Radhar P. Dahana |
Semarang-WAWASANews.com
Tersebar luas di media massa
lokal dan nasional berita aksi kecam umat Islam seluruh dunia soal beredarnya
film kacangan berjudul Innoncence of Muslems (IOM/Keluguan Orang Islam) garapan
Nakoula Basseley, seorang sutradara amatir yang konon berkebangsaan Yahudi-Israil
aliran politik kiri -dikenal kelompok anti Islam-. Demonstrasi besar-besaran
digelar di depan gedung-gedung yang menyimbolkan asal negara sang sutradara
itu, laiknya Kedutaan Besar dan ruang bisnis waralaba Paman Sam. Kontan,
kekisruhan acap muncul sebagai akibat kemarahan massa yang tidak terima atas
beredarnya film tersebut. Polisi pun kadang jadi korban. Aneh. Apakah setiap
ekspresi kekecewaan harus ditunjukkan dengan reflek kemarahan? Bila iya, lalu
kepada siapa?
Seperti diberitakan sebelumnya,
film yang awalnya berjudul Innocence of Bin
Laden (judul di YouTube: The
Real Life of Muhammad and Muhammad Movie Trailer) itu hanya untuk
menggambarkan kehidupan peradaban Mesir kuno 2000 tahun silam. Judul produksi
film yang digunakan pertama kalinya adalah Desert Warrior, yang berarti Pejuang
Padang Pasir.
Setelah rilis,
ternyata film amatir dan tidak mutu itu dibuat untuk mempropaganda kepentingan
anti-Islam. Aktor dan aktris yang terlibat dalam produksi film tersebut pun
berencana menggugat sang sutradara karena suara dalam tayangan film bukan
rekaman suara mereka. Dan mereka sebenarnya memang tidak diberitahu peruntukan
film tersebut di kemudian hari. Ironisnya, IOM telah diputar di sebuah bioskop
mini di Amerika akhir Juni 2012 lalu. Muncul menjadi berita kontroversial dunia
setelah diunggah seseorang di Youtobe dengan menggunakan akun samaran Sambacile
pada online perdana 1 Juli 2012. Siapa
yang bersalah dan siapa yang berhak menghukum?
Di Indonesia, tindakan yang
terindikasi menghina agama cepat direspon secara reaktif oleh kalangan
tertentu. Sebut saja mereka yang gampang tersinggung sebagai muslim fanatik
atau bahasa politis lain menyebutnya radikal. Disebut demikian karena ada
kalangan Islam lain yang biasa saja responnya melihat fenomena pelecehan Nabi
Muhammad SAW dan atau Islam namun tidak berlanjut pada demonstrasi dan unjuk
gigi yang menyayat luka sosial umat Islam sendiri. Bahkan, ada sementara
kalangan umat Islam seperti kelompok tradisionalis yang dalam melihat tragedi
tersebut dengan mata penuh rahmat dan maghfiroh.
Dalam bahasa kebudayaan, sebuah
refleksi tidak akan pernah bisa mengurangi atau menambah ekistensi yang sudah
ada. Dalam konteks keyakinan beragama dan berketuhanan mudahnya dapat
diibaratkan begini: setiap tindakan kita sebagai manusia (refleksi) atas agama,
Tuhan, Nabi, orang suci atau hal-hal keramat lainnya, tidak mengganggu keberadaan
dan kesucian yang diyakini (eksistensi). Nabi dihina, Tuhan dihancurlebur dalam
kerancuan berpikir athistik, tetap tidak akan menambah atau mengurangi eksistensi
Tuhan Yang Esa dan keagungan Nabi Muhammad, selamanya dan seterusnya. Karena
itulah, secara cadas dan cerdas, Gus Dur melontar kata bahwa “Tuhan Itu Tidak
Perlu Dibela”.
Kita saja yang harusnya dewasa
menyikapinya. Budayawan, Radhar Panca Dahana, kepada Wawasanews.com di Semarang
beberapa waktu lalu menyatakan kalau kita mau jadi orang Islam itu jangan
nanggung seperti preman tanggung. “Islam radikal di Indonesia dan Islam yang
ada di Arab sana itu seperti preman tanggung. Dikatain eh loe jelek loe jelek,
marah dan mudah emosi,” kata Radhar.
Preman yang sesungguhnya itu
kalau dihina diam, tenang, tapi tahu-tahu saja yang dihina tersebut luka atau
mati. Artinya, psikologi mereka itu teratur, tidak temperamental. Islam yang
temperamen, yang suka marah, sedikit-sedikit tidak terima dihina, itu Islam
yang “haus darah”. Demikian Habib Lutfhi bin Yahya menggunakan istilah. Justru
ketika mudah marah itulah, Islam mudah dipecah belah. Tiada lain, demikian
itulah yang diharapkan dari pihak-pihak yang mempropagandakan anti-Islam
seperti dalam film IOM tersebut.
“Saya yakin kalau Nabi Muhammad masih hidup
hingga sekarang akan tertawa menonton film tersebut. Filmnya tidak mutu dan
berantakan.” Ungkap Radhar. Kini, siapa yang tertawa melihat umat Islam
marah-marah sendiri di depan kedutaan, bukan di production house tempat
film itu dibuat? Sutradara? Anda yakin? Langkah cerdas yang dilakukan oleh
pemerintah Qatar dalam merespon film amatir tersebut adalah dengan membuat film
tandingan dengan dana setara 4 triliun rupiah (450 juta US Dolar) yang langsung
ditangani para ahli di perusahaan Al-Noor Group Qatar. Inilah muslim yang tidak
tanggung, yakni menjawab penghinaan dan pelecehan dengan kecerdasan produksi.
Kita umat Islam Indonesia masih banyak yang naggung. Kalau demo menolak film
penghiaan nabi ada ratusan yang datang, namun jama’ah subuh saja, cuma
dua orang: imam dan ma’mum. Ironis. (MAB)