Semarang-WAWASANews.com
Khusyuk diskusi, membaur dosen dan mahasiswa. Sumber Foto: Dok. Zf (WAWASANews.com) |
Kelompok kajian rutin
tafsir dan hadits IAIN Walisongo Semarang, pada Kamis (29/11), kembali menggelar diskusi kali kesebelas, bertempat di gedung rektorat lantai III IAIN Walisongo. Kali ini
mengangkat tema kritik sanad dan matan dengan pendekatan analisa Fazlur Rahman.
Pemakalah Dr. Abdul Fatah Idris,
M.Ag memaparkan bahwa penolakan Rahman terhadap sebagian matan-matan hadits
yang berisikan prediksi, bersifat teknis,
hukum dan teologi, berarti akan membuka koreksi terhadap literatur yang selama
ini dianggap tak tertandingi. Shahih Bukhari dan Shahih Muslim akan dibongkar ulang. Bahkan,
bisa mengakibatkan hadits-hadits yang selama ini dianggap lemah (dhaif),
menjadi shahih, dan sebaliknya.
“Kriteria hadits menurut
Rahman ada tiga. Pertama, memahami makna hadits yang disebut sifat yang
situasional (a situational characters). Kedua, memahami
petunjuk-petunjuk Al-Quran yang relevan. Dan ketiga, prinsip ideal moral yang
diaplikasikan dan diadaptasikan dalam latar sosiologis dewasa ini (pencairan
hadits tersebut menjadi sunnah yang hidup),” ungkap Fatah.
Kajian
yang digelar tiap bulan sekali ini berawal dari gagasan dari Ahmad Musyafiq, Ketua Jurusan (Kajur) Tafsir Hadits (TH) yang merasa
perlu untuk mengumpulkan mereka yang konsen dalam pengembangan studi tafsir dan hadits, agar update terhadap konteks masalah kekinian.
“Bila pendekatan Rahman ini diterapkan pada hadits, secara tidak langsung menimbulkan efek terhadap Al-Quran. Al-Quran akan mengalami perubahan secara signifikan, sebab ia tidak bisa dilepaskan dari hadits,” kata Muhammad Akmaluddin, pemateri lain diskusi.
Musyafiq juga menyatakan bila memang hadits Nabi dhaif, alias tidak
dapat dipertanggungjawabkan, maka kita bisa menggunakan alat lain untuk membuktikan
bahwa hadits itu salah dengan perangkat selain Ulumul Hadits.
Syafiq menggunakan perbandingan soal itu, misal soal orisinalitas ucapan Sokrates; apakah benar
apa yang dikatakan Sokrates merupakan ucapannya atau telah tereduksi generasi
selanjutnya, belum ada piranti yang digunakan untuk membuktikan. Beda dengan hadits, di sana ada piranti yang bisa digunakan secara yuridis untuk mengukur orisinalitas ucapan Nabi Muhammad SAW, yakni Ulumul Hadits. "Hingga saat ini ulumul hadits belum tergantikan untuk mengukur sampai mana tingkat kes-hahih-an suatu hadits,” tambah Syafiq. (Zulfa)