Cerpen
Oleh Thomas Utomo
suripriyanti.wordpress.com |
Subuh kali itu, udara
terasa lebih dingin daripada biasanya. Aku mendapati diriku duduk di atas
tikar, melihat kabut mengawang di udara. Bulu kuduk dan bulu romaku
berdiri. Bukan oleh dinginnya udara, tetapi oleh berita yang dibisikkan
Bapak ke telingaku.
“Mo,
bangun, Mo. Ibu sudah pergi.”
Berita itu diucapkan
dengan lirih. Namun,
sudah cukup untuk menegakkan tubuhku. Aku menggeliat, merasakan ngilu
lantaran tertidur di lantai selasar yang dingin hanya beralaskan tikar.
Pergi? Jadi Ibu
sudah pergi? Allah! Detik itu aku berharap ini mimpi buruk yang
dihembuskan setan kepadaku.
Bapak menggamit tanganku,
mengajak masuk ruang ICU. Kutemukan Ibu terbaring di ranjang. Telapak
kakinya layu. Mata Ibu terbuka, tetapi tak kulihat bola matanya yang
cokelat di sana. Bapak mengusap wajah Ibu sambil menggumamkan sesuatu. Layar
monitor di sebelah kiri Ibu, membentuk garis lurus tak berkeputusan. Ini
bukan mimpi!
Tanpa bisa kutahan,
sesuatu pecah di mataku.
***
Sejak memiliki ingatan,
bayangan Ibu selalu memenuhi mataku. Seperti kebanyakan lelaki, wanita
itulah yang pertama kali membuatku jatuh cinta. Berdua, kami berkelana menyusuri
hari-hari berpelangi. Hanya berdua, karena sampai umurku menginjak lima
tahun, aku tidak pernah bertemu sosok lelaki bernama Bapak. Hanya foto
lelaki berseragam loreng menyandang senapan, juga foto-foto Ibu
bersama lelaki itu di album
kenangan, yang dikenalkan Ibu sebagai bapakku.
Ibu selalu memandang
foto-foto itu dengan binar cinta dan bangga. Dia akan mulai bercerita, kisah sama yang selalu
diulang-ulang, bahwa bapakku seorang abdi negara, seorang pejuang yang berada
jauh di seberang pulau. Di Timor Timur. Dengan setia, Ibu mencoret
tanggal yang telah lalu. Lantas, matanya berkejora, senyumnya mengembang
menghamburkan bunga-bunga sakura. Dia mengelus rambutku dan berkata,
“Bapakmu akan
pulang. Dia pasti bangga melihatmu tumbuh menjadi anak yang cakap dan
gagah.”
Kemudian Ibu
memangkuku. Dan berkata, “Jika bapakmu pulang
nanti…” atau “Kelak, setelah bapakmu pulang, pasti…” dan sebagainya dan
sebagainya lagi. Kurasa, Ibu sengaja menanam kalimat-kalimat itu di
benakku, agar aku membangun sosok Bapak dengan jelas.
Sejak Ibu mengabarkan
Bapak akan pulang empat bulan mendatang, Ibu semakin ceria. Sering kutemui
dia sedang melumuri wajah dan tubuhnya dengan cairan harum. Aku suka
menciumi pipi Ibu yang harum. Ibu hanya terkikih menanggapi
kelakuanku. Kulihat Ibu telaten meminum jamu berbau lumpur. Ketika
kutanyakan, mengapa Ibu minum jamu itu? Ibu tertawa berderai. Dia
mengatakan agar tubuhnya singset. Bapak lebih suka wanita yang
singset. Aku tak paham. Namun, kata-kata Ibu kusimpan dalam otakku. Ibu
juga gemar mengajakku ke Gedung Instruksi. Dia mengikuti senam dan
membiarkanku bermain-main dengan kawan-kawan di samping gedung. Tetapi,
aku lebih senang mengintip ibu-ibu yang sedang senam. Pakaian mereka
sempit dan minim, mengikuti alur lekuk tubuh. Diam-diam, ada sesuatu yang
bergerak dalam tubuhku.
Maka hari yang dinantikan
tiba. Siang-siang sebelum tabuh Ashar, Ibu sudah
memandikanku, memakaikanku kemeja dan celana terbagus. Tak lupa memakaikan
sepatu yang kusuka: sepatu berlampu di bagian tumit. Ibu menyisir rambutku
model belahan pinggir. Bersama kawan-kawannya sesama ibu-ibu, dia menuntunku ke
kantor. Kami tinggal di asrama batalyon, jadi jarak rumah dengan kantor
cukup ditempuh dengan jalan kaki.
Lelaki yang sering kulihat
di foto, turun dari mobil. Dia dan kawan-kawannya menghambur ke arah
keluarga masing-masing. Dia merengkuh dan mencium kening ibuku. Aku
malu-malu bersembunyi di belakang rok Ibu. Dia tertawa lebar, menampakkan
gusi yang merah segar. Dialah bapakku!
***
Sesuai yang ditanamkan
Ibu, aku melalui hari-hari cerah bersama Bapak. Jika ada waktu longgar,
dia mengajakku mengail di kali, menembak burung di hutan kecil sebelah
selatan rumah kami, atau menonton layar tancap. Dalam waktu sekejap
pergaulan kami,
aku segera menyukainya. Padanya kutemui sifat-sifat yang kusetujui dan
kujadikan model. Tutur katanya teratur, selaras dengan tangannya yang
cekatan membereskan seantero rumah. Darinya aku belajar
tingkatan-tingkatan bahasa Jawa dan aneka mainan dari janur dan kulit jeruk
Bali. Rumah kami bersih nyaman, rumput di kebun muka dan samping terpangkas
rapi berwarna hijau segar. Selokan di muka rumah, diubah menjadi tempat
beternak lele dumbo. Hampir tiap malam, aku menonton Bapak menangkapi ular
yang memakan lele kami dan mencacah-cacah dagingnya sebagai makanan lele. Komandan
batalyon berulang kali memuji rumah kami. Barangkali agar tentara lain
turut meniru.
Berbanding lurus dengan
Bapak, ibuku semakin cantik dan singset. Bapak tergila-gila
kepadanya. Dia mewakili
kehalusan dan kelembutan napas perempuan. Dari tangannya lahir berbagai
kerajinan cita: sulaman, rajutan, bordir, semok, kristik. Rumah kami
semakin manis dihiasi kerajinan karya Ibu. Ibu melakukannya untuk mengisi
waktu kosong, karena hampir semua pekerjaan rumah berpindah ke pundak
Bapak. Dia tidak suka menganggur atau mengisi waktu kosong dengan
mengobrol.
Dan yang paling kusuka,
ibuku gemar memasak. Lemari di dapur tak pernah kosong dari kuih-kuih
lezat bikinan Ibu. Menu makanan di meja, selalu berganti rupa setiap
harinya. Dan tiap kali berpakansi ke tempat pelesiran, Ibu selalu membawa
makanan buatan sendiri. Menurutnya, makanan matang yang dijual di luaran
tidak steril, tidak higienis. Bahan bakunya sering kali sembrono dan tidak
memenuhi standar gizi. Makanan di luaran adalah makanan enak, bukan makanan
sehat. Sedangkan Ibu berpandangan kenikmatan bukan segalanya. Yang
terpenting adalah sehat.
Ibu selalu menekankanku,
bahwa tiap kali makan, tidak sekadar mengunyah lantas mencernakan makanan. Terasa
enak di lidah, lalu sudah, selesai perkara. Tidak. Tetapi, dia
menghendakiku mengunyah secara perlahan sambil menikmati dan memikirkan betul
rasa apa yang tengah kucecap. Kira-kira
bahan makanan apa yang dipergunakan? Ibu juga mengharuskanku
mengamati wadah dan tempat berjualan, jika aku membeli makanan matang di
luar rumah. Baginya, ini perlu kulakukan agar aku selektif dan waspada
memilih makanan.
Sejauh ini, aku
menyetujui ajaran itu dan selalu mempraktikkannya.
***
Siang itu, hujan deras
memaku bumi. Rumah kami bocor. Bapak tidak di rumah karena sedang
dinas luar. Ibu nekat naik tangga bambu untuk melihat talang air. Seringkali
rontokan daun Jati
dari samping rumah menyumbat talang air kami dan membikin air merembes ke dalam
rumah. Barangkali karena tidak terbiasa melakukan pekerjaan itu, Ibu
terlihat kikuk. Dan tanpa disangka-sangka, kakinya yang telanjang
terpeleset saat menginjak anak tangga kelima. Dia terpelanting dan
pinggulnya menghantam bebatuan besar yang ditumpuk di kebun samping.
Ibu tak bergerak.
Wajahnya berkerinyut menahan sakit. Hanya tangannya mengisyaratkanku
meminta bantuan tetangga. Malamnya, tukang pijat disuruh datang memijat
Ibu. Sejak kejadian itu, dia kapok memanjat-manjat lagi.
Lantas, hari-hari kami
mengalir seperti biasa: tenang dan wajar, sampai kusadari, kulit Ibu
memucat. Kukira Ibu memakai pemutih. Tetapi, kukunya yang merah jambu
turut beralih warna. Ibu mengatakan dia kecapaian dan akan segera sembuh
jika banyak mengaso.
Suatu sore, aku turun
dari bermain di bukit sekitar Gudang Peluru. Kulihat Ibu dan Bapak
melintas naik becak. Mereka mengatakan akan ke rumah sakit. Aku diminta
menunggu di rumah. Kurasakan waktu lambat merayap. Malamnya Bapak pulang dengan dahi
bertitik-titik keringat. Wajahnya pias, penuh pandang khawatir. Dia
sendirian.
Keesokan hari, aku
membesuk Ibu. Dia tergolek di ranjang, berselimutkan kain bergaris putih
biru. Ada kantong darah di tentangan kepala Ibu. Selang berwarna
merah menjulur dari sana, dan dihunjamkan ke tangan Ibu.
Dan vonis pun dijatuhkan!
Ibu mengidap anemia grafis! Aku tidak tahu penyakit apa itu. Tetapi,
dari namanya, kucium hawa yang jahat.
Sejak itu, Ibu membagi
hidupnya antara rumah dan rumah sakit. Dia rajin menginap di tempat yang
semula enggan dia akrabi. Aku turut merasakan dampaknya. Acapkali,
sampai jauh malam aku diajak Bapak mengantre di Palang Merah, menanti jatah
kantong darah.
***
Setelah enam bulan
ulang-alik dari rumah ke rumah sakit, aku mulai membiasakan diri dengan
kebaruan hidupku. Ibuku yang pucat dan beberapa kali mimisan, sering
menciumku sambil meminta maaf. Dadaku sesak, menyebabkanku tak mampu
mengeluarkan isi
hati. Aku hanya termangu memandangi mata Ibu yang bercucuran.
Seperti urutan yang
sudah-sudah, sepulang sekolah, aku turut Ibu dan Bapak menuju rumah
sakit. Sepanjang jalan, kami disekap kebisuan. Ibu sesekali mengelus
rambutku. Kulihat di tangannya bercak-bercak hitam samar.
Hari itu, tak akan kulupa
sepanjang hayatku. Aku tengah menebus obat di apotek dinas, ketika dengan tersengal
Bapak menghampiriku. Bibirnya bergetar, mengabarkan Ibu dipindahkan dari
ruang penyakit dalam ke ICU.
Kujumpai Ibu di
ICU. Wajahnya cekung dan hidungnya terlihat lebih runcing. Berbagai
selang berjuluran menghunjam atau menempel tubuh Ibu. Hidungnya disumpal
selang bercabang yang menyambung ke stoples kecil berisi air yang terus
bergolak. Sebuah layar monitor di sebelah kiri Ibu, membentuk
segitiga-segitiga curam yang berkebalikan.
Waktu seolah berjalan di
tempat. Bapak tak meninggalkan Ibu, kecuali untuk mengambil air
sembahyang. Dia setia membisikkan doa-doa di telinga Ibu. Semakin
larut, Ibu menjadi gelisah. Tangannya menggapai-gapai, seperti hendak
mencari pegangan. Sesekali mulutnya mengeluarkan dengkuran. Kukira
Ibu tidur. Aku pun tidur.
Jam empat dini hari, aku
dibangunkan. Ibu sudah tiada. Hari itu, ibuku; salah seorang wanita
terhebat di dunia, menghembuskan napasnya yang penghabisan. Dengan
kesedihan yang kentara, Bapak membereskan barang-barang kami. Kami pulang
naik mobil jenazah.
***
Iring-iringan jenazah
menuju pekuburan. Bapak turut memanggul keranda. Aku berjalan di
belakangnya, dipapah pamanku. Hatiku kosong. Otakku padat penuh
pertanyaan. Mengapa Ibu meninggalkanku? Bahkan, dia tidak
pamit. O, dia tak akan lagi membikinkanku masakan. Tak akan
menjahitkanku baju baru. Tak akan menungguiku disunat.
Ibu dibaringkan menghadap
barat. Perlahan tubuhnya ditimbuni tanah. Satu per satu pelayat
menyalamiku. Kuhirup harum bunga kamboja untuk melapangkan dada. Paman
menggandengku, mengajak pulang. Sekali lagi, kutatap pusara Ibu. Kurasa
separuh jiwaku ikut tertanam di sana.
Ledug, April-Mei 2010
Thomas
Utomo,
bekerja sebagai guru SD Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Tinggal di Perum
Ledug Sejahtera, Jalan Dirgantara 1 Blok M nomor 3 RT 3 RW 9, Desa Ledug,
Kecamatan Kembaran, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah 53182. Bisa dihubungi lewat
e-mail totokutomo@ymail.com