Semarang-WAWASANews.com
Thariqah merupakan sebuah jalan yang dilalui seseorang. Dalam
kaitannya dengan agama Islam, maka thariqah merupakan jalan mendekatkan diri
pada Allah Ta’ala dengan berbagai cara yang tidak menyimpang. Thariqah disebut
mistis karena pemahamannya, bukan prakteknya. Hal ini dapat dilihat dalam amaliyyah para murid (pengikut thariqah) yang mempunyai metode yang dapat
dilakukan tanpa harus masuk ke ranah mistis.
Demikian dikatakan KH. Drs. M. Masroni
(Sekretaris Umum Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah) dalam agenda
Café Sufi Mahasiswa Ahlith Thariqah
Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah (MATAN) Komisariat IAIN Walisongo Semarang yang
bertempat di Masjid Al-Fithroh Kampus II IAIN Walisongo Semarang, Kamis (29/11)
pagi dengan tema “Mereduksi Mistisisme Thariqah”.
“Thariqah itu mengajarkan disiplin dalam berbagai hal, baik dengan
sesama manusia maupun dengan Allah. Bilamana ada orang yang mengatakan thariqah
itu menyebabkan kejumudan, maka hal itu tidak benar dan ahistoris. Ini dapat
dilihat bahwa para pejuang dan pahlawan bangsa dan negara adalah orang yang
mengikuti thariqah dengan cara yang benar,” jelas kiai yang juga menjadi
pengasuh Pondok Pesantren Sunan Gunung Djati Ba’alawi Gunungpati, Semarang itu.
Masroni juga menjelaskan bahwa thariqah
itu sudah ada pada zaman Rasulullah. Ini dapat dibuktikan dengan jalan beliau
mendekatkan diri pada Tuhan dengan cara menyepi di Gua Hira’, beristighfar
ratusan kali setelah shalat dan lain sebagainya. “Jadi itu bukan bid’ah, tapi
sunnah Nabi,” tambahnya.
Hadir dalam kesempatan itu, Dr. H.
Hamdani Mu’in M. Ag (Ketua Umum MATAN) sebagai narasumber dalam diskusi.
Penerjemahan mistisisme sebagai tasawwuf dalam kamus atau kajian-kajian tasawuf
adalah kurang tepat. “Tasawuf adalah adab atau moralitas yang mengatur
kehidupan manusia dengan manusia, alam dan Tuhan Semesta Alam. Jadi mistisisme
dalam anggapan masyarakat umum itu urusannya dengan dukun atau paranormal,
bukan thariqah. Kemudian bagaimana bisa ahli thariqah yang menjadi ahli Laa ilaaha illa Allah, dikatakan kafir?,”
ungkap Mu’in.
Meskipun sederhana, diskusi ini berjalan
aktif yang ditandai dengan banyaknya peserta yang bertanya kepada narasumber. Aufal
Chima, salah satu panitia, menyatakan acara tersebut memang didesain berupa
diskusi agar peserta lebih aktif dan bisa bertanya langsung ke narasumber. Peserta
diskusi terdiri dari mahasiswa berbagai fakultas di IAIN Walisongo Semarang , Unwahas, Udinus dan beberapa kampus yang berada
di sekitar Semarang .
“Rencananya acara seperti ini akan kami gelar setiap sebulan sekali
agar pemahaman teman-teman tentang tasawwuf tidak hanya dalam angan, tapi juga
berpengaruh dalam tindakan,” tutur Abdul Ghofur, Ketua MATAN Komisariat IAIN
Walisongo Semarang. (Akmal)