Esai Sastra
Oleh Inayah Az Zahra
sumber: http://r12k.files.wordpress.com |
Indonesia seolah sedang berkaca pada cermin yang retak; menjadi sebuah negeri yang
penuh dengan keganjilan di tengah perubahan yang maha dahsyat. Bahkan dari tiap keganjilan-keganjilan
itu sudah melampau batas fiksi.
Apa sesungguhnya yang salah dari sistem
pendidikan bangsa ini sehingga menghasilkan manusia-manusia yang begitu gila
kekuasaan, kehormatan, jabatan, bahkan rela menghalalkan segala cara asalkan
kekuasaan dan jabatan yang telah diraih tidak lepas? Seolah manusia-manusia di negeri ini takut kehilangan
jabatan (kekayaan) meski harus menanggalkan rasa kemanusiaan.
Dunia
pendidikan bukan satu-satunya yang patut dihakimi. Namun, kita harus mengakui bahwa dari pendidikanlah peradaban sebuah masyarakat bisa terbentuk dan dimulai.
Bahkan, disebut-sebut sebagai agent of change. Dari institusi
pendidikan, diharapkan dapat dibentuk manusia-manusia yang berjiwa luhur,
berperikemanusiaan, tidak merampas hak orang lain, jujur, dan mandiri. Pendek
kata, institusi pendidikan diharapkan mampu menumbuhkan jiwa-jiwa luhur.
Jembatan Pendidikan
Agaknya semua
ini terlanjur terjadi. Rela tak rela kita boleh mengaitkan dengan rendahnya pengajaran
(apresiasi) sastra di sekolah. Sastra berguna untuk mengasah
rasa, mengolah budi, dan memekakan pikiran. Hal itu merupakan cikal bakal
moral. Sementara, kita
tahu, lembaga sekolah adalah peletak batu pertama
pembentuk watak dan kepribadian seseorang, setelah orang tua dan lingkungan tempat tinggal. Rasanya, para pendidik negeri ini telah begitu
lama mengabaikan, atau bahkan nyaris tak peduli dengan pendidikan sastra yang
memadai kepada anak didik.
Penelitian
Taufik Ismail di tahun 1997-2005 menunjukkan betapa sastra tidak diperkenalkan
pada siswa-siswi hingga mereka menyelesaikan SMA. Menurutnya, sebagian besar
siswa-siswi di Indonesia telah berhasil menyelesaikan NOL karya. Betapa
mengenaskannya nasib sastra dalam dunia pendidikan di Indonesia ini. Apalagi
jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Malaysia mewajibkan 6 judul
karya, di Swiss dan Jepang, wajib lahir 15
judul. Indonesia?
Dalam mimbar kebudayaan Sastra dan
Revolusi di Yogyakarta pada Juli 2010, Max Lane, seorang penerjemah
karya-karya Pramoedya Ananta Toer ke dalam bahasa Inggris mengatakan,
“Indonesia adalah satu-satunya negera di dunia yang tidak memasukkan sastra
sebagai mata pelajaran wajib di pendidikan menengah!”. Pada zaman
Hindia Belanda saja misalnya, siswa diwajibkan membaca buku sastra
25 judul bagi Hindia Belanda-A dan 15 judul bagi Hindia Belanda-B. Sementara
sekarang? Tiada. Nihil.
Fakta di atas sudah cukup menunjukkan
bahwa negeri ini memang sungguh sangat ganjil. Oleh karena itu, kini kita pun
menuai hasil dari keganjilannya. Sebuah negeri yang dihuni oleh
pemimpin-pemimpin yang sakit dan moral yang rapuh.
Sastra tidak saja membentuk watak dan
moral, tetapi juga memiliki peran bagi pemupukan kecerdasan siswa dalam semua
aspek. Melalui apresiasi sastra, misalnya, kecerdasan intelektual, emosional,
dan spiritual siswa dapat diasah. Siswa tidak hanya terlatih untuk membaca
saja, tetapi juga mampu mencari makna dan nilai-nilai yang luhur. Bukankah
dalam setiap karya sastra terkandung tiga muatan: imajinasi, intuisi, dan
nilai-nilai? Karena itu, di Jepang misalnya, pemerintah mewajibkan semua
siswa-siswi untuk mempelajari sastra klasik sejak SMP. Karya tertua yang paling
dikenal adalah “Hikayat Genji”. Usia hikayat ini sudah mencapai 1000 tahun.
Modal apresiasi sastra yang memadai
tentunya akan menciptakan output pendidikan yang lebih arif dan bijak.
Dalam konteks ini, sastra menjadi sangat penting. Sastra tidak hanya semata
berperan dalam penanaman pondasi keluhuran budi pekerti, tetapi juga memiliki
andil dalam pembentukan karakter yang jujur sejak dini. Melalui pergulatan dan
pertemuan intensif dengan teks-teks sastra, anak akan mendapatkan bekal
pengetahuan yang mendalam tentang manusia, hidup, dan kehidupan, serta berbagai
kompleksitas problematika dimensi hidup.
Inayah Az Zahra,
Direktur Beranda Sastra
Edukasi (BSE), Semarang