Cerpen
Oleh Inayah Az-Zahra
Rasanya
dia sudah mulai bosan ditemani lilin kecil. Lilin itu seperti menertawakannya,
meneteskan cairan lembut, namun panas menyengat bila disentuh. Kadang dia
berpikir apa lilin itu tahu derita yang ia rasakan. Lilin itu menyala dengan
api yang melambai-lambai seolah berbicara, berbisik sesuatu kepadanya.
Lilin
itu selalu bersinar menyinari ruangan 4x4 meter persegi. Sempit, pengap dan
gelap. Apalagi kalau bau busuk menyengat itu muncul. Membuat nafas tertahan. Itu
bukan bau tubuhnya yang sudah bertahun-tahun tak tersentuh oleh air. Tapi itu adalah
bau hewan-hewan malang yang setia menemani, kadang pula cicit bunyi curut yang bernyanyi.
Dan sudah lama sekali rasanya kulihat ia
di tempat kumuh dan bau ini.
Ia
menyentuh rambut kumalnya. Kutu-kutu mulai tak betah tinggal di dirambutnya, terlalu
kotor dan bau. Tangannya juga mulai keriput, kotor penuh daki. Kondisi tubuh tak
sesuai dengan umurnya. Dia sudah terlihat tua, padahal baru saja lahir sembilan
belas tahun yang lalu.
Setiap
menjelang subuh aku sudah mulai senam pagi bersama hilir sungai. Terkadang pula
aku sudah harus menemani sayap-sayap burung
yang berkicau. Namun pagi ini aku ingin menemani gadis itu.
Kulihat
pagi ini ia hanya duduk saja sudut kamar. Kenapa wajahnya bergaris dengan bibir
yang biasanya merah merona dimonyongkan ke depan dengan mata yang sembab? Lekas
kusapu sedihnya dan kuberi kesejukan, dan aku mulai masuk ke rongga dadanya,
serta kupenuhi isi-isinya. Kadang kusentuh hatinya dengan kedamaian.
***
“Kenapa harus begini terus? Apa yang harus
kulakukan?”
Gadis itu menangis tersedu-sedu hingga
nafasnya tersendat tak mampu dibendung. Ia berlari mendobrak kamar dan ikut
masuk dalam cekcok kedua orang tuanya. Yang ia lihat, di sudut tempat tidur yang
sempit, ibunya sedang menangis sakit merintihkan bekas sebuah tamparan.
Saking sempit dan sumpeknya, baru berbaring
saja di kamar itu rasanya sudah bersandar pada salah satu sahabat karibku, si
awan cirro cumulus yang terdiri dari butir–butir cair berukuran
sedemikian kecil sehingga tidak jatuh ke bumi. Kawanku ini tinggal pada ketinggian
dimana si temperatur jauh dibawah 0° C. Kawan lamaku ini sejenis awan
tinggi yang berbentuk laiknya sisik ikan. Nampak putih bersih dan menggumpal
tebal. Seperti kuingat saat gadis itu masih balita dulu, yang dengan lelapnya
ia tertidur pulas di balik selimutnya yang tebal dan kasur empuk.
Namun keadaan telah berubah. Semenjak
putaran waktu yang kelam diulang dan diungkit lagi oleh kedua orangtuanya yang
dijodohkan, dan tak pernah saling memiliki rasa, saling memukul dan mencaci-maki
di kamar itu adalah hal biasa. Aku tahu bagaimana rasanya mencoba mengerti.
Kadang iri melihat yang lain begitu bahagia
seperti sore itu kala ia melihat ibunya yang selalu pulang saat kawanku si senja
menggoreskan tinta merahnya. Ayahnya yang sudah garang, melihat situasi seperti
itu setiap hari, disiralah ibunya dengan kuah sayur di atas meja samping rak
garpu dan sendok.
Tentu saja ibu kesal dan semakin marah. Saat
peluh menetes dan berharap pulang ke rumah sedikit mengistirahatkan otot yang
hari itu lelah bekerja, justru disambut dengan kuah sayur yang menyambar.
Kemarahan itu berlanjut menjadi pertengkaran rumah tangga yang hebat hingga
suaranya menggelegar ke lorong-lorong rumah tetangga.
Kulihat gadis itu semakin terasa sesak
hatinya. Ia tahu ibunya pulang senja demi keluarga, menyekolahkannya beserta
kedua adiknya. Namun ayah yang selalu disulut cemburu-curiga bila ibu keluar rumah
untuk bekerja, membuat gadis itu selalu merintih: “Sebenarnya ini salah siapa?
Kenapa aku lahir dengan keluarga yang tak pernah harmonis seperti ini?”
Kudengar rintihan tangis gadis itu dari balik
tangan yang menutupi wajahnya dan bulir air mata yang menetes dari sela-sela jari
panjangnya. Aku melihat kekesalan dan penyesalan yang begitu dalam dari raut
wajah gadis yang menyaksikan sendiri pertengkaran hebat tersebut. Ia sudah tak
tahan bila harus terus menahan rengsa dan hanya bisa menyaksikan dan menangis
di tengah prahara tengkar ortunya.
Aku terperanjat saat gadis itu menjerit
masuk dan memisahkan medan pertengkaran.
“Aku udah bosen begini terus, kapan kita
bisa baik dan akur? Apa kalian tak malu didengar tetangga?” Pekik gadis itu.
Hening……
Keadaan perlahan tenang, kulihat ia memeluk
ibunya yang menangis. Mungkin ia menyadari betapa rapuh hati ibu yang selalu
disalahkan, yang bimbang harus menjadi pelindung keluarga, melaksanakan
kewajiban sebagai istri dan ibu untuk suami dan anaknya, namun harus bekerja
karena suaminya tak mau kunjung bangkit pasca kebangkrutan ekonomi yang dialaminya
sekitar tujuh tahun silam.
***
Setelah asik bermain dengan anak-anak di
lapangan, aku mengunjungi gadis rengsa yang sore itu duduk di kamarnya, tengah
merenung dan melamun. Kuajak ia bermain dan menari bersamaku. Kukibas rambutnya
yang sedikit menutupi mata kanan dan pipi tirusnya itu. Matanya terlihat begitu
cekung. Sepertinya ia kurang tidur atau mungkin benar-benar tertekan hingga tidur
pun tak mampu.
Perpisahan menjadi jalan terbaik di persidangan
bagi kedua orang tuanya. Tiga tahun silam. Kini, ia tak menangis lagi dan hanya
mematung, memandang kosong. Mungkin hatinya masih menyimpan kekecewaan mendalam
kepada ayahnya yang melupakan tanggung jawab.
Tak ada yang tahu jiwanya sangat rapuh di rumah
sakit jiwa, ditemani lilin yang selalu ia pandangi.
***
Kubisikan kedamaian bagi mereka yang mengalami
rengsa terdalam. Agar dapat kembali bangkit dan menebarkan kesejukan hidup serta
memulai episode baru yang lebih baik tanpa harus menoleh kembali ke masa kelam.
Ya, aku tak mampu membantu apa-apa kecuali hanya mampu meniupkan kesejukan. Aku
adalah Angin dengan gerakan udara horizontal yang memiliki arah dan kecepatan berlari
ke seluruh penjuru. Sapa sejukku meluas kepada hati tiap manusia yang rengsa. Aku adalah
angin yang meniup lilin gadis rengsa itu. Aku adalah angin.