Menulis bukanlah persoalan yang mudah. Tidak semua orang yang pandai dalam berbicara dan beretorika dapat menulis dengan baik. Istilah ini sering kita dengar dalam dunia jurnalistik. Untuk itulah, Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo bekerja sama dengan Sammara College (Komunitas Pendidikan Kritis), dan Penerbit Diroz Pustaka Semarang menggelar diskusi dan bedah buku “Kritik Tanpa Solusi” (KTS) karya M. Abdullah Badri, Senin (26/11), di Masjid Kampus II IAIN Walisongo.
Buku KTS ini terbit awal Oktober lalu, bermula dari kegelisahan penulis mengenai beberapa masalah. Baik dalam masalah pendidikan, sosial, budaya, ekonomi, politik, atau bahkan masalah agama. Kegelisahan tersebut Badri ungkapkan ke dalam tulisan yang kemudian ia kirim ke sejumlah media massa. “Awalnya dari kegelisahan pribadi dan kelompok, lalu saya tuangkan ke dalam tulisan. Baik dimuat media ataupun tidak,” kata penulis yang sering disebut pemilik badriologi.
Dari kiri: Ahdi Riyono, M Abdullah Badri, Ahmad Faqih (Moderator) |
“Saya memilih judul ini karena judul ini dapat meng-cover seluruh tulisan-tulisan saya yang berjumlah 171 judul yang saya pilah dari sekitar seribuan judul tulisan yang saya punya, baik panjang maupun pendek,” ungkap penulis yang juga pernah menjabat sebagai Direktur Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW) ini.
Sarat Pengetahuan
Ahdi Riyono, S. S. M, Hum sebagai pembanding dan pembedah buku mengatakan bahwa walaupun buku KTS ini bukan termasuk tulisan ilmiah, melainkan hanya sebuah antologi, namun buku ini sarat akan pengetahuan karena topik yang dibahas dalam karya ini sangat variatif. Mulai dari topik keagamaan, pendidikan, politik, budaya, serta filsafat. Buku ini baik sekali untuk dijadikan sebagai sebuah inspirasi dasar belajar menulis di media massa.
“Buku KTS ini memang bukan buku ilmiah dan tak dapat dijadikan referensi secara isi. Namun sarat pengetahuan dan perlu dibaca oleh semua kalangan, karena gaya kepenulisannya yang ilmiah popular ini dapat dijadikan model untuk belajar menulis, menuangkan kegelisahan dalam sebuah karya yang layak dimuat media, walaupun tanpa sebuah solusi yang jelas,” tegasnya terhadap audience. (Heri Kuseri)