Oleh Hendra Sugiantoro
Tyler Currie, seorang guru di Sekolah Dasar Mildred Green, dibuat hampir tak percaya. Di antara
murid-muridnya yang duduk di kelas 4 ternyata ada satu murid yang tidak
dapat membaca. Mungkin memang terasa aneh, namun itulah kenyataannya. Di
sekolah tersebut Rommel Sales, nama murid itu, dinyatakan tidak akan
pernah bisa membaca oleh guru lainnya. Mungkin itu yang menjadi pertimbangan
untuk terus menaik-kelaskan Rommel sampai bisa ke kelas 4.
Kisah yang pernah dimuat majalah Reader’s Digest dan dituangkan kembali
oleh David K. Hatch dalam buku Everyday
Greatness (2006) itu menarik untuk disimak. Apakah Rommel Sales benar-benar
tidak memiliki harapan lagi untuk bisa
membaca? Tyler Currie pada awalnya memaklumi dan percaya begitu saja dengan
anggapan bahwa Rommel takkan pernah bisa membaca. Sebagai guru, ia terus mengajar
murid-murid di kelasnya. Yang menjadi tanda tanya, Rommel ternyata mudah
memahami apabila diberi pelajaran Matematika. Selain itu, ketika dibacakan buku-buku di depan kelas, Rommel bisa
memberikan tanggapan yang menakjubkan. “Mengapa Rommel tidak belajar membaca?,”
batin Currie.
Currie sebagai gurunya akhirnya
menyusun program khusus agar Rommel memiliki kemampuan membaca. Awalnya
dinamakan dengan program “Kata Comotan”. Setiap hari Currie membacakan buku
untuk didengarkan Rommel selama sekitar 10 menit. Tugas Rommel membaca satu
atau dua kata yang telah ditentukan. Sampai beberapa pekan ternyata Rommel
masih belum dapat membaca. Tak menyerah, Currie pun memutuskan untuk
mati-matian mengajar Rommel dengan menggunakan satu ruang tersendiri. Currie menamakannya
dengan “Proyek Membaca Douglas”. Frederick Douglas adalah seorang penulis dan
negarawan yang di masa mudanya juga harus berjuang keras untuk bisa membaca.
Pelajaran membaca pun dilakukan Currie kepada Rommel secara telaten dan tekun
meskipun harus diawali dengan mempelajari satu suara vokal dan satu suara
konsonan per minggu.
Currie terus mengajari Rommel dengan
penuh kesabaran dan keuletan. Perlahan tapi pasti, Rommel dapat belajar membaca
dengan kecepatan luar biasa. Setelah itu Currie memberi buku catatan kepada
Rommel untuk memulai setiap pertemuan dengan menulis. Tulisan pertama Rommel
dan itu berarti kalimat yang ditulisnya untuk pertama kalinya adalah “Aku suka
pasta”. Yang membuat Currie terpana, Rommel suatu ketika mengatakan telah membaca
buku Harry Potter and the Prisoner of
Azkaban.
Dari kisah di atas, ada banyak
pelajaran yang dapat kita petik. Perhatian yang diberikan Currie sebagai guru
adalah sebuah sikap tersendiri. Ia bisa saja terus mengajar kelasnya dan
mengabaikan Rommel sebagaimana guru-guru lainnya dari kelas 1 sampai kelas 3.
Namun, Currie terpanggil untuk memberikan perhatian secara individual.
Dampaknya ternyata menakjubkan: seorang murid kelas 4 SD yang dianggap tidak akan
pernah dapat membaca ternyata dapat membaca.
Di sekolah, ada sekian murid yang
mungkin seperti Rommel. Sebut saja murid yang rendah
kemampuan membacanya. Boleh jadi hal tersebut akibat tidak
adanya perhatian secara individual yang diberikan oleh guru. “Bukan Rommel yang
tak dapat belajar. Hanya saja kami tidak pernah mengajarinya,” ucapan Currie
yang perlu kita maknai secara bijak. (Sumber foto: viana-chuby.blogspot.com)
Hendra Sugiantoro,
Pegiat Pena
Profetik&Kontributor Bank Buku Jogja,
berdomisili
di Yogyakarta