Oleh Mokhamad Abdul Aziz
Tiap
November, ada dua hari yang
diperingati sebagai hari besar yang berhubungan dengan pendidikan di Indonesia .
Pertama adalah hari anak sedunia yang diperingati pada 20 November 2012
kemarin. Anak adalah unsur utama dalam pendidikan. Artinya, pendidikan
ditujukan untuk mewujudkan anak yang mempunyai kemampuan intelektual serta
dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, pendidikan
diharapkan akan membentuk anak yang mempunyai akhlak/karakter yang baik,
sehingga akan membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik.
Kedua adalah hari
Guru Nasional dan HUT 67 PGRI yang diperingati pada 25 November. Pada peringatan
tahun ini, pemerintah memunculkan tema “Memacu Profesionalisasi Guru Melalui
Peningkatan Kompetensi dan Penegakan Kode Etik”. Itu artinya, keberadaan dan
peran guru sangat menentukan keberhasilan mutu sistem dan hasil pendidikan
yang berkualitas. Namun, di tengah carut-marutnya pendidikan saat ini, tak
jarang ada kegundahan seorang guru sebagai pihak yang bertanggung jawab dan
bertugas membantu mempersiapkan para peserta didik menjadi manusia yang
berakhlak mulia.
Di sekolah,
pendidik (guru) adalah orang yang bertanggung jawab penuh atas perilaku anak.
Guru dituntut melakukan tugas profesinya tersebut dengan sungguh-sungguh. Namun,
eksistensi pendidik seringkali dihadapkan dengan realitas yang tidak mendukung
pelaksanaan tugas profesinya. Sebut saja, adanya pengaduan orang tua dan
masyarakat terhadap kekerasan yang dilakukan pendidik tatkala melaksanakan
tugasnya di sekolah. UU Perlindungan Anak sesungguhnya merupakan upaya negara
untuk melindungi anak Indonesia dari perlakuan yang sewenang-wenang dari orang
dewasa, yang dalam konteks ini adalah guru. Namun, keberadaan UU tersebut
seringkali disalahartikan. UU Perlindungan Anak acap dijadikan piranti untuk
menjustifikasi kesalahan anak.
Kondisi ini tentu
saja berdampak semakin sulitnya guru melaksanakan tugas profetik untuk membina
kepribadian anak dengan akhlak yang terpuji. Selain UU Perlindungan Anak, untuk
melindungi anak-anak Indonesia, sudah dibentuk Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI). Namun, sekali lagi eksistensi KPAI juga dijadikan sebagai
alat untuk melegitimasi kesalahan anak. Dalam dunia pendidikan, kita mengenal
adanya pemberian punishment (hukuman)
dan reward (penghargaan). Keduanya
itu merupakan salah satu alat pendidikan untuk meningkatkan prestasi dan
menegakkan kedisiplinan di lingkungan sekolah.
Namun, dengan
adanya UU Perlindungan Anak dan KPAI, seakan dunia pendidikan kehilangan salah
satu alat dalam melaksanakan proses pendidikan. Sebab, seorang guru yang
bertugas memberikan kedua hal tersebut mungkin ketakutan jika akan menjatuhkan punishment kepada siswa yang melanggar. Padahal,
eksistensi reward dan punishment sangat penting dalam
pencapaian tujuan pendidikan. Oleh sebab itu, harus ada keseimbangan antara
keduanya. Artinya, jika melanggar, maka konsekuensinya adalah mendapat hukuman.
Begitu pula sebaliknya, jika berprestasi, maka penghargaan menjadi alat untuk
meningkatkan prestasi itu.
Seorang guru
memiliki otoritas akademik di dalam kelas untuk menegakkan disiplin agar
tercapai tujuan pembelajaran yang dilaksanakan. Namun, dengan adanya UU
tersebut, otoritas guru dalam rangka menegakkan kedisiplinan terancam kabur.
Sebab, yang seringkali terlupakan adalah alasan hukuman yang dilakukan guru. Oleh
karena itu, perlu dilakukan uji materi ulang (judicial review)
terhadap UU Perlindungan Anak, khususnya pasal 80, 81, dan 82. Sebab, belum
tentu tindakan seorang guru murni kesalahannya, akan tetapi bisa saja akibat
kesalahan yang dilakukan peserta didiknya.
Posisi
yang Dilematis
Dalam
konteks ini, guru seringkali berada pada posisi yang dilematis, yaitu antara
tuntutan profesi dan perlakuan UU yang berujung pada “kemanjaan” anak. Artinya,
di satu sisi guru diberikan kewajiban agar mampu menghantarkan peserta didik
dalam mencapai tujuan pendidikan. Namun, di sisi lain, ketika guru berupaya
untuk menegakkan kedisiplinan, mereka dihadang oleh UU Perlindungan Anak dan
KPAI. Jelas ini membuat anak saat ini manja, sehingga jika mendapat teguran
sedikit saja dari seorang guru, maka dengan manja akan melaporkan kepada orang
tua dan selanjutnya ke polisi. Padahal, posisi murid dalam konteks itu salah. Sehingga,
tak jarang guru harus berurusan dengan kepolisian atau KPAI.
Tentu saja
dalam hal ini, guru menjadi sosok yang serba salah. Ini mengakibatkan sebagian
guru memilih pada posisi yang pasif. Dan jika mereka mencoba aktif dan peduli
dengan murid yang melanggar, maka penjara sudah “menunggunya”. Memang secara
yuridis, Perlindungan Guru dan Dosen telah termuat dalam UU No. 14/2005. Hal ini
terlihat jelas pada Bab VII Pasal 39 yang menyebutkan bahwa pemerintah,
masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan
perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Sebut saja, Perlindungan
terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang tidak sesuai dengan peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan
dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan atau pelarangan
lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugasnya.
Meskipun
telah ada UU yang melindungi guru, tetapi dalam implementasinya seringkali
menemui jalan buntu. Oleh sebab itu, guru harus pandai-pandai menyikapi hal
itu. Jika ada murid yang melanggar dan sulit untuk dinasihati, maka guru perlu
memanggil orang tua secara langsung. Namun, jika cara itu tidak juga
menunjukkan perbaikan, maka guru bisa langsung menyerahkannya kepada orang tua
(dikeluarkan). Memang perlu upaya yang lebih dalam rangka menyelesaikan masalah
ini. Pemerintah harus melindungi guru, agar mereka bisa menunaikan tugasnya
dengan baik. Selain itu, masyarakat perlu juga sadar dengan posisi guru yang
sangat dilematis. Dengan begitu, tujuan pendidikan nasional akan tercapai
dengan baik dan tidak ada yang dirugikan. Semoga dalam peringatan hari guru
nasional ini, guru mendapat perlindungan yang lebih baik. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Mokhamad Abdul Aziz , Aktivis
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Semarang