Yogyakarta-WAWASANews.com
Maryani, Ibu santri waria Al-Fatah |
Jogja menjadi kota istimewa karena
di sana hidup banyak komunitas dan memang dilindungi. Banyak warna di Jogja.
Ada yang menyebut, Jogja adalah miniatur Indonesia. Komunitas
kiri-tengah-kanan, hidup berdampingan. Pondok pesantren Al-Fatah Senin-Kamis Khusus
Waria adalah buktinya. Bila di beberapa tempat waria dipandang minor, bahkan
cenderung dikata sebagai manusia tanpa jenis, di ponpes yang beralamat di
Notoyudan GT II/1294, Rt. 85, Rw. 24 Yogyakarta itu, mereka diberdayakan. Ada
25 waria yang nyantri kalong (tidak menginap) di Al-Fatah.
Ketika WAWASANews dan
Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) bertandang (20/10), ada daya hidup
pesantren yang terbaca. Maryani (53), dialah yang menyambut hangat kedatangan WAWASANews
dan Sejuk. Mantan teman ngamen Dorce Gamalama itu punya aura spiritualitas
tinggi. Ya, kala itu dia memakai jilbab merah, rapi, dan berwibawa. Di
pesantren, ia bisa se-hormat Bu Nyai (istri Kyai), bagi para santrinya. Maryani
bak ibu, walau dia mengakui, waria. “Saya laki, tapi jiwa saya perempuan,”
katanya.
Bagi Maryani, menjadi waria itu
bukan pilihan hidup, bukan pula penyakit seperti HIV/AIDS. Waria adalah
sekelompok anak manusia yang termarginalkan akibat jenis kelamin dan struktur
biologisnya sama dengan laki-laki, namun jiwanya berspirit perempuan. Suara dan
orientasi seksualnya cenderung menyamai kaum Hawa. Unsur psikologi ibu lebih
dominan dipunyai. Bahkan, untuk memenuhi hasrat keibuannya, Maryani mengadopsi
anak, sebagaimana Dorce, karena ia sadar tak akan pernah bisa mengandung dan
melahirkan.
Para santri kalong waria datang
tiap Ahad Sore dan Rabu Sore. Disebut Senin-Kamis karena aktivitas pengajian rutin
dan olah spiritual agama di Al-Fatah memang hanya pada dua hari itu. Kegiatan
santri waria dimulai sore dengan membaca Shalawat Nariyah bersama-sama
hingga menjelang Jama’ah Shalat Maghrib.
Istighotsah membaca Surat Al-Fatihah
100 kali adalah kegiatan santri setelah maghriban. Baru setelah Isya’,
mereka belajar ngaji Al-Qur’an, do’a harian dan pengetahuan agama. Ada
tiga guru yang selalu menemani para santri waria di Al-Fatah, yakni Murtijo
(35), yang mengajarkan tata cara beribadah, Arief (29), guru pembimbing belajar
ilmu agama dan pemikiran keagamaan, dan Akhyar (25) yang jadi supervisor,
pengurus harian atau semacam lurah pondok.
Erken, Jurnalis asal Jerman bercengkerama di depan Ponpes Waria Yogyakarta |
Malam Senin atau Kamis dijadikan
sebagai malam Shalat Tahajud dan Hajat bersama yang pagi harinya dilengkapi
dengan puasa sunnah. Paling tidak, selama setahun sekali, yang nyantri
kalong di Al-Fatah diajak menziarahi kubur saudaranya sesama waria yang
telah meninggal. Kata Maryani, ada 18 waria saudara waria yang tiap bulan
Sya’ban (Ruwah) diziarahi para santri karena mereka tidak punya keluarga, atau
tidak diakui keluarganya, alias tidak pernah dikirim do’a.
Kegiatan di Al-Fatah tersebut sudah
berjalan sejak 8 Juli 2008, tepatnya ketika KH. Hamruli Harun, terketuk pintu
untuk mulang ngaji para waria dengan menyelenggarakan pendidikan sadar
agama seperti pesantren. Berdirilah Al-Fatah hingga sekarang, walau beberapa
kalangan tetap masih mencibir. “Saya belajar di sini buat sangu numpak
Gendhoso (bekal hidup di akhirat), mas,” ucap Maryani lirih.
Waria tetaplah manusia, yang dalam
ajaran agama Islam, tidak boleh dicibir dan dibeda-bedakan. Tugas manusia yang
hidup di dunia adalah untuk beribadah, bahasa al-Qur’an menyebutnya: wa ma
khalaqtul jinna wal insa illa liya’buduni (Aku [Allah] tidak menciptakan
jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku). Laki-laki dan perempuan dan diantaranya
(waria) hanyalah kategori anak manusia yang dalam pemikiran rasional Barat,
tidak pernah direkayasa, diminta kepada Tuhan dan dikabulkan. Tidak ada manusia
yang bisa bernegosiasi dengan Tuhan soal jenis kelamin dan hasrat seksual.
Walau waria sudah terdiskriminasi
dalam lapangan pekerjaan profesi, yang mengharuskan jenis kelamin laki-laki/
perempuan, di mata Tuhan, mereka ingin sama, tak ingin lagi didiskriminasi. Di
mata makhluk bumi seperti kita, mereka tidak dikenal dan memang cenderung
dibuang, namun di mata makhluk langit seperti malaikat, barangkali mereka
justru adalah tokoh yang dihormati. Al-Fatah tempat mereka menempa. (MAB)