Oleh Muhammad Bagus Irawan
Judul :
Jokowi, Si Tukang Kayu
Penulis :
Gatot Kaca Suroso
Cetakan :
1, September 2012
Penerbit : Ufuk Fiction
Tebal : 246
halaman
Kabar seputar Joko Widodo (akrab dipanggil Jokowi) banyak
menyita perhatian publik. Jokowi menjadi trendsetter. Kepemimpinannya
atas Kota Solo (2005-2012) adalah bukti nyata. Di tengah sikap skeptis rakyat
pada pemimpin ‘menara gading’ yang hidup serba mewah, Jokowi hadir berbeda. Ia
memimpin dengan kesederhanaan dan langsung terjun ke lapangan. “Buat apa
berlama-lama di kantor, permasalahan sebenarnya ada di lapangan, mencari solusi
mesti mendengar dan merasakan langsung keluh rakyat”, tandasnya dengan mantap.
Tak heran, Jokowi lantas diamanati warga Jakarta untuk memimpin Daerah Khusus
Ibukota (2012-2017).
Novel ini mendeskripsikan riwayat Jokowi sedari kecil,
remaja, hingga dewasa. Penulis, Gatot Kaca Suroso, memakai peran ‘aku’ mewakili
sosok Jokowi secara aplikatif dan cukup menjiwai. Tak salah bila novel ini
dikategorikan inspiratif karena pesan penulis akan dengan mudah ditangkap
pembaca. Membuka larik awal, kita mulai diajak bernostalgia menuju
kesederhanaan Kota Solo tahun 1970-an.
Joko Widodo terlahir sebagai anak sulung di kampung sebelah
utara Terminal Tirtonadi Solo (hlm. 17-18). Jokowi kecil tumbuh di bantaran
Kali Pepe, sarat dengan permukiman kumuh yang miskin. Meski begitu, Jokowi
beruntung karena keluarganya sadar ihwal pentingnya pendidikan. “Kalau kamu
sekolahnya pinter, kamu akan mudah mencapai cita-citamu. Jangan hanya
menjadi seperti bapak lan ibumu yang hanya berjualan kayu dan pring”,
begitu nasihat ibu (hlm. 29).
Secara figuratif, Jokowi mewarisi falsafah kehidupan
keluarganya yang agamis, sederhana, pekerja keras, dan jujur. “Bapak, Ibu,
maupun Mbah Harjo sama-sama pernah memberiku nasihat soal nrima ing pandum,
yang intinya rida, ikhlas dengan yang diberikan Gusti Allah. Tapi nerima
bukan sekadar nerima. Melainkan dibarengi dengan ikhtiar semampunya.
Adapun hasilnya, itu terserah kepada Yang Maha Kuasa” (hlm. 125).
Bimbingan keluarga itulah yang meluruskan prinsip hidup
Jokowi. Jokowi lebih sigap bertindak ketimbang hanya sekadar beretorika.
Hasilnya, Jokowi selalu menjadi bintang pelajar sedari SD hingga SMP. Anak
kampung itu ternyata mampu bersaing dan mengungguli intelektualitas anak kota.
Sayangnya, selepas SMP, Jokowi tak diterima di sekolah favorit SMA 1 Surakarta.
Namun begitu, Jokowi bisa menerima dan membuktikkan bila di SMA tidak favorit
pun, bisa menjadi tangga menuju prestasi bagus. Sambil bersekolah, Jokowi rajin
membantu blandong bapaknya, mencari kayu di hutan. Selepas menamatkan
SMA dengan predikat bintang pelajar, Jokowi gamang untuk melanjutkan ke bangku
kuliah. Alasannya, kurang biaya. Tak diam disitu, Jokowi memutuskan untuk
bekerja dahulu, menabung biaya buat kuliah.
Tak disangka, biaya perkuliahannya diam-diam telah disiapkan
keluarga. Jokowi pun diterima sebagai mahasiswa Jurusan Kehutanan, Universitas
Gajah Mada. Di samping kuliah, Jokowi mesti bolak-balik Jogja-Solo untuk
membantu bisnis kayu bapaknya yang mulai berkembang. Terbatasnya waktu
untuk kuliah dan bekerja, memaksa Jokowi kurang aktif berorganisasi. Meski
begitu, Jokowi tetap cerdas dan berpandangan visioner. Di sini, Jokowi berusaha mencontoh etos kerja
Kanjeng Nabi Muhammad, yakni Mujhid-Muzhid, kerjo mempeng tirakat banter (hlm.
185). Ini terbukti dengan keaktifannya mengikuti kegiatan bakti sosial yang
diadakan organisasi manapun. Prinsipnya adalah menjunjung tinggi butir ketiga
Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni melaksanakan pengabdian kepada masyarakat
(hlm. 187).
Puncaknya, Jokowi bersama kelompoknya mampu merancang
program KKN dengan slogan pembangunan masyarakat desa berbasis kemandirian.
Tidak seperti KKN biasanya yang selalu menekankan program berantas buta aksara.
KKN ini memprioritaskan program kursus dan pelatihan bagi pemuda desa menjadi tukang kayu yang
kreatif membuat mebel berkualitas. Di samping itu, program KKN konvensional pun
turut digarapnya. Hasilnya memang membanggakan, seusai KKN Jokowi dan
teman-teman meninggalkan kampung tanpa rasa bersalah.
Cerita berlanjut saat Jokowi meminang sang istri dengan
segala keterbatasnnya, saat menjadi buruh di pabrik kayu di Aceh, merintis
usaha mebel dari nol dengan susah payah, hingga Jokowi diminta kawan-kawannya
maju menjadi kandidat walikota Solo. Akhirnya, novel ini memang cocok dibaca
oleh siapapun yang ingin tahu rahasia dibalik kemujuran Jokowi. Bahwa Jokowi
adalah tukang kayu yang ber-passion seorang pemimpin. Ia selalu berusaha
peduli, mencarikan perbaikan pada rakyat, apapun kekurangannya.
Muhammad Bagus Irawan,