Oleh Sam Edy Yuswanto
Judul Buku :
Our Happy Time
Penulis :
Gong Ji-young
Penerjemah : Pradita Nurmaya
Penerbit :
Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan :
I, Mei 2012
Tebal :
xvi + 376 halaman
ISBN :
978-602-8811-75-0
Bunuh diri sering dijadikan dalih utama seseorang
karena tak kuat menanggung himpitan beban hidup berat. Rupanya, fenomena ‘bunuh
diri’ kerap terjadi di negara-negara maju dan berkembang, seperti Korea,
Jepang, Taiwan dan Hongkong. Bunuh diri adalah sebuah upaya mengakhiri hidup
tanpa campur tangan orang lain. Alasan yang mendasarinya pun beragam; faktor
ekonomi, depresi, gangguan kejiwaan, dll.
Novel ini bercerita tentang seseorang
yang selalu berusaha bunuh diri karena tak kuat menghadapi getirnya hidup. Terinspirasi
ketika penulis mendengar siaran berita radio tentang 23 orang tahanan yang akan
dieksekusi mati. Penulis merasa terketuk hati untuk menulis nasib tragis
orang-orang di balik jeruji besi ke dalam sebuah novel. Selama kurun waktu cukup
lama, penulis mengumpulkan data-data tentang catatan pembunuhan dan kekerasan.
Untuk memperkuat karakter para tokohnya, penulis rela meluangkan sebagian waktu
untuk bergaul dengan para terpidana mati di penjara.
Novel memaparkan sisi lain kehidupan manusia
yang selama ini jarang, atau bahkan, tak diketahui sama sekali oleh khalayak. Penulis
mengaku merasakan saat-saat membahagiakan bersama orang-orang yang bertobat
dengan sungguh-sungguh, mampu menahan setiap luka, memaafkan dengan ikhlas dan
selalu ingin membantu sesama.
Tokoh utama novel ini bercerita tentang wanita
bernama Mun Yu Jeong. Sejak kecil ia tak merasakan kasih sayang seorang ibu. Bahkan
kakak sepupunya suatu kali tega memerkosanya. Walaupun ia hidup bergelimang
materi dan bisa mengenyam pendidikan tinggi, namun batinnya tak merasai kebahagiaan
hakiki.
Merasa tak kuat menanggung beban
penderitaan tak berujung, Yu Jeong pun mencoba mengakhiri hidupnya. Sialnya, tiga
kali melakukan percobaan bunuh diri, tapi selalu gagal (hlm. 18).
Akibat ulah nekatnya, ia dihadapkan pada
dua pilihan; dirawat di rumah sakit hingga psikisnya stabil, atau menemani Bibi
Monika (yang berprofesi sebagai biarawati) melakukan kunjungan rutin ke rumah
tahanan para terpidana mati. Akhirnya ia menjatuhkan pilihan ikut bersama
bibinya. Meski awalnya ia benci pekerjaan Bibi Monika sebagai penyuluh para
tahanan terpidana mati. Namun seiring berjalannya waktu, ia mulai merasakan
perubahan lebih baik dalam dirinya. Terlebih ketika ia bertemu dengan Jeong Yun
Su, pembunuh berdarah dingin yang memiliki lembaran masa lalu kelam persis
seperti dirinya; tak merasakan kasih sayang orang tua dan kerap mendapat
kekerasan fisik.
Seringnya bertemu dan mengobrol
banyak hal, menimbulkan benih-benih cinta tumbuh di hati kedua insan beda jenis
yang hatinya sama-sama sedang terluka. Yu Jeong perlahan menyadari bahwa ‘bunuh
diri’ selamanya tak akan pernah bisa menyelesaikan masalah. Ia pun berjanji
akan menjalani hidup lebih baik lagi. Inilah penyesalannya;
“Kini aku mengerti satu hal. Hidup,
tetapi seperti mati. Kehidupan yang seperti mati itu tidak bisa disebut
kehidupan. Namun saat merasakan panas setengah mati, lapar setengah mati,
itulah yang menunjukkan kehidupan. Saat kita berpikir ingin mati, itu juga
menandakan bahwa kita hidup, karena hal itu bisa dirasakan oleh manusia yang
hidup sebagai bagian dari kehidupan mereka. Sekarang aku tak ingin lagi
berkata; aku ingin mati, tapi menggantinya dengan; aku ingin hidup lebih baik.”
(halaman 367-368).
Novel juga menyelipkan pesan moral kepada
pembaca. Seperti pada halaman 200, ketika paman Yu Jeong merasa prihatin menyaksikan
fenomena anak di bawah umur sudah terjebak melakukan tindak kejahatan. “Yang
patut disalahkan dalam kehidupan para penjahat yang terkutuk itu sebenarnya
orang dewasa yang mendidiknya. Sejak kecil mereka telah dididik dengan
kekerasan. Hari-harinya diisi dengan pukulan, pukulan, dan pukulan. Coba kau
disuruh memukul, pasti kau akan melakukannya, kan? Tak ada hidup tanpa
keputusan. Begitu pula mereka. Aku tegaskan! Hentikan kehidupan dengan
kekerasan. Hilangkan segala macam kekerasan.”
Kini, novel telah diangkat ke layar
lebar dengan judul Maundy Thrusday dan masuk dalam jajaran box office
di Korea Selatan.
Sam Edy Yuswanto,
penulis lepas dan penikmat buku,
tinggal di Kebumen