Cerpen
Oleh Marta Mahardika
pixabay.com |
Sudah sebulan ayah sakit. Sebelah tubuhnya lumpuh. Kata dokter
Puskesmas yang memeriksa, ayah terserang stroke. Sebelumnya, ayah mengidap
darah tinggi dan gejala jantung koroner.
Sebagai penyair yang kerapkali tampil baca puisi di depan
publik dan puisi-puisinya banyak dimuat di koran-koran, sakitnya ayah kemudian
diberitakan koran lokal karena seorang wartawannya kebetulan sahabat ayah.
Wartawan itu sempat datang menjenguk ayah, lalu berkata kepada ayah dan ibu
bahwa dia akan segera memberitakan kondisi ayah agar banyak sahabat dan
pejabat-pejabat daerah bersedia datang menjenguk. Wartawan itu tampak iba
melihat keadaan ayah.
“Mudah-mudahan Pak Bupati dan pejabat-pejabat bawahannya
bersedia datang menjengukmu,” kata wartawan itu.
Setelah wartawan itu meninggalkan rumah kami, ibu berkata
kepada ayah. “Kita berdoa saja semoga Pak Bupati dan pejabat-pejabat daerah
serta sahabat-sahabatmu bersedia datang menjengukmu dan memberimu uang.”
Ayah menukas. “Jangan terlalu banyak berharap. Aku ini
hanya penyair. Sejak dulu aku dianggap terlalu berani mengkritik pemerintah
lewat puisi-puisiku. Kalau Pak Bupati dan pejabat-pejabat daerah membaca berita
tentang keadaanku sekarang, mereka justru mungkin berharap semoga aku segera
mati.”
“Jangan berprasangka buruk seperti itu. Sebaiknya berdoa
saja semoga mereka iba kepadamu, lalu bersedia datang memberimu uang untuk
berobat,” sergah ibu.
Ayah kemudian tersenyum kecut.
***
Sehari kemudian wartawan itu datang lagi membawa koran
yang memberitakan keadaan ayah. Aku dan ibu segera membaca berita itu. Dalam
berita itu, ayah digambarkan sedang tergolek sakit setelah terserang stroke.
Ayah sangat ingin dirawat di rumah sakit, tapi tidak punya biaya.
“Setelah membaca berita tentang keadaanmu, pasti Pak
Bupati dan pejabat-pejabat daerah segera datang kemari memberikan sumbangan
uang,” ujar ibu. Tampak ibu sangat mengharapkan bantuan karena memang sedang
membutuhkannya.
“Biasanya, orang-orang penting seperti Pak Bupati dan
pejabat-pejabat daerah suka membawa bunga jika menjenguk orang sakit,” ujarku.
Sebagai seorang gadis, aku sangat suka bunga. Dan aku pernah iri ketika seorang
anak Pak Lurah wafat kemudian Pak Camat datang melayat membawa karangan bunga.
Aku juga pernah iri ketika melihat seorang teman sekolahku
yang sakit dan dibesuk kerabatnya yang kebetulan seorang pejabat karena pejabat
itu datang membawa karangan bunga mawar putih.
Sehari berikutnya, ternyata memang ada seorang pejabat
daerah yang datang membawa karangan bunga mawar putih. “Ini dari Pak Bupati.
Beliau sangat bersimpati kepada Anda,” ujarnya sambil menyerahkan karangan
bunga mawar putih itu kepada ayah.
“Terima kasih,” kata ayah sambil menciumi bunga mawar
putih itu. Kulirik ibu tampak cemberut melihat ayah menciumi bunga mawar putih
itu. Dan setelah pejabat itu meninggalkan rumah kami, ibu segera mengomel.
“Dasar sok modern. Menjenguk orang miskin yang sedang
sakit hanya membawa karangan bunga. Memangnya kalau memandangi dan menciumi
bunga bisa kenyang dan penyakitnya bisa sembuh?!”
Ayah segera menukas. “Jangan meremehkan bunga. Sebab,
bunga itu lambang cinta dan kasih sayang.”
“Ibu memang tidak bisa menghargai metafora,” sambungku.
Sebagai anak seorang penyair, aku memang suka puisi-puisi yang mengandung
metafora. Dan bunga adalah metafora yang identik dengan rasa cinta dan kasih
sayang.
Beberapa jam berikutnya, rombongan Pak Camat bersama Pak
Lurah juga datang membesuk ayah. Mereka juga membawa bunga sebagai ungkapan
rasa simpati. Ayah tampak sangat senang menerima bunga dari Pak Camat dan Pak
Lurah. Dan aku merasa bangga.
Tapi ibu lagi-lagi mengomel, setelah rombongan Pak Camat
dan Pak Lurah meninggalkan rumah kami.
“Percuma dijenguk banyak orang kalau mereka hanya
memberimu bunga.”
“Jangan berkata seperti itu, Bu. Mereka itu orang-orang beradab.
Mereka tahu etika. Dan menurut etika, lazimnya menjenguk orang sakit memang
membawa seikat bunga sebagai tanda ungkapan rasa simpati.”
Ayah berusaha menghibur ibu. Ayah tentu mengerti betapa
ibu lebih mengharapkan bantuan berupa uang, sekantong roti atau buah-buahan
dari mereka. Sebagai orang miskin, ibu mungkin sulit menerima ungkapan rasa
simpati berupa karangan bunga. Sehari-hari, sejak dulu, ibu sibuk membuka
warung kecil di depan rumah untuk mencukupi kehidupan keluarga karena ayah
memang hanya bisa menulis dan membaca puisi yang berarti tidak punya
penghasilan tetap. Jika puisi ayah dikirimkan ke media cetak dan dimuat,
honornya hanya bisa untuk membeli perangko, rokok, koran-koran edisi Minggu,
kertas dan amplop.
Aku tiba-tiba teringat cerita ibu ketika pacaran dengan
ayah. Dulu ibu jatuh cinta kepada ayah karena ibu suka puisi. Suatu ketika, ibu
jatuh sakit, dan ayah datang membawa karangan bunga mawar merah. Setelah
menciumi bunga mawar merah pemberian ayah, ibu langsung sembuh.
“Ibu sebaiknya mengingat masa lalu. Bukankah Ibu pernah
sakit, lalu langsung sembuh setelah menciumi bunga mawar merah yang diberikan
Ayah?” ujarku.
Ibu mencibir. “Jangan mengungkit masa lalu. Sekarang
ayahmu lebih membutuhkan uang daripada bunga.”
***
Sepekan berikutnya wartawan itu datang lagi. “Ternyata
berita tentang keadaanmu menarik perhatian Pak Bupati dan jajaran pejabat di
daerah ini. Aku sempat ditelepon Pak Bupati. Katanya sudah menyuruh anak buahnya
untuk datang membesukmu karena beliau terlalu sibuk. Maklumlah. Lalu, Pak
Bupati mengirimkan apa?”
“Karangan bunga,” jawab ayah.
“Hanya karangan bunga?” Wartawan itu tampak tidak percaya.
“Ya, hanya karangan bunga saja!” tegas ibu.
“Pasti ada yang tidak beres,” ujar wartawan itu.
“Apa maksudmu?” tanya ayah.
“Biasanya, Pak Bupati memang membawa seikat bunga setiap
membesuk orang sakit. Tapi jika yang sakit butuh banyak biaya, beliau pasti
juga menyerahkan sejumlah uang untuk membantu biaya pengobatan.”
“Apa mungkin sumbangan uang dari Pak Bupati dikorupsi?” Tanya
ibu.
“Mungkin saja. Pada masa sekarang, korupsi bisa terjadi di
mana saja.”
Ayah tiba-tiba terkekeh-kekeh, seperti ada sesuatu yang
sangat menggelikannya. “Mungkin aku dikira akan segera mati, sehingga hanya
memerlukan bunga dan tidak membutuhkan sumbangan uang.”
“Jangan berkata seperti itu. Orang mati sekarang juga
membutuhkan banyak uang untuk biaya pemakaman,” sergah wartawan itu.
“Tega amat jika sumbangan uang dari Pak Bupati dikorupsi,”
keluh ibu.
Wartawan itu kemudian berjanji akan minta konfirmasi
kepada Pak Bupati. “Akan kutanyakan apakah Pak Bupati sudah memberimu sumbangan
uang.”
***
Keadaan ayah semakin parah. Sejak bangun tidur di pagi
itu, sekujur tubuh ayah tidak bisa digerakkan lagi. Ayah juga tidak bisa
bicara. Mungkin ayah kembali terserang troke.
Aku dan ibu segera membaca Surat Yasin di dekat ayah. Kami
memohon kepada Tuhan agar penyakit ayah segera sembuh. Atau jika ayah memang
harus mati bisa segera mati khusnul
khotimah.
Sejumlah tetangga dekat dan kerabat juga berdatangan
menjenguk ayah. Mereka juga segera membaca Surat Yasin.
Menjelang siang, ayah menghembuskan napas terakhir. Lalu
berita duka disiarkan di masjid-masjid. Tak lama kemudian, wartawan itu datang
melayat.
“Akan kutelepon Pak Bupati, biar segera ikut melayat,”
kata wartawan itu kepada ibu.
Satu jam berikutnya, rombongan Pak Bupati datang dengan
membawa karangan bunga yang bertuliskan “Pemerintah Daerah Turut Berduka Cita”.
Setelah berdiri di depan jenazah ayah dan berdoa beberapa detik, rombongan Bupati
segera menyalami ibu dan aku.
“Kami seluruh jajaran pejabat pemerintahan daerah ikut
berduka cita yang sedalam-dalamnya,” ujar Pak Bupati, sebelum meninggalkan
rumah kami.
Setelah prosesi pemakaman, ibu tiba-tiba menyuruhku untuk
segera membuang karangan bunga dari Pak Bupati yang diletakkan di depan pagar
rumah kami.
“Cepat buang karangan bunga itu. Ayahmu dan kita tidak
membutuhkannya lagi!” perintah ibu dengan nada kesal.
Aku menolak perintah Ibu. Menurutku, karangan bunga dari
Pak Bupati itu sebaiknya tetap menghiasi pagar rumah kami selama beberapa hari,
agar semua orang mengerti betapa Pak Bupati atas nama pemerintah memang layak
turut berduka cita atas wafatnya seorang penyair. Penyair boleh saja mati, tapi
metafora seperti bunga yang jelas-jelas sebagai ungkapan cinta dan kasih sayang,
harus dilestarikan.
------------------------------------------------------
Marta Mahardika, lahir dan menetap di Kudus, Jawa Tengah. Selain menulis prosa, puisi dan esai yang dipublikasikan di sejumlah media, juga memimpin Arts Laboratorium Institute. Buku antologi cerpennya yang sudah terbit: Dongeng Kursi (Kudus Index, 2000).
------------------------------------------------------