Dari Kanan: Sukendar, Abu Hapsin, Moderator. |
Semarang-WAWASANews.com
Setiap agama
memiliki simbol-simbol keagamaan sebagai alat pemersatu bagi setiap pemeluknya.
Tanpa simbol keagamaan maka akan hilang perekat antara suatu pengikut agama
dengan yang lain. Simbol-simbol agama berfungsi sebagai alat pemersatu
sekaligus sebagai penumbuh rasa kepemilikan terhadap agama yang dianut oleh
kelompok tertentu.
Meskipun begitu,
simbol agama tidak lebih penting dari pada esensi agama itu sendiri. Yaitu
sebuah praktik kegaamaan yang dapat melahirkan kesalehan-kesalehan sosial. Esensi
agama tidak hanya sebagai ritus. Lebih dari itu, agama harus mendatangkan
kemaslahatan bagi lingkungan sekitar. Demikian intisari diskusi publik yang
diselenggarakan oleh Fakultas Ushuluddin Program Khusus (FUPK) IAIN Walisongo
Semarang, Rabu, (19/12).
Diskusi dengan
tema “Redefinisi Makna Religiusitas” itu menghadirkan Ketua Umum Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Semarang Abu Hapsin, Ph. D. dan motivator internasional
Sukendar Sodik, M.Ag. MA. Sebagai pembicara.
“Kelekatan
seseorang terhadap simbol-simbol dan bentuk formal keagamaan memang penting.
Namun, hanya dengan kelekatan terhadap simbol dan bentuk formal keagamaan tidak
cukup untuk membuat orang menjadi agamis. Seorang agamis merupakan gabungan
antara komitmen terhadap bentuk formal dan substansi,” kata Abu Hapsin dalam
diskusi yang digelar di Audit I kampus I IAIN Walisongo Semarang tersebut.
Dosen Fakultas Ushuluddin
itu juga menyayangkan praktik keagamaan masyarakat yang hanya mementingkan simbol-simbol.
Dia mencontohkan semakin banyaknya musholla didirikan di perkantoran namun
korupsi tetap jalan. Demikian pula, semakin banyak jumlah jama’ah haji yang
pergi ke Baitullah, namun, pada saat yang sama, semakin banyak anak terlantar.
Baginya, orang
yang melaksanakan ritus-ritus keagamaan semisal shalat tidak bisa disebut
seorang agamis manakala tidak melahirkan sifat yang baik dan santun terhadap
fakir miskin atau tidak dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar. “Tidak hanya
shalat, tapi substansinya juga,” kata Abu.
Sukendar sodik
juga menjelaskan mengenai religiusitas. Baginya, religius tergantung pada siapa
yang menilai. Dengan mengutip Stark Glok, ia menjelaskan bahwa tidak semua dimensi
ada pada seseorang. Kadang-kadang orang beriman ada yang tidak menjalankan
ritual. Ada juga orang yang memiliki pengetahuan tentang keagamaan, namun ia
tidak dapat mempraktikannya.
Sementara dalam Islam,
lanjut Sukendar, dimensi religiusitas adalah iman, islam dan ihsan.
Yaitu sebuah keihlasan dalam menjalankan ibadah. Indikator seseorang itu
dikatakan baik ialah bagaimana ia dapat bermanfaat bagi manusia yang lain. Pun
ibadah dalam islam tak lain memiliki tujuan sosial disamping merupakan wujud
penghambaan kepada Tuhan.
“Apa yang dikatakan Allah dan Nabi tentang religiusitas
selalu berkaitan dengan kebaikan umat manusia dan sekitarnya. Dimensi agama
tidak hanya untuk agama, tetapi juga untuk dimensi social,” kata Sukendar, yang
juga dosen sekaligus Ketua Jurusan (Kajur) Agama dan Perdamaian Fakultas
Ushuluddin itu.
Sukendar kemudian
memberikan indikator-indikator orang yang riligius sebagaimana terdapat dalam
beberapa hadist Nabi missal, inna min khiyaarikum ahsanakum akhlaaqo/
sebaik-baik kamu adalah orang yang paling bagus akhlaknya. (Arifin)