Surat
dari Yaman
explore.data.gov |
Sistem pendidikan di Timur Tengah, khususnya Yaman,
tempat penulis belajar, tidak begitu menarik untuk ukuran sekarang. Cara yang
digunakan masih terlalu klasik. Sekelas universitas pun hampir tidak ada progam
yang mendorong kegiatan aktif di kalangan mahasiswa.
Kegiatan sehari hari hanya pergi kuliah mengikuti muhadhoroh,
selesai, pulang, dan begitu seterusnya, diulang, setiap hari. Dampaknya,
tidak ada kreatifitas yang menonjol di kalangan mahasiswa itu sendiri. Namun,
hal itu setidaknya diimbangi oleh mahasiswa asal Indonesia.
Untuk mengisi kegiatan extra di kampus misalnya, di
bawah koordinasi Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Yaman, mahasiswa asal
Nusantara menyelenggarakan kegiatan bedah buku dan diskusi setiap bulan.
Setidaknya hal itu ada di Universitas Al-Ahgof yang ada di Kota Tarim dan
Mukkalla, dimana ada sekitar 300-an mahasiswa asal Indonesia yang belajar di
sana. Hal yang sama juga terlihat di Universitas Darul Ulum, Hudaidah.
Bagaimana dengan pesantren? Para santri dan
mahasiswa yang belajar di Yaman menggunakan sistem belajar yang tidak jauh
berbeda dengan pesantren tradisional di Indonesia (menghafal hingga bahsul
masail). Bedanya, dalam sistem pengajaran di sana, umumnya para santri yang
membaca kitab, lalu syehnya (gurunya) yang memberikan penjelasan (talaqqi)
kemudian. Di Indonesia, khususnya Jawa, kyainya yang membaca dan menerangkan
kitab, sedangkan para santri tinggal mendengarkan dan ngasahi (memberikan
makna gandul).
Menurut penulis, program pendidikan dan sistem
pembelajaran di pesantren Negara Yaman pada umumnya, ternyata lebih ketat dibandingkan
sistem akademik kampus sekitar. Pasalnya, para santri di beberapa pesantren
di sana, sebelum wisuda dan boyongan, dididik untuk berdakwah laiknya Kuliah Kerja
Nyata (KKN) ala Indonesia selama kurang lebih dua bulan ke luar kota, bahkan ke
luar negeri dengan biaya penuh pihak pesantren, sebagaimana diprogramkan oleh
Pesantren Darul Musthofa Tarim asuhan Habib Umar bin Hafizd.
Di Tarbiyah Islamiah yang perpusat di kota Aden asuhan
Habib Abu Bakar bin Ali al-Masyhur justru lebih ketat lagi. Santri di pesantren yang para penghuninya mayoritas mahasiswa
ini, sebelum wisuda tidak hanya dituntut membuat skripsi sebagaimana tugas
akhir kampus masing masing. Mereka juga diwajibkan membuat skripsi di
pondoknya. Sistem ini disebut duo sistem, karena menggunakan integrasi sistem pendidikan
kampus dan pesantren sekaligus .
Nafis Abrori,
santri rubat al-Mehdhor dan mahasiswa mustawa empat di Al-Bihani
Graduate Institute of Coaching and Mentoring, Yemen