Cerpen
Oleh
Hayyik Zainah
Pukul dua dini hari ketika awan masih merenda hujan dalam
gelap. Mereka, hujan-hujan itu masih bergulir dengan ritmik sejak sejam lalu.
Menemani Aira yang bergelung dalam lelap di bilik rumahnya. Ia tengah bermimpi.
Mimpi yang selalu ia nanti. Ibarat sekotak hadiah yang dibungkus misteri
bernama mimpi, mimpi tentang hujan
menjadi hadiah terindah baginya. Di sana, kakinya yang tak beralas menari-nari, tangannya yang gemulai melambai
pada mega agar terus merenda bulir-bulir hujan yang cantik.
Di tengah hujan yang menderas, Aira tergelak tanpa duka.
Lampu-lampu kota berpendar. Inilah saat paling membahagiakan baginya. Sejak
kecil ia menyukai perpaduan ini, kerlip lampu yang berbaur dengan bulir-bulir air yang menyerbu.
Menciptakan ilusi optik paling dramatis bagi Aira. Ia tergelak riang. Tawa yang
kian ramai karena ia tak sendirian di sana. Seorang pria dan anak kecil menyusulnya. Mereka
menggamit tangannya, mengajaknya bersenandung bersama. Menyusuri trotoar kota
penuh lampu. Menerobos hujan yang menderas. Berkolaborasi dengan gelak tawa
mereka di tengah hujan.
Namun ketika sebuah suara dari alam nyata menembus ke
dalam mimpinya, Aira terjaga. Bukan suara hujan. Suara itu justru sebuah
ketukan di jendela kamarnya. Seperti sebuah kode rahasia. Ketukan khas yang
terlalu sering ia dengar tiap dini hari selama ia tinggal di rumah ini. Ketukan
yang sudah seperti terompet bagi penjaga istana agar membuka pintu untuk sang
raja.
***
Seorang lelaki yang basah kuyup di
luar jendela...
“Bu, ini bapak,” suaminya memanggilnya setengah berteriak.
Aira nyaris tak mampu mendengar suaminya karena malam
basah yang berisik. Ia melepas pelukan Rafli -anak bungsunya-, perlahan, lalu turun dari
ranjang dengan malas. Jauh di dasar hati ia ingin menyuguhkan segala bentuk ungkapan
terindah dari perasaannya. Ingin sekali ia hadirkan
sambutan mesra bagi suaminya dengan senyum secerah mentari. Tetapi ia
tahu, balasan yang sama tak akan ia terima jika hujan sedang berlagu.
Ia tahu senyumnya hanya akan jadi beku jika tanah di pekarangan
mereka basah seperti malam ini. Suaminya pasti mengeluh lagi. Pria yang hanya
berbekal gerobak dan sepeda motor ini terpaksa menepi dari tempat mangkal
gara-gara hujan. Jika tidak, mainan anak-anak bermesin sederhana yang ia jual akan rusak terguyur basah. Aira
mengerti kerisauannya, tapi ia tak setuju jika hujan dijadikan kambing hitam.
Sampai saat ini ia masih sering bertanya-tanya mengapa hujan menjadi musuh utama pria yang ia cintai?
Bagaimana bisa ia berlarian di bawah hujan bersama lelaki yang benci kepada hujan?
“Malam ini sepi, Bu.
Pusing aku. Kerja ya sulit begini, tidak kerja malah lebih sulit lagi”
“Sudah, cepat tidur, mas!” Aira buru-buru menyela sebelum
suaminya bicara ngelantur kemana-mana. Ia kembali ke kamar untuk menghangatkan
hatinya kedalam lelapnya. Kembali memeluk si bungsu, Rafli. Berharap hatinya
menghangat lebih lama..
***
Aira sedang mengayuh mesin jahit tua miliknya ketika
petir manyambar-nyambar di luar. Hujan kembali mengguyur sejak maghrib tadi.
Langit terlihat begitu kelam tanpa sinar bulan. Gelegar petir bermakna miris
bagi Aira. Lama ia mengacuhkan mesin jahit tuanya. Hanya satu nama yang ada di
benaknya saat ini: suaminya.
Bagaimana keadaanmu saat ini, Mas? Sudahkah kau makan
malam? Kau pasti sedang kuyup di luar sana. Mungkin kau sedang kedinginan? Kau
selalu lupa membawa jaketmu saat pergi bekerja. Padahal sekarang kau mudah
sakit.
Ia berbisik pada hujan karena ia percaya hujan akan
mengirim pesan rindunya kepada suaminya. Sesekali ia berkomat-kamit menitipkan
do'a terindah bagi lelaki itu. Ia berikan kedua tangannya pada air yang jatuh
dari genteng rumah. Ketika petir menggelegar kembali, Aira pun kembali kepada
mesin jahit tuanya. Masih diliputi
rindu. Hujan tak hanya menghadirkan rindu, namun juga keresahan dan harapan
sekaligus. Hujan mengubah perasannya menjadi lebih teduh.
Tiba-tiba ia terkenang masa-masa indah bersama Marwan
tujuh tahun lalu, ketika mereka bertemu saat pagelaran wayang kulit dalam
rangka sedekah bumi. Senyum lelaki iu bagai kembang gula dengan warna yang
menarik. Aira makin jatuh cinta ketika mereka akhirnya menikah tahun
berikutnya. Kebahagiaannya terasa sempurna dengan kehadiran Rafli di tengah
keluarga kecil yang ia bina. Ia bahkan tak tahu kebahagiaan apa lagi yang lebih
indah dari memiliki suami dan anak. Hingga suatu hari kebahagiaan itu mulai meranggas bak daun jati di musim kemarau
ketika toko kelontong milik mereka terbakar, bersamaan dengan lenyapnya pasar
di kecamatan oleh luapan si jago merah. Peristiwa itu mengubah segalanya,
kebahagiaannya, juga sikap Marwan yang terlampau labil menghadapi kenyataan.
Diam-diam ia kecewa, Marwan tak sehebat yang ia kira.
Suatu ketika ia mendengar suaminya mengeluh lebih baik
jadi penjual bakso keliling. Esoknya suaminya bilang rasanya ia lebih cocok
jadi tukang bangunan saja. Seminggu kemudian ketika usahanya berjualan mainan
dirasa sepi, jualan gerabah di pasar
jadi keinginannya. Bahkan ketika tetangganya yang baru pulang dari luar negeri
membeli sepeda motor baru, suaminya berniat merantau ke Malaysia. Aira hanya
diam. Namun hatinya diam-diam mencibir.
Suara petir tak kunjung berhenti. Lamat-lamat ia
mendengar bunyi sepeda motor meraung di luar. Aira buru-buru keluar.
“Kok sudah pulang, Mas?” Tak ada sahutan dari Marwan.
Kebekuan pria ini menusuk hatinya. Pertanyaannya
menggantung begitu saja. Kepedihan seketika menyelubungi hatinya yang telah
rapuh. Ia cuma bisa mengelus dada, memasang tameng kesabaran setebal mungkin.
“Ada apa, Mas? Kok kusut begitu?”
“Ini bukan urusanmu!” bentak Marwan sambil
menjatuhkan dirinya di kursi malas.
Aira
merasa ada yang sesak di ulu hatinya. Ia memilih beringsut ke dapur, merelakan
tangannya membalas bentakan Marwan dengan segenap budi baik lewat secangkir
kopi.
***
Musim
hujan masih terus bergulir, seertinya akan lebih lama dari tahun sebelumnya. Di
Jakarta, rumah-rumah mulai tergenang. Orang-orang berduyun-duyun mengungsikan
barang-barang mereka ke tempat yang lebih aman. Beruntung, ia hidup di desa
dimana tanah masih perawan tanpa sapuan semen. Di desa, air bisa bebas
berlalu-lalang kembali ke peraduan.
Di
musim hujan ini, kebekuan masih Aira rasakan lewat wajah mendung Marwan.
Awalnya mendung itu hanya sedikit. Ia seperti daki yang menempel pada kulit,
lalu semakin banyak dan terlihat jelas seperti tompel di wajah suaminya.
Semakin lama, wajah Marwan kian dipenuhi mendung. Kian hari, mendung itu kian
pekat hingga Aira seolah melihat mendung itu turut menyelimuti rumahnya.
Mendung itu dibawa pulang Marwan lalu berceceran di lantai rumahnya. Sebagian
lagi terbang lalu hinggap di dinding dan tak kunjung pergi.
Mendung
itu membut Marwan uring-uringan setiap kali pulang dengan barang dagangan kuyup
di gerobaknya. Menguyupkan hati Marwan hingga kalut berbalut sengkarut. Hingga
suatu hari Mendung di rumahnya membuat sebuah vas bunga di meja ruang tamu
jatuh berkeping-keping. Mendung itu berasal dari hati Marwan lalu menjalar ke
wajah dan tangannya. Dari tangan itulah, vas bunga yang mereka beli saat masih
jadi pengantin baru itu terkulai di lantai.
Aira ternganga, matanya berkaca-kaca. Ia merasa
tak mengucapkan kata-kata kasar. Bahkan secangkir kopi telah terhidang. Hanya
karena Aira menemukan sebuah kupon judi di saku jaket Marwan, lelaki itu
terusik. Aira tak sempat bertanya lebih jauh. Hatinya sakit, seolah kepingan
vas itu telah ditusukkan ke dalamnya. Pertengkaran malam itu tak terelakkan
lagi. Ketika Aira meneriakkan kegalauannya terhadap sikap Marwan, sebuah
tamparan justru ia terima.
Malam
itu, hujan di luar rumahnya memang berhenti. Namun badai di hatinya
bergelombang dahsyat. Hingga Adzan Shubuh berkumandang, Aira tergugu di kamarnya.
***
“Kita mau kemana, Ibu?”
“Kita akan ke taman. Rafli pasti suka bermain
ayunan”
“Kok malam-malam?”
“Kalau pagi ibu tidak sempat. Kan masih kerja”
“Asik.. Aku mau main ayunan. Terus apa lagi, Ibu”
“Apa ya? Kita akan beli es krim coklat kesukaan
Rafli”.
Bocah
kecil itu berlari-lari kegirangan mendengar kata es krim. Ia kemudian
menghambur menuju ayunan saat sudah sampai di taman yang ramai dikunjungi orang
tua, anak-anak dan remaja itu. Aira
mengawasi bocah itu dari kursi taman.
Sudah
seminggu sejak kepergiannya ke kota ini, Aira tetap tak berniat kembali ke
desa. Sejak pertengkaran malam itu, ia sudah mantap akan memberi pelajaran pada
Marwan. Ia ingin lelaki itu tahu bahwa ia seorang istri, bukan tempat sampah
yang bisa dijejali segala kalimat tak berguna yang keluar dari mulutnya. Kalau
memang Marwan masih mengharapkan dia menemani lelaki itu, biar Marwan yang
mencarinya di kota ini.
Mendung
mulai menyelimuti saat Aira mengajak Rafli meninggalkan taman. Bintang-bintang
yang sedari tadi mengerlip manja mendadak undur diri dari tempatnya. Saat
itulah Aira membayangkan akan sangat indah jadinya menikmati gemerlap lampu
kota saat hujan deras mengguyur. Ia mendadak rindu pada Marwan.
Andai
malam ini ia ada disini, kami akan menikmati hujan malam hari seperti dalam
mimpi-mimpiku.
Ketika mereka melewati sebuah pohon tak jauh
dari taman, seseorang memanggil nama Rafli berulang-ulang. Langkah
mereka terhenti.
Aira
menemukan seorang laki-laki bertopi di bawah pohon. Cahaya lampu jalanan cukup
menerangi tempat lelaki itu berada. Aira bisa melihat, pakaiannya kotor,
seperti tak pernah dicuci berhari-hari. Aroma tak enak seketika menyegap
hidungnya. Dari penampilannya orang ini pasti orang gila, pikir Aira. Namun
saat lelaki bertopi itu mendongakkan kepala, jantung Aira berdegup keras. Rafli
menjatuhkan es krim dari tangannya lalu menghambur ke arah pria bertopi ini.
“Rafli..Rafli….,” bibir lelaki itu tak henti menyebut nama
Rafli. Ia sama sekali tak memandang orang yang disebut namanya. Mata itu kosong
seperti tak punya jiwa. Seolah semua kebahagiaan telah direnggut
darinya. Aira lunglai menyaksikan mata itu. Mata yang kini tak mengenali Rafli
dan dirinya lagi.
Air
langit turun. Menetes. Semakin deras. Mengaburkan air mata Aira yang menderas. Malam
itu, mereka bertiga menyusuri trotoar yang dihiasi kerlip lampu. Bergandengan
di bawah
lampu jalanan yang berpadu dengan
tetesan air yang menyerbu. Ia merasa malam ini sekotak hadiah berisi hujan
diberikan kepadanya. Persis seperti yang ada dalam mimpi Aira. Hanya
saja, tanpa gelak tawa.
Hayyik Zainah, mahasiswi IAIN Walisongo Semarang