Cerpen
Oleh Inayah Az-ZahraSumber: sejutastanzaselamba.blogspot.com |
Merah gincu yang merona, semerah darah yang segar
baru mengalir, menetesi bibir mungil nan sedikit tebal yang kerap dilumat, dan
dikecap oleh bibir lain yang terkadang beraroma rokok, alcohol, bahkan
terkadang dilumat oleh si bibir yang ujungnya berkulit kering, sedikit berdarah.
Alis mata yang menukik bagai elang yang turun terjun menghunus tatanan mega
kelabu, bergaris hitam, coklat, bahkan tosca. Tubuh yang mulus, halus selembut
sutra, dan secerah permata menghiasi mahkota ratu Inggris. Namun kadang biru
lebam terlukis membentuk rasa sakit dan nyeri yang sangat bila tersentuh.
Seperti biasa, ujung renda masih terasa dingin
dan menyapa kelam menyeruak sukma, hilir angin yang terhembus mengibas-ibaskan
dahan kering menjadikan suara kemresek
gesekan-gesekan lembut, dan terkadang mencuri waktu untuk mengibaskan rambutku
yang sebahu hitam pekat bagai tinta hitam yang lumer tertumpah.
Tak beda dengan yang lain, aku sudah berdiri
dengan tubuhku yang begitu indah dalam balutan kaus berwarna merah jambu
gantung yang terlihat pundak dan ketiak yang sedikit basah, dan celana pendek
di bawah pinggang yang membentuk indah bagian dari diriku, dan kulihat,
beberapa kawanku yang lain yang tak jauh beda dengan tampilanku, hanya sedikit
lebih merona bedak tertabur di pipi mereka, sudah mendapatkan pemangsa berikutnya.
Malam ini, aku dibasahi parfum penuh pesona yang
dalam, dan bahkan dalamnya dapat menenggelamkan. Bila terhirup oleh si hidung
belang mungkin saja ia tak pernah bisa lepas dari gelayutannya, menggantung di
awang-awang, mendayu lembut membelai kumis mereka, di tiap helai rambutnya.
Baru selang beberapa menit saja setelah kawanku
yang berada disampingku yang sedari tadi melambai-lambaikan tanganya dan
menuaikan mutiara di pucuk senyumnya, sudah mulai berjalan dengan si tua tak tahu
diri yang menggantungkan tanganya di pinggang kawanku yang indah.
Kini hidung belang berikutnya mendekatiku, berjalan
seperti di garis cat walk berbatu. Tiada sapa, hanya senyum yang
semburat menyilaukan hatiku. Baru kali ini aku mendapat pasien yang tak seperti
biasanya: berbau, tambun, bahkan sudah berambut putih. Ah, aku tak peduli
dengan fisik yang semacam itu, yang kupedulikan hanya berapa rupiah ia berani
mengajakku.
Saat dia menggenggam tanganku, lembut dan
hangat-hangat kuku, kupandangi mulai dari genggaman tangan yang mengait
tanganku, lalu kuajak mataku melihat tubuhnya yang lumayan bidang, rasanya
ingin segera aku bersandar dalam peluknya. Lalu kini bibirnya yang basah, hmm,
bukan basah karna darah, alkohol, namun karena jingga muda yang membalut secara
alami.
Di pembaringan yang ia pesan untuk menikmati
malam rajutan kami berdua, aku diangkatnya dengan tangan bajanya dan diletakkanku
di pembaringan. Kusandarkan diriku di pundak lalu turun di dada bidangnya. Bau
itu sungguh menyusup masuk ke dalam rongga hidungku dan menuju lorong pipa-pipa
paru-paruku. Aroma tubuhnya begitu damai dan teramat tentram. Ia mulai
menyentuh pipiku, dan tanganku, lalu hinggap menuju bibirku, dan….
Lalu, lalu,
lalu…..
Lama. Ya, kurasa ini yang terlama saling
menikmati. Meski tanpa kenal, bisa saling berbagi. Meski tanpa kata, bisa
saling terucap. Aku mulai merapikan diri dan menyisir rambutku yang masih berbusana
sangat dan sangat mini ini. Ia memelukku dari belakang, mencium pundakku dan
aku ditariknya berhadapan. Tangannya merogoh saku lalu dikeluarkannya dompet
kulit indah dan terlihat mahal menurutku.
Tujuh ratus
lima puluh ribu rupiah. Nilai yang begitu mahal di malam indah itu. Tanganku terhenti saat ia
merebut dompet merah dari tanganku dan mengambil foto mini yang terpampang
disana.
“Ini siapa?”
Angin itu berhembus lagi, dan sangat terasa di
rongga dadaku. Baru kali ini aku mendengar ia bicara, setelah berjam-jam bergelut dalam pembaringan.
“Dia putriku”
“Pulanglah, peluk putrimu, buai ia dalam
rajuknya, selembut tangan jalang manja
membelai. Maaf,” ujarnya.
Sebelum usai aku mengandai, ia mematahkan
lamunan. Ia memberi lembar demi lembar yang tak lagi sempat kuhitung jumlahnya.
Aku tertegun saat ia pergi meninggalkanku tanpa
wangi lagi, aku tersungkur dalam ucapannya: “jalang”.
Apa aku ini wanita yang begitu hina? Aku merasa
tersudut dan terisak dalam kata, yang mulai merasuki nadi, pikiran dan
jantungku.
Sekelebat potret senyum manja putriku tergambar,
isak tangisnya yang rindu padaku, karena hanya sedikit waktu yang aku nikmati bersamanya.
Ah, aku jalang bukan? Yang terjerumus dalam kenikmatan dan dengan langkah ini
aku mampu mengisi perut kecilnya dengan nasi, meski tak peduli pada agama,
moral, bahkan dengan adat.