ﻱ (Ya’)
Mushaf-mushaf
kecil koyak berhamburan
Alif,
Ba, Ta’, dan Tsa-nya mati menakutkan
Kisah
dalam mushaf perlahan hilang ditelan peradaban
Kami
seolah tak lagi mengenal-Mu, Tuhan!
Syahadat
tlah kami ikrarkan,
tapi
mulut dan ucapan bak rekaan
Kalimat-kalimat
suci-Mu tlah kami senandungkan,
tapi
kami bertingkah lupa tuk menegakkan
ﻱ ...
Kami
buta dan tuli, Tuhan
Akankah
Kau semayamkan sebutir benih pengampunan?
Agar
kami bersyukur, agar kami tak kufur
Bila
tidak,
inilah
akhir perjalanan kami dalam fana,
terpenjara
di lubang yang menyeramkan,
menua
dan mati mengenaskan,
layaknya
mushaf yang terdustakan itu, Tuhan.
Di antara Sunyi
Malam
krik, krik, krik,
tiga bunyi itu
mampir ke telinga, jelas bagiku
tiga bunyi itu
sahut menyahut, terasa olehku
tiga bunyi itu
mengadu nyali, berpikirlah aku
terus terdengar
tiga bunyi itu, kian ganjil di mataku
bunyi, tak tertangkap
indera mata
tapi gaungnya
mengena
krik, krik, krik,
dalam malam
kelam
ada sisa-sisa
kehidupan
terkadang lupa
terpikirkan
bahkan sempat
terabaikan
diantara bumi,
langit, dan reruntuhan jiwa
diantara
ruang-ruang sepi
berbalut
refleksi dan rindu
jangkrik-jangkrik
itu setia bersenandung
senantiasa
berikhtiar
seraya
memanjatkan do'a pada Tuhan
agar
teman-teman seperjuangannya tetap tegar
memekikkan
nada-nada suci di tengah malam
meski terdengar
agak sumbang
Kidung Cinta Sang Waktu
Detik
berlari hingga tak disadari
Saling
berlomba, adu nyali
Menapaki
beragam dimensi penuh uji
Tapi
mereka tetap dua sejoli
Selalu
bersanding karna saling memahami
Tegar
berdiri walau diterpa badai dan tsunami
Lihatlah...
Yang
satu tinggi, sedang yang lain rendah
Yang
satu hitam, sedang yang lain merah
Yang
satu berusaha, sedang yang lain berpasrah
Yang
satu berlari cepat, sedang yang lain lambat
Yang
satu patah arah, sedang yang lain berikan semangat
Mereka
selalu saling melengkapi
Bahkan
tak pernah mereka peduli
Hingga
kapan mereka bersanding di sana
Atau
mungkin sampai manusia tak lagi ada
Ya,
begitulah sang waktu
Bergerak
seiring irama dan melodi rindu
Rindu
akan bertemu Sang Maha Tahu
Setangkai Do’a
Ketika
si kecil masih bergelut dengan takdir...
Ia
ingin berterima kasih pada Mama,
Wanita
tangguh yang tak pernah mengeluh,
Wanita
shalihah yang selalu berpasrah,
Wanita
hebat yang kan slalu dijadikan kiblat,
Wanita
penyayang yang kan slalu dikenang.
Bagi
si kecil, Mama adalah kepercayaan Tuhan.
Di
dalam rahim Mama, ia dititipkan.
Entah
berapa lama Mama harus tegar hadapi penderitaan,
Sementara
si kecil selalu saja bertingkah dalam kandungan.
Kala
si kecil melawan ingin segera menatap dunia.
Mama
tersenyum.
Dibelainya
si kecil penuh cinta.
Mama
mengerti keinginan si kecil.
Tak
pernah sedetikpun ia lalai.
Bahkan
Mama selalu hati-hati soal nutrisi.
Saat
tiba masanya si kecil memenuhi takdir...
Lahir
Seluruh
energi Mama terkuras,
Di
atas pembaringan, Mama terkulai lemas.
Sedang
si kecil bahagia berada di samping Mama.
Si
kecil nan mungil,
terus
berusaha membuka kelopak mata,
menggerakkan
anggota tubuhnya,
walau
tak sempurna.
Setelah
nyawa mulai terkumpul.
Mama
angkat si kecil,
Ia
berikan kecupan mesra,
dan
mendekapnya dalam kehangatan.
Duhai bahagia si kecil...
Ia
bermandikan cinta dan kasih sayang.
Ketika
si kecil sama sekali tak berdaya...
Ia
ingin persembahkan kado spesial untuk Mama.
Tapi,
Hendak
berlari, berdiri pun tak mampu
Hendak
berkata-kata, berbicara pun tak bisa
Si
kecil sempat gelisah dan hampir pasrah
Segala
daya telah ia kerahkan
Hanya
kegagalan yang ia temukan
Berkali-kali
pula si kecil kelabakan
Mengorek
daya yang “mungkin” masih tersisa
Beruntunglah
si kecil...
Ia
masih dapat tertawa
Tawa
itulah yang kan menghiasi hari-hari Mama
Dan
si kecil hanya bisa bermunajat kepada Tuhan,
agar
keikhlasan Mama dibalas surga-Nya
Waktu Hujan
Tuhan
jawab pinta manusia lewat hujan
Minta
rezeki?
Minta
damai?
Minta
cinta?
Minta
apa lagi?
Semua
tlah Tuhan ramu dalam hujan
Andai
manusia mengetahui
Waktu Pancaroba
Bumi
yang kita pijak ini sungguh ajaib, kawan...
Musim
kemarau pergi, tibalah musim hujan
Di
antara kedua musim, ada musim peralihan,
Panca-rob-a
Tapi
aku tak bicara soal cuaca, kawan...
Karna
itu sudah kuasa Tuhan
Mau
tahukah engkau, kawan?
Aku
tengah menggerutu zaman
Zaman
peralihan nan menyesatkan
Sadar
atau tidak
Kita
semua tengah dijadikan tumbal kebiadaban
Oleh
penguasa yang gila kekuasaan
Dulu
kita kaya,
Tapi
kini satu sen pun kita tak punya
Dulu
kita dikabarkan makmur,
Tapi
kini kita babak belur
Dulu
kita dikenal jujur,
Tapi
kini aset kita banyak yang mabur
Ah,
zaman macam apa ini!
Segala
kearifan negeri kita beralih entah ke tangan siapa
Mau
diberi apa anak-cucu kita nanti?
Andai
pula mata kita terbuka,
pikiran
kita berdinamika,
mulut
kita mau bicara,
tangan
dan kaki kita bergerak leluasa
Tentu
saja Tuhan mau dengarkan do’a kita
Tuk
kembali hidup seperti sediakala
Lutfiyah
Nurzain, lahir 29 Januari 1994 di Desa Slarang Lor, Dukuhwaru, Kabupaten Tegal,
Jawa Tengah, masih aktif kuliah di Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang
dan crew LPM EDUKASI.