Oleh Aan Hardiana
sumber: utusanriau.com |
Malam
sunyi. Tak terdengar suara apa pun. Bahkan suara jangkrik yang biasanya
menganggu nikmatnya tidurku, malam ini hilang ditelan gelapnya malam. Sepi.
Tetapi tidak dengan pikiranku. Otakku terus berfikir, jalan-jalan menyelami dan menyusuri dalam kenanganku. Aku tidak salah. Jelas sekali. Aku tidak
melakukannya, aku hanya melihatmu, hanya tersenyum. Itu saja, tidak lebih.
Lelah
rasanya mata ini. Terasa kantuk yang amat sangat, tapi aku enggan untuk
mengistirahatkan mataku. Tak seperti mataku, otakku nggak ada lelahnya untuk terus berfikir, salah apa aku? Ahh,
semakin aku berfikir, semakin pusing yang kurasakan. Tak kuat juga aku menahan
lama rasa kantuk ini, akhirnya aku kalah dan tak terasa kupejamkan mata ini.
“Tidak,
tidak, bukan aku! Aku tidak melakukannya!”
“Arrgghh!!!” aku terbangun dari tidurku yang hanya satu jam lewat.
Dalam keadaan setengah sadar, aku bertemu Rani. Rani temen baikku. Setidaknya
itulah yang dia rasakan. Hanya sebatas teman. Sudah tiga malam ini sosok Rani
selalu mengganggu ketenangan malam hariku. Meminta pertanggung jawaban dari orang yang tak
merasa melakukan. Ya, kira-kira begitu.
***
Jujur,
aku sangat mencintai Rani saat jumpa pertama kali. Cinta pada pandangan
pertama. Ya, itulah yang kurasa. walau banyak orang yang tak percaya cinta pada
pandangan pertama -termasuk aku sebelum kenal dia- tapi, setelah melihatnya,
aku bisa merasakan kekuatan mata dan hati untuk bisa mengerti cinta. Sosok yang
sangat pantas dijadikan pendamping hidup. Cantik, pintar, baik, sabar dan
perhatian. Ya, itulah sekilas gambaran dari Rani. Wanita idamanku. Idaman
setiap laki-laki.
Tapi,
kenapa memilih Tanto, teman baikku. Tak habis fikir aku dibuatnya. Semua telah kuberikan
padamu. Semuanya, cintaku, waktuku, perhatianku! Kurang apa aku? Apa hebatnya
Tanto dibandingakan dengan aku. Memang dia lebih kaya sedikit dari aku. Tapi
setahuku Rani tidak termasuk golongan yang menyukai harta. Kenapa?
Selepas
Shalat Maghrib yang tidak
khusyu’, seperti biasa aku langsung duduk
didepan teve. Tidak untuk menonton. Aku tidak suka nonton. Dengan ditemani
secangkir teh panas tanpa gula, aku memainkan gitar tua kesayangan, hadiah
ulang tahun dari ayahku.
“Tok,
tok,” suara pintu diketuk.
“Iya
bentar,” kaget.
Ada
apa gerangan Rani main ke kosku. Sudah hampir tiga bulan ini dia tidak sempat
berkunjung.
“Ada
apa Ran, tumben?,” sapaku dengan senyum yang sedikit dipaksakan.
“Hmm..
Cuma mau ngasih ini”
“Undangan?,”
aku masih bertanya-tanya.
“Iya,
dua minggu lagi aku nikah sama Tanto. Kamu datang yah,” katanya dengan manja
dibarengi dengan senyum manisnya.
Seakan
diremas-remas hati ini. Rasa sesak di dada menjulur ke seluruh tubuh. Terdiam.
Ingin rasanya ikhlas menerima semua ini, tapi semakin aku mencoba untuk ikhlas,
semakin sakit hati. Kalau toh Rani tidak mencintaiku, tidak apa-apa, aku ikhlas.
Tetapi kenapa harus dengan Tanto?
***
Tiga
hari menjelang pernikahannya, Rani sibuk mempersiapkan segalanya. Mulai dari persiapan undangan,
tempat pernikahan, gaun pengantin, dan lainnya. Entah disengaja atau tidak, aku melihat Rani sedang sibuk
memilih baju. Sudah pasti disengaja, karena hampir seminggu ini aku mengikuti
Rani kemana pun dia pergi. Tapi, hari ini Rani belanja sendiri. Kemana Tanto?
Sejengkal
demi sejengkal Rani memilih baju yang dia sukai.
“Pasti
memilih warna ungu,” hatiku berbisik.
Ah,
Rani kurang apa aku, aku sudah sangat memahamimu, tapi..
***
Tidak
terasa sudah setengah hari aku membuntuti Rani. Jam 8 malam Rani baru pulang.
Aneh, tidak dijemput Tanto. Tidak seperti biasanya mereka selalu berdua kemana pun
dan dimana pun. Rani pulang naik taksi warna kuning. Kalau ada taksi warna ungu,
pasti dia naik taksi itu. Dia sangat suka warna ungu, tak tahu kenapa, dan aku
pun tak mempermasalahkannya. Seperti hari kemarin dan kemarinnya lagi, aku
dengan setia mengikuti Rani sampai depan rumahnya. Hanya berani di depan rumah.
Di
jalanan yang sepi, ditemani gerimis mesra yang cukup membasahi bajuku, taksi yang ditumpangi Rani berhenti mendadak.
Mogok.
“Kenapa
pak?” tanya Rani dengan nada yang kesal.
“Maaf
Mbak, mogok, sebentar yah Mbak. Tunggu di dalam saja,” kata si supir.
Bosan
Rani menunggu di dalam taksi, kemudian dia jalan-jalan ditengah kegelapan
malam. Tapi aku masih bisa melihat dengan jelas kecantikannya.
Aku
dikejutkan oleh kedatangan tiga pemuda yang muncul dari semak belukar. Yang
kemudian menyekap Rani dari belakang. Rani mencoba untuk melawan, tapi apa daya kekuatannya tidak mampu menandingi
mereka. “Bentar, bukannya itu sopir taksi
yang tadi?” terheran-heran aku dalam hati.
Aku
melihat dengan jelas, sangat jelas. Ketika pemuda itu membuka dengan paksa baju
yang Rani kenakan. Sempat berpikir aku menjadi orang baik, aku akan menolongnya.
Aku
hanya diam Rani diperlakukan seperti itu. Tidak tahu juga kenapa aku sangat
menikmati aksi tersebut. Ada kepuasaan tersendiri. Mungkin karena aku sudah
terlanjur sakit hati olehnya. Mungkin.
***
Aku
dibangunkan oleh suara pintu yang diketuk berkali-kali dengan begitu keras.
Dengan sedikit memaksakan mata yang masih betah terpejam, aku membuka pintu.
“Ada
apa Min?,” tanyaku dengan nada marah.
“Rani...
Rani bunuh diri!,” jawab Paimin terbata-bata.
“Hah,
bunuh diri?!”
“Jangan
ngawur kamu? Tau dari mana?”
“Aku
habis dari rumahnya, dia mati gantung diri di rumah kosong,”
Aku
masih takut untuk memejamkan mata. Takut Rani kembali datang dalam mimpiku. Aku
tidak salah. Aku tidak melakukannya. Mereka yang melakukannya, bukan aku. Aku
hanya melihat. Aku hanya tersenyum. Itu saja, tidak lebih.
Aan
Herdiana, Mahasiswa Jurusan Dakwah
Prodi
Komunikasi dan Penyiaran Islam STAIN Puwokerto