Cerpen
Oleh Issahani Alcharie
papangdr.blogspot.com |
Fajar
beberapa saat lalu telah pamit. Rona-rona merah di timur langit berganti sinar
kemuning berpendaran. Semilir angin sehilir-mudik
menerbangkan bau embun. Sukir menggemarinya; menciumi lekat-lekat aroma embun
yang jatuh di helaian daun jambu. Bersama dengan Cipto -anaknya yang belum cukup
lancar mengatakan “maem”–, Sukir tiap pagi mengelilingi jalanan desa
hingga berhenti di bawah pohon jambu pada pekarangan rumahnya. Pohon jambu itu
baru ditanamnya dua bulan lalu.
Sukir
mendongak. Ia berandai bilamana pagi tiba ia melihat pohon jambunya telah
berbunga. Butuh dua tahun setidaknya untuk memanen buah jambu. Waktu lama sebuah penantian.
Sukir
hanya mampu menanam dua pohon jambu sebagai penjaga di halaman rumahnya. Ia belum
memiliki cukup uang membeli sebidang tanah. Harga tanah di desanya terus
melesat seiring tahun berganti. Tempo hari Fahru menolak tanahnya 4x12 cm itu
dihargai enam puluh juta. Padahal dulu tanah itu dibeli dengan harga tujuh juta.
Di
tanah itu Fahru menanami beberapa pohon jambu. Hingga kini Fahru sanggup membiayai
ketiga anaknya sekolah ke perguruan tinggi di kota. Semuanya S1. Motor Fahru pun
kini ada dua. Siapa penduduk yang tak kenal Fahru? Semua orang menganggap Fahrulah orang pertama yang pantas diajak bernegosiasi ketika ada warga yang berniat menjual tanah.
***
Sukir
menginginkan punya kebun jambu. Seperti milik Fahru. Tanah yang ditanami jambu jenis delima juga citra. Dipanen tiga kali setahun. Sukir bercita-cita membelikan sebuah
sepeda roda dua dengan belnya yang nyaring buat Cipto jika sudah besar kelak.
Juga untuk sekolah Cipto sampai dia jadi sarjana.
Suara
musik dangdut bertalu dari pesawat radio di ruang tengah.
Manggut-manggut kepala Sukir mengikuti alunan iramanya. Pagi tak serasa pagi tanpa
koplo-an dangdut. Dari balik bilik, istrinya memanggil. Sarapan telah siap santap.
Meja
makan jadi penumpu bakul nasi, cobek dan satu piring berisi tempe goreng.
Tampak terlalu besar untuk menampung ketiganya. Sukir mengucap syukur pada
Tuhannya karena pagi itu lidahnya diijinkan mengecap tekstur kedelai pada
seiris tempe goreng. Kemarin dan hari sebelumnya lagi, tiap pagi lidah Sukir
berjingkat-jingkat dihajar pedasnya sambal.
“Makin
pedas, makin bagus. Biar mas jadi trengginas waktu kerja,” goda istrinya
kepada Sukir yang pongah menahan pedas. Tak ada yang bisa dimakan
selain cabe hasil dari kebun di pekarangan belakang rumah. Sementara sayuran
yang lain seperti kangkung, bayam dan terung akan dimasak jadi sayuran berkuah
di siang hari.
Gelas
belimbing berisi teh hangat berada di sisi kanan Sukir. Segera ia meraihnya
selepas semua nasi di piring habis. Baru sekali minum,
Sukir berhenti. Lidahnya menjulur, matanya
menyipit. “Lha teh-nya kok pahit gini tho, nduk? Gulanya kau jual
ke mana?” tanya Sukir pada istrinya yang sedang menyuapi Cipto dengan bubur
bayi instan yang satu bungkus harganya seribu itu.
“Dijual? Memang kita punya gula? Kalau
mas punya berkuintal-kuintal gula seperti Lik Sritun hasil dari nyunatin
anaknya, baru itu juragan-juragan warung pada mau beli. Sekali-kali gak ada
salahnya ngicipi teh pahit.”
Istri
Sukir menggerutu sendiri. Semua berawal dari yang disebut gula. Beberapa hari lalu ia melaporkan uang habis
dibelanjakan untuk membeli gula. Betapa kini Sukir harus meredam amarahnya
sendiri; tiap hari bekerja jadi buruh mblongsong jambu pada Fahru, seluruh
upah ia berikan pada istrinya lalu dibelanjakan untuk membeli gula.
Namun
pagi itu tak ia rasakan manisnya gula dalam teh. “Ini kan bulan syawal,
banyak orang pada punya kerja. Nikahin, nyunatin anaknya. Lha wong
siang-siang mata masih keliyeran habis ngelonin si Cipto, orang sudah keburu datang nganterin layang ulem. Mata baru melek
sudah dikasih tanda suruh buang duit,” monyong istri Sukir bersungut-sungut pada Cipto.
***
Burung-burung bergurau ceria. Mereka
hinggap dari satu atap joglo ke atap lainnya. Sukir beranjak. Meniti jalan
hidupnya sebagai buruh mblongsong Fahru.
Tiga
ikat plastik cap Mickey Mouse yang telah dilubangi pangkalnya dipungut Sukir.
Ia ingin pekerjaannya selesai dengan cepat. Bahkan jadi yang tercepat. Biar
Fahru tahu ia buruh yang cekatan.
Biar Fahru mempercayakan banyak pekerjaan padanya. Banyak pekerjaan berarti
banyak upah yang didapat. Apalagi kini ia punya banyak kebutuhan. Layang
ulem dari para tetangga terus mengalir deras. Tentu saja Sukir harus
menyiapkan banyak uang untuk angpao. Belum lagi gula yang harus dibawa
istrinya. Paling tidak dua kilo di setiap acara. Jika tidak, Sukir dan istrinya
disebut tetangga kikir.
Di antara rerimbunan dahan pohon jambu, Sukir
menggantungkan rejeki. Sebuah tangga bambu mengantarkannya ke pucuk pohon
tempatnya menggantungkan rejeki itu. Jika seluruh karuk di daerah pucuk
telah rata
terbungkus dengan plastik, ia mulai turun ke dahan yang lebih rendah. Dengan
penuh ketekunan, Sukir mem-blongsong karuk-karuk yang telah
terpisah dari putiknya itu. Pelan. Tak boleh sampai membuat mereka tergoyah. Jika
tidak, maka esok hari bisa jadi mereka akan tanggal dari batangnya. Dengan lidi
pula ia menusuk plastik yang telah membungkus bakal-bakal buah
jambu itu agar rapat dan tak seekor kelelawar pun sempat melahapnya.
Udara
jam dua belas siang mendidihkan kepala Sukir. Enam puluh menit sejak itu adalah waktu
untuk beristirahat. Ia turun. Cemilan dari majikannya telah
dihidangkan: satu teko berisi es teh, rokok kretek dan beberapa gorengan.
“Kenapa, Kir? Kamu gak suka gorengannya?
Atau minta dicarikan brownies kayak kemarin?” tanya istri Fahru pada
Sukir yang hanya minum saja dan tak menyentuh gorengan sama sekali. Juga
rokoknya.
“Bukan, Bu, bukan masalah gorengannya.
Tapi kok saya lebih senang kalau dapat hasil seperti bulan puasa
kemarin. Rokok dan jajan diganti mentahnya saja. Dapat duitnya jadi lebih
banyak.”
Ia
tak menyangka jika kata-kata yang awalnya hanya selorohan itu kemudian direspon
serius oleh sang majikan. Dan hari itu Sukir pulang membawa lima puluh ribu rupiah.
Hasil kerjanya selama sehari. Ia tidak membiarkan uangnya menumpuk dahulu lalu
mengambilnya di akhir pekan seperti biasanya. Tidak. Ia harus pulang membawa uang.
Tetangga belakang rumah ada hajatan
sunatan anaknya.
Lepas maghrib, kantong plastik hitam
berisi dua kilo gula pasir ditenteng istri Sukir. Sementara Sukir telah
memasukkan selembar uang dua puluh ribu ke dalam amplop putih. Mereka berangkat menuju rumah yang sedang ramai
bunyi lagu-lagu Islami, dangdut kasidah.
Si empunya kenduri menyembelih seekor
kerbau jantan. Badannya sangat besar, itu kata mereka yang pagi tadi ikut
menyembelih. Pikir Sukir malam itu ia bisa makan daging kerbau. Lumayan. Istri
dan anaknya akan kenyang pula. Pun kala pulang, istrinya membawa bungkusan
berisi nasi dan lauk daging kerbau. Tengah malam nanti bisa dimakannya jika ia
terjaga dan lapar. Tak apa jika esok lidahnya kembali diganyang sambal.
***
Pagi hari Sukir bersiap diri menuju
kebun uang. Langkahnya terhenti di ambang pintu tatkala dilihatnya sang istri
menyodorkan dua buah layang ulem. “Tetangga sialan! Tak sadar apa mereka
sudah bikin hidup orang lain jadi susah? Aku kerja seharian; naik-turun pohon,
memblongsongi jambu satu-persatu, kakiku lemas, tulang leherku linu,
e... upahnya langsung habis hanya untuk mereka. Umpak-umpakan! ” Kutuk
Sukir.
Di kebun, majikan Sukir menepati perkataannya.
Tak ada rokok kretek, es teh atau pun sepiring gorengan bahkan roti brownies.
Di siang hari panas matahari kian membabi-buta menaikkan suhu tubuh. Sukir
berkali-kali menyembunyikan wajahnya di balik rerimbunan daun jambu. Sedikit
sumringah hatinya, bu Fahru membawa teko yang dipenuhi titik-titik embun. Tahulah
ia majikannya tak akan tega.
Tepat seperti yang Sukir harapkan, ia
mendapat upah lebih dari biasanya. Esok akan ia lakukan hal yang sama. Uang
rokok dan makan dihargai dua puluh ribu. Lumayan. Pulanglah Sukir dengan wajah
tenang, setenang gambar wajah pahlawan yang tercetak pada uang di sakunya. Uang
pecahan lima puluh ribu dan dua puluh ribu.
Oleh istrinya uang itu dibelikan gula
empat kilo. Dua kilo untuk tetangga yang menikahkan anaknya dan dua kilo lagi
untuk tetangga yang mengkhitankan anaknya.
“Apa-apaan ini?” Sukir kaget.
“Aku
cuma ambil dua puluh saja. Kau tadi kuberi lima puluh kan, nduk?
Sekarang kau minta uang belanja padaku? Benar-benar kau ini perempuan boros,”
bentak Sukir pada istrinya. Ia kesal. Uang dua puluh ribu yang ada padanya pun
habis masuk ke amplop putih. Bahkan ia harus menambal dua puluh ribu lagi.
Bagaimana tidak, setiap amplop harus berisi uang dua puluh ribu rupiah.
Sementara ada dua tetangganya yang punya kerja hari itu. Sukir benar-benar tak
memiliki uang lagi. Istrinya benar-benar tak tahu menghargai uang. Yang
istrinya tahu hanya caranya minta uang.
Istri Sukir tak mau kalah. Ia menjadi kesal
dengan perkataan suaminya. Dengan panjang lebar ia ceritakan pada suaminya
perihal perkembangan naik-turunnya harga gula.
“Dengan
uang lima puluh, sama saja tak ada uang belanja. Harga gula sekilo itu dua
belas ribu, mas. Kubelikan empat kilo. Coba kalikan sendiri berapa itu uangnya.
Empat puluh delapan! Apa mas mau aku hanya beli dua kilo dan datang pada ke dua
kenduri itu dengan satu kilo-satu kilo? Mas kira pantas dilihat orang?” tukas
istri Sukir.
Motor-motor itu datang dari berbagai
penjuru desa. Banyak pula yang datang dari desa tetangga. Mereka
menuju tempat punya hajat kenduri. Pengendaranya selalu berpenampilan sama; seorang bapak
berkemeja batik dan seorang ibu bergincu merah menyala mengenakan kebaya yang
membonceng di belakang. Di antara deru-deru motor tersebut, suara ruji-ruji
sepeda Sukir mengalun ritmis. Lirih. Menyertai bunyi jeruji-jeruji itu, si
pengayuh dan si pembonceng secara bergantian mengeluarkan pisuhan.