Kudus-WAWASANews.com
“Ojo jupuk nek ora dikon, ojo jaluk nek ora dikei/ Jangan mengambil kalau belum diperintah, jangan
meminta kalau tidak diberi”.
Ajaran Saridin atau yang lebih dikenal dengan Syeh Jangkung di atas kini menjadi bagian
dari filosofi
orang Jawa. Mengapa?
Pertanyaan inilah memunculkan kegundahan Nur Said
meneliti ajaran Saridin lebih luas.
Melalui metode Semiotika, Nur said menggali ajaran-ajaran Saridin dengan mengamati peninggalan Saridin dan mencari referensi yang cocok untuk dapat diteliti.
“Ajaran saridin itu ada di pedesaan
(kampungan),” ujar Nur Said, dalam Sarasehan dan Deseminasi Riset Budaya bertema “Saridin dalam
Pergumulan Islam dan Tradisi,” di Karimun Java Café Kudus, pada Sabtu (29/12) kemarin.
Said menjelaskan bahwa Saridin mengajarkan kepada kita tentang kesederhanaan dan solidaritas sosial. Saridin juga mengajarkan kita untuk tidak neko-neko.
H. Amat Iskandar (Penulis
11 buku tentang budaya Jawa), yang
dalam kesempatan itu hadir sebagai pembahas bersama Ahdi Riyono (Peneliti linguistik pesisiran) dan Dr Saekan Muchit (Pakar
Menajemen Pendidikan STAIN Kudus), mengatakan kalau Saridin itu sosok
yang mampu menjawakan Islam. Dalam keyakinan Saridin, Allah itu tidak berbilang dan berbagi.
Saridin belajar tidak hanya dari Al-Qur’an
tapi juga dari agama brama. Agama ini yang
menjadi asal usul agama Hindu. Al-Quran mengatakan
juga untuk mengikuti agama Ibrahim/agama Brama.
“Saridin juga percaya tentang indahnya tawakkal, yakni yakin
seyakin-yakinnya bahwa ketika Allah akan memberikan sesuatu meskipun seluruh dunia menentang pasti bisa didapatkan,
sebagaimana filsafah Saridin urip madyo/ora ngoyo/ora mongso,” terang Amat.
Bagaimana kaitan Saridin
dengan Pati? Ahdi Riyono yang
menjelaskan soal ini. Menurutnya, keberadaan Saridin tidak bisa lepas dari wilayah Pati, baik administratif maupun kebudayaan. Historiografi
Pati menyimpan banyak cerita
pergolakan. Utamanya
ketika dipimpin oleh Jayakusumo, dimana terjadi konflik sengit
dengan kasultanan Mataram.
Bupati waktu itu dianggap lalai karena tidak membayar pajak. Ratusan pasukan menyerang Pati. Di Sukolilo, terdapat petilasan seperti sekaten dilaksanakan. Itu ternyata adalah simbol mengingat tentara Mataram. "Kisruh politik tersebut, berpengaruh pada budaya, misalnya, orang Pati tidak boleh menikah dengan orang Mataram," kata Riyono. (Harun)