Cerpen
***
Oleh Muhammad
Mak Al-Fine
http://eminxsgallery.multiply.com |
Meranggas
menyusuri tanah kering tak bertuan. Mencari segelas air melepas dahaga
tenggorokan yang sudah dirampas cahaya terang. Tanah berlipat-lipat mengadah
mencari celah sebesar-besarnya untuk menerima sebuah anugerah dari langit yang masih
bersih dengan kebiruan. Daun-daun berlipat kering. Merona warna kuning
kecoklatan. Ribuan pohon meranggas dadakan. Meninggalkan ranting-ranting
bertelanjang. Pohon mahoni masih meninggalkan keindahan, buah yang lonjong
berwarna coklat apabila mekar dan pecah akan menjadikan fenomena yang indah.
Ratusan biji kitiran jatuh malayang di udara.
Di
sawah yang terbentang di antara garis-garis melintang, membuat mata
terpental-pental cahaya. Rumput liar yang tahan akan cahaya terus tegak
melihatkan keelokan. Sawah bukan tempat tumbuhnya padi lagi. Kini hancur di
makan kemarau panjang. Sawah tadah hujan yang terbentang di sisi salatiga
paling barat. Dulu sebelum ada perumahan dumai. Pengairan dari Salatiga
berjalan lancar. Sehingga lahan sawah bisa digarap setiap waktu. Setelah
berdiri bangunan-bangunan kokoh itu. Pengairan terputus.
Di perbatasan
salatiga dengan Kabupaten Semarang. Terbentang lebar sawah berpenghuni. Mata
air yang tak pernah surut menjadi modal utama untuk menghidupkan sawah itu
terus menumbuhkan beratus-ratus padi. Tak ada yang menandingi kesuburan tanah
yang bertuan setiap hari. Orang-orang mengumpat iri. Dendam tak berperi.
Menangisi kekikiran pemilik sawah yang penuh dengan air berisi. Meskipun
sebagian sawah lain terisi dengan sisa air yang sudah basi.
Mbah
Pasi tidak peduli dengan ocehan tetangga-tetangga yang grundeli. Ia
santai-santai saja menikmati sawah yang setiap hari digarap. Tanpa risih badan
sudah berwarna hitam pekat menggantikan warna alami. Dia memikirkan bagaimana
sawahnya bisa hidup setiap hari. Bermodal tenaga dan ketekunan setiap hari,
dengan ditambahi ejekan para petani yang meremehkan usahanya mencari mata air
di tanah kering ini. Usaha dalam doa turut mengiringi. Mbah Pasi dengan pasti
dan keyakinan tinggi, terus mencari.
Alhasil.
Tanah yang semula kering berbulu rumput liar. Kini tiap hari bermandi air dari
hasil keringatnya sendiri. Semua petani jadi iri. Mereka ingin mencuri tapi Mbah
Pasi selalu menjaga dengan hati berteduh di sawah setiap hari. Dikerahkan
lelembut untuk menjaga di malam hari.
“Kenapa
kamu di sini?” Tanya Mbah Pasi, geram.
“Ampun
Mbah. Saya minta maaf. Saya sudah berani mencuri air milik mbah?”
“Enak
saja minta maaf. Dulu kamu dan teman-temanmu mengejekku setiap hari bahkan tak
segan-segan melempar kotoran kalian ke mukaku. Sekarang ke sini mencuri sesuatu
yang kalian ejek dulu. Apakah itu patut kalian lakukan?”
“Saya
kilaf Mbah. Tolong lepaskan. Lumpur yang menjerat kakiku sejak tadi malam. Saya
tidak akan mengulangi lagi, Mbah”. Sambil menahan dingin, bau kotorannya
sendiri sudah mengeras di celana.
Kejadian
pagi buta itu menyebabkan Jumadi kualahan atas tingkah lakunya mencuri air
milik Mbah Pasi. Tapi dalam hatinya masih bergejolak iri dan dendam atas
perilaku anak buah Mbah Pasi. Ia pulang dengan pakaian penuh lumpur yang
bercampur dengan air kencing dan kotorannya.
Mbah
Pasi terus menjaga sawah dan mata airnya dengan ketat. Padi yang mulai
menguning mengundang burung-burung untuk melakukan penganiayaan yang keras. Orang-orangan
ditancapkan di setiap sudut dan tengah sawah. Burung-burung masih bergerak akan
nalurinya. Mereka tidak gentar dengan patung yang terbuat dari jemari, berbaju
manusia dan bercaping miring.
Mbah
pasi tidak kalah otaknya dengan keberanian burung-burung emprit. Ia membuat
kincir angin yang bisa menimbulkan bunyi. Namanya otok-otok. Pertama
kali ditancapkan di tengah sawah, burung-burung sepi menghampiri padi yang sudah
renyah untuk digiling. Mbah Pasi tersenyum atas akalnya yang bisa mengusir
burung-burung itu. Meskipun ada satu dua yang masih nekat mencuri secuil padi.
Mbah Pasi terus waspada. Ia tahu bahwa burung emprit seperti manusia. Hari ini
mereka takut. Tapi keesokan harinya pasti berani datang untuk melakukan
aksinya.
Benar
sekali apa yang dipikirkan Mbah Pasi. Ribuan burung emprit menyerbu dengan ganas.
Berlari-lari menyusuri galengan sawah. Mengusir sayap yang belum sampai
menginjakkan kakinya di tangkai pohon padi.
Seharian
tanpa henti digoda burung-burung kecil berwarna coklat. Ia harus memutar otak.
Ia ciptakan alat baru berupa kaleng di gantungkan di sepanjang sawah dengan
tiang yang berurutan. Tong berbunyi ketika di tarik-tarik tali yang saling
menyambung. Ia tidak lagi berlari-lari. Cukup berteduh di gubuk kecil. Suara
itu mengagetkan burung-burung emprit. Ada segerombolan emprit yang membesi dan
tuli asik memakan padi yang kuning keemasan. Mbah Pasi sudah sedia jaring
besar, lempar seketika mengenai kelompok emprit yang tertangkap jebakan. Jadi
makanan siang. Disembelih dan dibakar.
***
Panen
sudah di depan mata. Mbah Pasi tidak menyuruh tetanga-tetangganya untuk
membantu memanen padinya. Tapi ia menyewa para penebang padi dari luar desa.
Padi dimasukkan ke karung. Kemudian diangkut ke tempat penggilingan. Langsung
terbang ke tengkulak-tengkulak pasar.
“Alhamdulillah,
Bu. Hasil panen padi kita selalu meningkat tiap panennya,” ujar Mbah Pasi ketika
sedang beristirahat di teras rumahnya.
“Tapi
bapak tidak boleh sombong dan tafakkur. Kasihan tetangga-tetangga kita, Pak.
Mereka membutuhkan air untuk sawah mereka di kala musim kemarau”.
“Mereka
ya harusnya menanggung apa yang mereka lakukan kepada bapak dulu. Mereka
mengejek bapak waktu mencari sumber air di sawah kita. Tiba-tiba mereka
merengkek minta belas kasih. Cuih. Bapak tidak akan mengalirkan air itu ke
sawah mereka,” jawab nya.
“Apa
bapak tidak tahu yang terjadi setelah si Jumadi semalaman di sawah Bapak?”
“Memangnya
ada apa dengan Jumadi”
“Denger-denger
dari tetangga. Ketika ibu membeli sayur di pasar, Jumadi tidak terima dengan
apa yang bapak lakukan. Terutama makhluk lelembut yang Mbah pelihara”
“Ya
silahkan kalau dia tidak terima”.
***
Malam
bertabur bintang melambaikan sayap untuk pergi menghindari mentari yang sudah
mencolok-colok cahanya. Mbah Pasi dengan
peralatan sawah sudah siap. Membajak, mencangkuli, memperbaharui dan mengairi
sawah.
“Saya
mau cuci muka dulu di tempat mata air. Boleh to, Mbah?” Pinta tukang traktor
yang disewa Mbah dari desa sebelah.
Tukang
traktor langsung menuju ke tempat sumber air hasil pencarian selama tujuh hari
tujuh malam.
“Saya
bajak sawahnya setengah hari saja, Mbah. Sisanya besok saja”
“Tidak
apa-apa. Biar nanti saya cicil sendiri dengan cangkul. Ya sambil membuat galengan
biar mulus”
***
Petang
menjemput. Mbah Pasi sudah minum kopi di atas kursi malasnya. Istrinya
menyediakan masakan kesukaan suaminya. Nasi kuluban, sambal kelapa di tambah lauk
ikan asin. Tapi petang ini Mbah Pasi masih di sawah. Istrinya kuatirkan suaminya
itu. Ia menyusul ke sawah. Menelusuri jalan setapak yang sekaligus sebagai
pembatas sawah. Dari jauh Mbok Yem sudah mengarahkan cahaya senter ke gubuk
suaminya. Namun tak ia dapatkan Mbah Pasi di sana. Semakin cepat ia berjalan
menuju gubuk. Semakin gusar pula keadaan hatinya.
“Bapakkkk…….”
Mereka
menghabiskan malam bersama lumpur yang mbah Pasi ciptakan. Tangisan lelembut
meraung-raung. Terbang di atas perkampungan. Ada yang mendengar adzan, kemudian
meneruskan tidurnya. Telinga yang peka segera keluar mencari sumber tangisan
itu.
Segerombol
rombongan masyarakat yang resah dengan suara aneh. Berkumpul pada satu titik, tepat
di tubuh Mbah Pasi yang sudah kaku penuh lumpur. Belum ada satupun yang berani
mengangkat nyawanya, sebelum ahli spiritual datang.
Di
balik kegelapan, semak-semak kecil ada sekolompok orang tertawa sinis.
Bersalaman. Puas.
M Maksum (Muhammad Mak Al-Fine), tinggal di dusun Brajan yang
terbelah JLS, Desa Blotongan, kota Salatiga, Jawa Tengah. Beberapa karyanya
dimuat di media massa. Sekarang mengabdi di MI Global Blotongan Salatiga dan
dengan teman-teman mendirikan SGK (Sanggar Gubuk Kata).