Oleh Mukhlisin
Kampus layaknya
suatu negara.
Bisa dikatakan, kampus adalah
gambaran miniatur
negara. Pemerintahan kampus juga menjalankan trias politika (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) sebagaimana yang ada dalam sistem pemerintahan negara.
Adanya
pemerintahan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan
mahasiswa. Lembaga-lembaga mahasiswa
yang ada di kampus, seperti persma, lembaga kebahasaan, dan lain sebagainya. Semua itu dibentuk demi
meningkatkan kualitas dan integritas mahasiswa.
Diakui atau
tidak, perpolitikan di kampus sangat menentukan maju tidaknya negara Indonesia.
Kampus menjadi tempat uji coba politisi
muda yang bisa menentukan masa depan bangsa. Apabila politisi kampus mampu
menjalankan pemerintahannya dengan baik dan bisa membuat perubahan dan kemajuan
di kampusnya, maka diharapkan ketika mereka terjun dalam pemerintahan negara
akan lebih memiliki integritas.
Kaum Medioker
Namun, jika
melihat realita yang terjadi, maka bisa dikatakan bahwa pemerintahan kampus
telah “gagal” dalam menjalankan visi misinya. Tujuan politik kampus yang pada
mulanya untuk mewujudkan masyarakat akademis kampus yang peduli sesama, kini tak
nampak sebagai fakta yang menggembirakan. Mengapa? Karena politik dijadikan sebagai ajang perebutan kekuasaan antar aktivis
mahasiswa belaka.
Ketika
keadaannya demikian, maka yang terjadi adalah kecurangan-kecurangan dan penyelewengan
dalam pemerintahan. Para politisi kampus menjalankan pemerintahan bukan lagi
untuk mengayomi dan mengurusi segala kegiatan mahasiswa, melainkan untuk meraih
jabatan semata. Kecurangan dan penyelewengan seperti Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
(KKN) tidak bisa dimungkiri pasti akan terjadi.
Hedonisme
Permasalahan lain yang kini
sedang terjadi di kampus saat ini adalah semakin
banyaknya mahasiswa yang bersikap hedonis, apatis, individualis, dan juga
anarkis. Apakah ini juga petanda kegagalan kepemimpinan kampus? Seharusnya,
sebagai pemerintah tentunya menyediakan wadah kegiatan pembelajaran yang bisa
menyelamatkan mereka dari sikap yang ironistik tersebut.
Semua itu
terjadi karena pemerintahan kampus diduduki oleh kaum medioker, yakni, mereka
yang memiliki kemampuan yang biasa-biasa saja, baik dalam segi manajemen maupun
kepemimpinan, sehingga tidak mampu menjalankan pemerintahan sebagaimana
mestinya. Akibatnya, keadaan kampus menjadi kurang harmonis, karena ditempati
oleh mayoritas mahasiswa yang tidak memiliki sikap idealis.
Jika
pemerintahan kampus masih dijalankan oleh kaum medioker, maka jangan harap
perpolitikan dapat berjalan dengan baik. Sehingga, sulit kiranya kampus untuk
mengalami kemajuan. Mereka berpolitik akan tetapi tidak mengetahui apa itu
hakikat politik, maknanya, serta tujuannya. Yang terjadi bukanlah politik untuk
melayani dan mengurusi, melainkan untuk menguasai. Ketika pandangannya
demikian, maka berbagai cara pun dilakukan demi merebut dan mempertahankan
kekuasaan.
Sistem Meritokrasi
Menurut hemat
penulis, sistem meritokrasi merupakan langkah yang tepat untuk mengatasi
masalah tersebut. Meritokrasi adalah sistem yang menjadikan prestasi sebagai
kriteria mengenai siapa aktor yang nantinya berhak menjalankan pemerintahan
kampus. Jadi, ketika sistem ini diterapkan, maka akan terjadi kompetisi yang menyenangkan
dan hasilnya pun memuaskan. Sebab, bisa dipastikan bahwa yang menang adalah
dialah yang berkualitas tinggi. Sehingga, sangatlah layak untuk menjalankan,
mengatur, dan memimpin pemerintahan kampus.
Adapun langkah
riil dari sistem meritokrasi misalnya, bagi siapa saja yang ingin mencalonkan
diri sebagai Ketua BEM, HMJ, dan juga Sema, maka harus bisa meraih nilai Indeks
Prestasi Kumulatif (IPK) minimal 3,5. Selain itu, ia juga harus bisa menulis
sebuah karya, bisa berbahasa asing, dan syarat-syarat lain yang bisa
meningkatkan kualitasnya.
Regulasi di
atas dipandang sangatlah penting demi terciptanya politisi kampus yang
benar-benar layak dan pantas menjalankan pemerintaan kampus. Jangan sampai
pemerintahan dipegang oleh orang-orang yang kemampuan mereka biasa-saja. Sebab,
mereka itulah yang akan merusak sistem yang ada.
Sebagaimana sabda
Nabi Muhammad SAW, “Jika suatu pekerjaan diserahkan pada orang yang bukan
pada bidangnya, maka tunggulah kehancurannya”. Hadits ini melarang dengan
tegas kepada kita bahwa, jangan sampai kita salah dalam menempatkan posisi
seseorang, karena itu yang akan menyebabkan munculnya kerusakan dan kehancuran.
Muhklisin, peraih Beasiswa Unggulan dan Peserta Program Pendidikan Karakter Kepemimpinan di Monash Institute