Oleh Mohamad Abul Fadlol AF
Sampai saat
ini, belum ada dari kalangan pemerintahan yang bisa disebut “bersih”, baik
dalam wilayah eksekutif, legislatif atau yudikatif. Kasus pemerasan BUMN yang melibatkan
beberapa anggota DPR RI beberapa waktu lalu kembali menampar wajah pemerintah
Indonesia.
Tujuan dari
trias politika adalah menciptakan checks
and balances dalam sistem pemerintahan. Antara ekskutif, legislatif dan
yudikatif harus ada batas wilayah wewenang yang jelas, tidak boleh ada
intervensi antara satu dengan yang lainnya. Namun, tujuan ini hanyalah slogan
belaka. Faktanya, justru ketiga komponen tersebut adalah pengacau keseimbangan
negara. Ketiganya berkomplot dengan cara saling “menyuapi” agar lubang korupsi
yang pernah digali tidak terungkap lagi, politik ”remis”. (Sindo/13/11/ 12)
Dalam kondisi
seperti inilah rakyat Indonesia hidup. Ironis, politik telah memutarbalikkan
fakta. Karena dalam demokrasi, raja sesungguhnya adalah rakyat, sedangkan elite
penyelenggara negara hanyalah “budak”
bangsa. Sebagai seorang raja, sudah seharusnya rakyat diperlakukan dan dilayani
secara istimewa. Namun yang terjadi justru malah sebaliknya.
“Kepentingan
mengalahkan pengabdian,” kalimat itulah yang paling cocok untuk menggambarkan kondisi pemerintahan Indonesia.
Dengan sistem negara yang menggaji para pejabat, menyebabkan salah orientasi.
Negara dijadikan tempat mencari nafkah, bukan untuk mengabdikan diri. Kepentingan
mereka tidak hanya di uang, namun juga kekuasaan.
Jadi, pesta
demokrasi yang selama ini diselenggarakan hanyalah sebuah euforia sesaat yang
tidak berguna. Karena momen tersebut hanya menghamburkan uang negara, namun
tidak membawa perubahan yang signifikan terhadap aspek sosial-ekonomi bangsa.
Momen tersebut belum bisa melahirkan orang-orang yang berdedikasi dan
berloyalitas tinggi kepada negara.
Reboisasi
Jika dianalisa,
mayoritas kursi pejabat diduduki oleh kalangan orang tua. Orang tua merupakan
kalangan yang sudah tidak produktif dan cenderung konservatif. Sehingga, di
samping jarang melahirkan gagasan-gagasan baru, mereka juga kurang berani
melakukan tindakan revolusioner dan cenderung mempertahankan apa yang sudah
ada.
Kehadiran orang
tua yang kurang produktif dan konservatif inilah yang menyebabkan Indonesia
“jalan di tempat”. Kemajuan dalam beberapa aspek hanya sebatas wacana untuk
meningkatkan popularitas semata. Pengelolaan anggaran negara tidak pernah
maksimal, selalu rawan praktik korupsi dan hukum diperjualbelikan.
Namun, hal
tersebut tak menjadikan kader muda sebagai satu-satunya alternatif yang bisa
diharapkan. Karena dalam realitanya, kader muda juga kurang produktif dan tak lepas dari jeratan kasus suap-korupsi.
Standar
penggerak pemerintahan tidak cukup dengan hanya mengandalkan pengalaman semata,
melainkan harus diiringi kompetensi dan loyalitas yang tinggi. Namun, mayoritas
“penghuni” pemerintahan Indonesia, baik tua atau muda belum memenuhi standar tersebut.
Ibarat alam,
para pejabat saat ini merupakan hasil pertumbuhan dari bibit pohon yang kurang
berkualitas. Bentuknya kerdil, tidak lurus, rapuh dan berpenyakitan. Padahal, pohon memiliki fungsi penting untuk kelangsungan hidup
manusia. Nah, jika kualitas pohon saja kurang baik, maka fungsi-fungsi tersebut
tentunya tidak bisa dimaksimalkan. Oleh karena itu, pohon-pohon tersebut harus
ditebang dan digantikan bibit-bibit yang lebih berkualitas (reboisasi).
Tujuan dari
reboisasi adalah meningkatkan kualitas kehidupan manusia, yaitu untuk
meminimalisir polusi udara dan membangun kembali ekosistem alam. Jadi,
pemerintahan Indonesia harus ditanami “orang-orang” yang berkualitas dan
berloyalitas. Orang-orang yang bisa menghasilkan “gagasan-gagasan segar” untuk
menyelesaikan masalah kompleks yang sedang dihadapi rakyat. Dan merekalah yang
kelak akan menyeimbangkan kembali ekosistem trias politika di Indonesia.
Untuk
mendapatkan bibit “penggerak negara” yang berkualitas tentu bukan hal yang
mudah. Butuh proses pencarian yang selektif, tidak dadakan. Karena banyak
politisi yang mengaku bersih dan loyal. Janji-janjinya setinggi langit namun
nol realisasi.
Sangat sulit
membedakan mana politisi yang benar-benar baik dan tulus dengan politisi yang
busuk. Oleh karena itu, harus ada syarat-syarat berlaku yang hanya bisa
dilakukan oleh politisi yang tulus untuk melayani rakyat. Misalnya, para
politisi wajib menyerahkan 80-90% dari hartanya sebagai bentuk bukti loyalitas
terhadap bangsa. Jika memang berniat mengabdikan diri untuk rakyat, syarat
tersebut tentunya bukan masalah.
Sehingga, di masa mendatang, kursi-kursi pemerintahan hanya akan
diduduki oleh orang-orang yang baik, bukan sebaliknya.
Revolusioner
Reboisasi
berarti revolusi. Untuk merealisasikan agenda ini, dibutuhkan keberanian
tingkat tinggi. Jika dulu mahasiswa dengan gagah berani berhasil menjatuhkan
rezim Orde Baru, maka sekarang dibutuhkan pemimpin-pemimpin yang berani “menebang” pejabat atau birokrat
yang bermasalah dalam wilayah kekuasaan masing-masing.
Namun, hanya
pemimpin yang memiliki jiwa heroiklah yang mampu mewujudkan indonesia yang
“hijau”. Yaitu pemimpin yang mau mengorbankan waktu, tenaga, harta serta nama
baik. Pemimpin yang rela meninggalkan comfort
area untuk mengabdi kepada bangsa.
Misalnya saja,
keterbukaan Dahlan Iskan dalam mengungkap beberapa nama dewan yang terlibat
kasus pemalakan BUMN. Tentu Dahlan dimusihi banyak orang karena hal tersebut
menyangkut nama baik sebuah instansi terhormat di negeri ini. Pemimpin itu
memang harus siap dimusuhi, demi mewujudkan suatu kondisi yang ideal. Siapa berani? Wallahu a’lam bi al-Shawab.
Mohamad Abul Fadlol AF,
pegiat di LPM IDEA IAIN Walisongo Semarang,
alumni MMQ Lirboyo
Kediri