Cerpen
Oleh Azid
Fitriyah
kfk.kompas.com |
Kamar
berukuran 2x3 meter ini aku diami sendiri. Tergeletak sebuah ranjang tidur
setinggi perutku yang cukup ditiduri satu orang. Di sebelahnya berdiri lemari
yang tingginya sama tinggi dengan ranjang. Di langit kamar terdapat lampu 5
watt yang hanya bersinar pada malam hari. Tak ada perabot lain. Tak ada
ventilasi udara selain pintu itu. Pengap.
Teringat pertama aku
marah dipindah ke kamar ini. Karena aku sendirian, tak ada yang menemani. Aku
tak bisa lagi menyapa matahari. Meneguk manis semburat bulan. Bahkan aku mulai
lupa bagaimana nikmatnya terik matahari dan
indahnya bulan.
Aku
terkurung sepi di sini, meski di luar terdengar cekikan tawa memekakan telinga.
Entah suara siapa. Tapi semakin aku mendengar, kian nyaring pula. Aku takut
keluar kamar. Aku takut karena tawa-tawa itu menghinaku. Aku takut pada mereka.
Mendengar tawanya, bulu kuduk merinding. Tubuhku kaku. Bibirku bergetar menahan
kelu.
Aku
duduk bersandar tembok kamarku. Mendekapkan kaki ke dadaku. Mengikat erat kaki
dengan kedua telapak tanganku. Peluh deras memancar menyelimuti tubuhku. Bergetar.
Ketakutan. Dan saat-saat inilah aku butuh dia, yang datang di kala sepi. Menemani
hari-hariku.
Ada
seberkas cahaya dan angin semilir yang menghembus. Aku tahu dia datang. Dia
datang mengunjungiku. Dialah teman, keluarga, kekasih, sekaligus dokter. Dia
segalanya bagiku. Melalui sela-sela pintu yang tertutup rapat, ia mencari celah.
Ia hadir bersama dengan angin. Aku dapat mendengarnya, tetapi tidak dapat melihatnya.
Aku
dapat merasakan sentuhannya, tapi aku tak dapat menggambarkan bentuknya. Ia
hadir bersama dengan benih-benih harum bunga yang menambah ketakjubanku
padanya. Membuat ruangan pengap ini menjadi harum tubuhnya. Begitulah dia.
Teduh.
Aku
terhenyak dari tempatku. Aku berdiri. Ketakutan mulai lenyap dari tubuhku, tapi kecemasan mulai menjulurkan tangannya ke tubuhku. Aku
tak menemukannya.
“Kamu
dimana?” Kuarahkan mataku mengelilingi kamar ini. Tapi aku tak melihat
sosoknya. Aku teriak lagi sekencangnya. Mungkin ia tak mendengarku.
“Kamu
dimana?” Aku mengobrak-abrik tempat tidurku. Mungkin ia sedang bersembunyi. Ia
mengajak main petak umpet, batinku. Tak ada tempat untuk bersembunyi dalam kamar ini. Kecuali
lemari. Pasti dia di dalam lemari. Yakinku.
Pandangan mengarah pada kumpulan batang kayu yang
berbentuk balok itu. Dengan perlahan namun pasti kakiku mengarah dan mendekati lemari.
Membuka pintu gagang lemari yang terbuat dari kayu.
***
“Hayo….sudah
aku tebak kamu pasti di sini”
“Ah kau
ini, bagaimana kau tahu aku bersembunyi di sini?”
“Apa
yang tak aku tahu. Aku ini penguasa negeri ini. Jadi jangan bermain seperti
anak kecil. Kau paham!!”
“Ya…aku
paham. Kau pintar, kaya, cantik, dan masih muda”
Aku
mengangguk dan tersenyum mendengarnya. Ia memang pandai menghiburku. Dan saat
ia datang aku tak merasa takut lagi. Aku merasa tenang. Tak kudengar lagi
cekikan tawa di luar sana. Selain suara Teduh. Aku merasa di bumi ini hanya ada
aku dan Teduh.
“Hari
ini kau akan mengajakku ke mana?”
“Heh…dulu
kamu berteriak saat melihatku dan takut saat aku mengajakmu pergi. Tapi sekarang
kamu justru yang tak sabar”
Aku
hanya tersenyum.
“Kenapa
kamu selalu tersenyum. Kamu pikir senyummu itu manis?”
Aku
hanya tersenyum. Lagi.
“Baiklah.
Kamu tahu kan apa yang harus kamu lakukan?” Ia menatap mataku. Lekat.
Aku
mengangguk. Ku tutup mataku. Aku merasakan sentuhan tangan Teduh. Kemudian berubah
menjadi angin, memutari tubuhku. Meski ini bukan untuk pertama kali. Tapi,
angin selalu berhembus dengan rasa yang berbeda. Dan dia juga selalu mengajakku
ke tempat yang berbeda.
Aku bisa
merasakan bisikan suara angin, yang menyuruhku membuka mata. Ku buka mataku
dengan sudut lurus mengarah pada mereka.
Terlihat
hamparan daun yang berdendang bersama angin. Memutari pohon-pohon yang
menjulang tinggi, menari diantara cabang-cabangnya. Dipandu sejoli merpati
dengan kepakan sayap-sayap cinta di antara mereka. Kebahagiaan mereka terpancar
jelas. Tempat ini indah.
Andai
mereka berwarna biru. Pasti lebih indah. Batinku.
Tiba-tiba
ada hembusan angin kecil yang menyelinap di antara aku dan Teduh. Dan membuatku
mengedipkan mata. Sekejap saja. Saat ku buka mata. Aku terhenyak melihat apa
yang ku lihat.
“Tempat
apa ini?”
“Selamat
datang di kota angan-angan,” sambutnya.
“Ini
adalah angan-anganmu. Kenapa kamu harus kaget dengan angan-anganmu sendiri?” Tambahnya.
Kakiku
masih menginjak tanah yang sama, sedangkan mata, kuarahkan ke mana saja.
Memutari apa saja yang bisa aku lihat. Aku kini ada di puncak gunung. Ada yang
berbeda. Bukan tempatnya, tapi warna. Merpati tak lagi berwarna putih terang, tanahnya
pun tak lagi hitam kelam. Rumput itu, pohon-pohon tak lagi hijau.
Air yang
mengalir itu berwarna biru bening. Dan kabut itu menari-nari di atas hamparan
langit yang biru kelabu. Bahkan cahaya mentari berwana biru terang.
Semua hamparan itu berwaran biru.
Aku
tak tahu harus berkata apa. Mataku hanya bisa menikmati keindahan-keindahan
ini. Sedang mulutku terbungkam dengan ketakjuban mataku.
“Ayo,”
ajak Teduh.
Ia
meluberkan pandangan mataku kearahnya.
“Kemana?”
“Jalan-jalan”
Ia
menengadahkan tangannya untukku. Aku menyambutnya. Ia mengajakku mengelilingi tempat
ini. Aneh. Tadi aku ada di dataran yang penuh dengan rumput, yang meski diinjak berulang kali ia
tak akan berontak. Lalu aku ada di puncak gunung, puncaknya kehidupan. Tapi kini aku sudah ada di aliran
sungai kecil. Ini seperti mimpi. Aku bisa berpindah tempat secepat mungkin.
Aku berjalan di atas aliran sungai kecil
yang berwarna biru bening. Tanpa tenggelam. Aku bisa dengan jelas melihat
ikan-ikan di bawah sana yang menyingkir karena kedatanganku, lalu mereka
mengikuti, mengawalku melihat kota ini.
Pohon-pohon
tunduk melihatku. Merpati yang terbang, berhenti dan mendarat menundukkan
kepala mengepakkan sayap kanan ke dada mereka. Rumput pun tunduk menyambutku. Semua tunduk padaku. Aku
tersenyum tipis. Aku terus mengikuti aliran sungai biru bening ini. Membawa
mataku melihat keindahan yang lain.
Tapi
belum lama berselang. Aku mulai bosan dengan tempat ini. Semua berwarna biru. Semua
tunduk, patuh melihatku. Aku tak tahu apa yang ada dipikiranku. Tiba-tiba
pertanyaan itu langsung keluar dari mulutku.
“Teduh,
kenapa kau tak pernah mengajakku pergi ke langit? Aku ingin melihat bumi dari
atas sana. Aku ingin merasakan bahwa bumi ada di bawahku.”
Ujung bibir kananya tersungging tipis.
“Begitulah
sifat manusia. Takkan pernah puas dengan apa yang sudah ada dalam
genggamannya.”
“Apa
maksudmu?”
“Ingatlah
di atas langit masih ada langit. Meskipun aku mengajakmu ke langit pasti kau akan meminta yang lebih tinggi lagi, Lagi dan lagi,”
Aku
terperanjat mendengarnya.
“Meskipun
kau menghadap jauh ke langit sana. Tapi tetap kakimu menginjak tanah di bumi ini.
Dan kau takkan pernah bisa jauh darinya,” timpalnya lagi.
Aku merasa
kata-kata yang terucap dari dua bibirnya itu suatu tamparan di gendang telingaku.
Tiba-tiba dipikiranku terlintas jelas gambar-gambar kehidupanku.
***
Aku
yang pintar dan ambisius. Semua yang aku targetkan tak pernah meleset. Aku
aktif mengikuti suatu
LSM di Jakarta. Dari situ aku mulai mengenal
salah seorang anggota DPR yang ia rela membiayai kuliahku hingga aku menyandang
gelar magister. Lewat laki-laki itu pula aku mulai banyak mengenal orang-orang sejawat
denganya. Saat itu aku mulai mengenal hitam putih politik. Aku memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai anggota
legislatif. Aku yakin aku
akan menang karena banyak orang yang mendukungku.
Tak
sedikit biaya yang aku keluarkan. Tabungan, deposito, sertifikat rumah pun aku gadaikan
untuk menarik massa. Segala cara kugunakan.
Dari memanggil para
wartawan saat mendatangi
warga-warga kumuh di pelosok
kota sebagai dalih kepedulianku, mengunjungi para kyai-ulama dengan alih meminta restu. Tak lupa aku pergi ke dukun
untuk melancarkan misiku.
Hingga pemilu tiba, tak dinyana, apa yang aku pikirkan berbeda dengan kenyataan. Aku
kalah telak. Dan hartaku terkuras habis untuk pemilu. Laki-laki yang selama ini jadi penopang hidupku, masuk penjara karena
kasus korupsi.
Semenjak
itu, aku sering uring-uringan, senyum-senyum sendiri. Dan itu membuat orang-orang di sekitarku
resah hingga membawaku ke tempat ini.
Persetan dengan politik. Tak ada yang putih di dalamnya. Hanya ada hitam yang tertutupi putih dan hitam
yang makin kelam.
Gambaran
masa laluku buyar. Saat teduh mulai mendekatkan tubuhnya ke arahku. Mendekapku.
Aku merasa ada aliran baru di dalam tubuhku. Teduh sepertinya hanyut masuk ke dalam
ragaku. Kami menyatu. Memecahkan belenggu dan seluruh alam memberontak
membanting tubuhku.
Tapi
aku tak merasa sakit.
Tubuhku
terpenjara, namun Jiwaku telah menggembara ke wilayah yang tak terbatas. Dan
tak seorang pun dapat menjangkaunya. Meski banyak hembusan nafas-nafas di sekitarku,
mereka takkan percaya dengan ceritaku. Yang mengakibatkan aku selalu mengenakan
warna biru. Aku bersama di dalam kerumunan jiwa-jiwa yang telah lepas bebas.
Orang-orang yang jiwanya masih terkungkung di dalam tubuh mereka yang sempit, sering
menyebut tempat ini rumah sakit jiwa.
***
Aku tergelatak
di lantai. Lalu bungun. Tubuhku terasa ringan tak ada
beban. Ada yang membuka pintu. Gerombolan orang yang memakai warna putih. Seorang
dokter dan dua perawat. Mereka menghampiriku dan menembus tubuhku. Sontak kaget.
Aku teriak tapi mereka tak mendengarku. Salah satu perawat menghampiri lemari
yang tertutup rapat di depanku. Membuka pintu dan mengeluarkan tubuh
seorang wanita yang telah
membiru. Dia adalah aku.
Azid
Fitriyah,
asal Tlogoreji 04/III Karangawen, Demak. Mahasiswi Tadris
Matematika Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang