tidak mengenali lagi, takjub, terpesona
15.
Tandingan : bandingan, madu, istri lain
16.
Unjukan : minuman
17.
Diwengku : dijadikan istri
18.
Sisihan : istri
19.
Nembung : melamar
20.
Kaken-ninen : kakek-nenek.