Oleh Hendra Sugiantoro
Judul Buku : Karmaka Surjaudaja: Tidak Ada Yang Tidak Bisa
Penulis : Dahlan Iskan
Penerbit : PT. Elex Media Komputindo, Jakarta
Cetakan : I, 2012
Tebal : xi+263 halaman
Buku penuh inspirasi yang diterbitkan
(lagi) ini mengisahkan seorang Karmaka Surjaudaja. Nama aslinya Kwee Tjie Hoei.
Nama Indonesia didapatkan dari seorang pelukis di Bandung. “Karmaka” berarti
memiliki semangat juang yang tinggi, pantang menyerah menghadapi segala
tantangan kesulitan. Adapun “Surjaudaja” berarti kekuatan dari matahari atau
bisa juga diartikan kepahlawanan. Dahlan Iskan terpikat menuliskan kisahnya
bermula ketika Karmana berkunjung ke Graha Pena, Surabaya, pada akhir November
2007.
Lahir
di Hokja, Provinsi Fujian, Tiongkok, pada tahun 1934, Karmaka yang masih
berusia 10 bulan dibawa ibunya menyusul suaminya, Kwee Tjie Kui, yang telah
tinggal di Bandung. Orangtua Karmaka mendidik dan membesarkan Karmaka dengan
baik. Selain ayahnya yang telah menjadi guru di Bandung selama 5 tahun, ibu
Karmaka juga memiliki latar belakang sebagai guru ketika masih di Tiongkok.
Menyadari kondisi ekonomi keluarga yang tak
berkecukupan, rasa tanggung jawab telah tertanam di benak Karmaka sebagai anak
tertua. Ketika kelas 2 SMP, misalnya, Karmaka memutuskan berhenti sekolah
karena ayahnya mengalami patah tulang. Pada usia 15 tahun, Karmaka rela menjadi
buruh di pabrik tekstil Cibeureum. Karmaka kembali melanjutkan sekolah setelah
ayahnya sembuh.
Tak
hanya itu, Karmaka memutuskan tak kuliah ketika lulus SMA demi mengutamakan
adiknya yang juga lulus untuk kuliah terlebih dahulu. Kondisi ekonomi tak
memungkinkan apabila keduanya kuliah bersamaan. Karmaka pun menjadi guru
olahraga di sekolah Tionghoa, Nan Hua. Selain itu, Karmaka juga memberikan les
berbagai pelajaran di malam hari. Salah satu murid yang les ini adalah seorang
perempuan bernama Lim Kwei Ing yang kemudian menjadi istrinya. Lim Kwei Ing
adalah anak dari Lim Khe Tjie, pemilik Bank NISP. Karmaka juga bekerja di
pabrik tekstil. Setiap hari Karmaka bekerja keras melakoni tiga pekerjaan
tersebut.
Terkait
hubungan Karmaka dengan Lim Kwei Ing, apa yang diceritakan Dahlan Iskan lewat buku
ini begitu menggetarkan dan mengharukan. Karena telah mengikat komitmen untuk
menikah, Karmaka menolak tawaran pemilik pabrik tekstil untuk dijodohkan dengan
perempuan lain. Bahkan, tawaran bisa memiliki mobil, rumah, dan jabatan tinggi
tak memengaruhi keteguhannya. Penolakan ini juga berimbas pada berhenti
bekerjanya Karmaka dari pabrik tekstil itu. Saat berusia 25 tahun, Karmaka
akhirnya menikahi gadis idamannya. Karmaka pun melamar di pabrik tekstil NV
Padasuka Majalaya untuk menopang ekonomi rumah tangganya.
Usai
menikahkan anak perempuannya dengan Karmaka, Lim Khe Tjie pergi ke Tiongkok.
Saat ditinggal ke Tiongkok itulah orang-orang kepercayaan Lim Khe Tjie
melakukan pengeroposan terhadap Bank NISP. Karmaka tak tahu-menahu karena
memang tak diminta mengurusi bank milik mertuanya. Sekitar tahun 1962, Karmaka
akhirnya benar-benar bertindak ketika dikontak mertuanya. “Kamu masuk ke NISP.
Kamu take over manajemennya,” ujar
sang mertua. Saat itulah perjuangan Karmaka menyelamatkan NISP dimulai.
Perlahan
tapi pasti, upaya membersihkan pengkhianat di dalam Bank NISP berhasil
dilakukan Karmaka. Bank NISP pun berkibar lagi dan dipercaya masyarakat. Namun,
sebagaimana pepatah Jepang, Bank NSIP harus jatuh tujuh kali, bangkit delapan
kali. Karmaka dengan dedikasi dan pengorbanannya bisa membangkitkan Bank NSIP lebih dari jatuhnya itu. Ketika krisis ekonomi pada tahun 1966, misalnya, Karmaka benar-benar pening. Tindakan moneter
dilakukan pemerintah di mana uang Rp. 1.000 menjadi Rp. 1. Keputusan Karmaka
memutuskan hubungan kerja terhadap 3.000 karyawannya menimbulkan dilema, tetapi
harus dilakukan. Dalam hati kecilnya, Karmaka menyebutnya sebagai dosa besar
selama hidupnya. Karmaka memang benar-benar memperhatikan karyawan sebagai
salah satu pemangku kepentingan. Maka, tak heran ketika gedung Bank NISP di
Jakarta tak hancur saat kerusuhan 1998 karena dipagar badan oleh seluruh
karyawannya. Ketika bank-bank lainnya mengalami penarikan dana dari nasabah,
Bank NISP di Bandung justru diserbu masyarakat untuk menyetorkan uangnya.
Untuk
menggambarkan apa yang dialami Bank NSIP,
Dahlan Iskan dengan begitu indah menuliskan, “Bank yang didirikan mertuanya
itu, Lim Khe Tjie, seharusnya sudah hancur sehancur-hancurnya. Terlalu banyak
badai yang pernah menenggelamkannya. Tapi setiap kali Bank NISP tenggelam,
selalu saja Karmaka bisa mengapungkannya. Lalu Karmaka bisa secara ajaib
menghidupkan mesinnya. Bahkan dengan tambahan “bensin” berupa darah, keringat,
dan air matanya, kapal NISP berhasil melaju kembali dengan kencangnya. Namun
setiap kali kapal NISP sudah mulai melaju, ada lagi gelombang besar yang datang
menerkam. Datangnya selalu tiba-tiba pula. Dan selalu hampir saja mengubur
dalam-dalam kapal bernama NISP itu. Sekali lagi Karmaka berhasil
mengapungkannya kembali, menjalankan lagi dan bisa melaju lagi. Tidak sekali
atau dua kali badai besar seperti itu menghantam, melainkan berkali-kali.”
Buku
ini menarik disimak demi menyaksikan sepak terjang Karmaka yang
“berdarah-darah” sampai akhirnya Bank NSIP yang awalnya sebagai bank tabungan
di Bandung bisa membesar dengan nama OCBC NISP. Ada pula kisah Karmaka yang
harus melakukan transplantasi liver dan transplantasi ginjal. Dahlan Iskan
lewat buku ini mengabadikan Karmaka dalam teks untuk dipetik pelajaran atau
mungkin teladan.
Hendra Sugiantoro,
Pembaca buku, tinggal di
Yogyakarta