WAWASANews.Com-Temanggung
Suasana seminar kepahlawanan Kyai Subkhi Temanggung Foto: Ichwan/WAWASANews.Com |
Setiap
murid sekolah pasti pernah mendapat pelajaran sejarah, bahwa perjuangan Bangsa
Indonesia melawan penjajah yang paling heroik adalah penggunaan Bambu Runcing.
Selain di sekolah, di setiap tempat dan momen acara, Bambu Runcing selalu
disebut sebagai simbol kekuatan perjuangan rakyat untuk merebut kemerdekaan.
Sebuah
senjata tongkat dari batang Bambu Wulung yang diruncingkan ujungnya telah
menjadi simbol perjuangan kemerdekaan itu sendiri. Sehingga di banyak kota,
didirikan monumen bambu runcing dan di setiap makam pahlawan, menggunakan model
bambu runcing berbendera merah putih sebagai pusaranya.
Namun
belum banyak yang tahu, siapa tokoh pelopor Bambu Runcing. Jika murid sekolah
atau mahasiswa ditanya siapa pencetus senjata tersebut, mungkin sebagian besar
tidak bisa menjawabnya.
Hal
itu tak lain karena tokoh utamanya, Kyai Subkhi, belum mendapat gelar pahlawan,
sehingga sedikit sekali yang mengetahuinya. Padahal putranya, Haji Abdullah,
telah diberi gelar pahlawan semasa Presiden Soekarno karena gugur ditembak tentara
Belanda yang sedang menyerbu rumah Kyai Subkhi dan hendak membunuh sang kyai.
KH
Subkhi lahir di Kauman Parakan pada 1885. Ia adalah putra sulung dari seorang
penghulu masjid, KH Harun Ar rosyid. Kakeknya, KH Abdul Wahab, pernah menjadi
pengikut Pangeran Diponegoro melawan penjajah Belanda.
Pada
1945-1948, Subkhi aktif menerima dan mendoakan ratusan ribu pejuang
kemerdekaan. Saat itu, masyarakat percaya perjuangan melawan penjajah akan
mendapat kemenangan bila senjata bambu runcing didoakan Kyai Subkhi.
H.
Anasom, M.Hum, penetili sejarah dari IAIN Walisongo Semarang mengungkapkan hal
itu kala memaparkan hasil penelitiannya tentang sejarah Bambu Runcing. Paparan
ia sampaikan dalam Seminar Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional kepada Kyai
Subkhi yang digelar di Aula Sekretariat Daerah Kabupaten Temanggung, Rabu
(13/8/2014) lalu.
Menurut
pria kelahiran Jumo Temanggung ini, pelopor penggunaan Bambu Runcing sebagai senjata
perjuangan adalah Kyai Subkhi bin Kyai Harun Rosyid asal Kauman, Parakan,
Temanggung.
Disebutkan
dosen Fakultas Dakwah IAIN Walisongo ini, Mbah Subkhi di masa revolusi
kemerdekaan dijuluki Kyai Bambu Runcing oleh para kyai saat itu. Sebab
beliaulah yang menciptakan bambu runcing, menyepuh atau memberi doa ke senjata
tersebut dan dan mendoakan setiap pejuang atau laskar rakyat yang akan maju
perang di setiap palagan.
Dia
katakan, memang saat itu banyak kyai yang menggembleng kanuragan para pejuang
serta mendoakan bambu runcing, namun Mbah Subkhi adalah yang paling sepuh
(paling senior) dan menjadi semacam guru besarnya.
“Seluruh kyai di nusantara saat itu memang
berjuang melawan penjajah. Di Temanggung, Kiai Subkhi mendirikan Barisan
Muslimin Temanggung (BMT) dan beliau menjadi Rois Syuriyah NU Cabang Parakan
saat itu. Saat itu para kyai Parakan menyepuh alias menyuwuk dengan
doa, bambu runcing yang dibawa para
anggota laskar pejuang. Mbah Subkhi adalah kyai yang paling senior,” tuturnya.
Melalui
pencarian sumber data primer dan sekunder, mewawancarai para saksi sejarah dan
penelusuran peninggalan sang kyai, Anasom menyimpulkan, Kiai Subkhi adalah
tokoh utama di balik legenda senjata Bambu Runcing. Karena itulah ia bersama
elemen masyarakat Temanggung mengusulkan pengaugerahan gelar pahlawan untuk Kyai
Subkhi.
Wacana
pengusulan gelar pahlawan Kyai Subkhi yang difasilitasi Pemerintah Kabupaten
Temanggung ini juga menghadirkan Pakar Sejarah Universitas Diponegoro (Undip)
Prof Dr Yuliarti Suroso, Pelaku sejarah Bambu Runcing yang pernah jadi rektor
IAIN Sunan Kalijaga dan Rektor UII Yogyakarta,
Prof Dr Zaini Dahlan (88), Veteran pengurus Dewan Harian Cabang Angkatan
45 Temanggung Lelkol CZI (purn.) Soediran, veteran yang pernah mengawas Kyai
Subkhi, Mayor Munjiyat, dan sejumlah anggota veteran serta para tokoh
masyarakat Temanggung.
Mewakili
masyarakat Temanggung yang menginginkan gelar pahlawan untuk tokoh lokalnya,
Wakil Bupati Temanggung Irawan Prasetyadi mengatakan, Pemkab Temanggung sangat
berkepentingan agar KH Subkhi mendapat gelar pahlawan. Sebab generasi muda
sekarang sangat butuh figur teladan akan nilai nasionalisme, pengorbanan dan
jiwa kepahlawanan. Dan sangat pantas jika warga Temanggung mengenal tokoh
lokalnya yang berlevel nasional serta dicatat dalam sejarah perjuangan bangsa.
“Kita
sangat perlu mendorong penganugerahan gelar pahlawan untuk KH. Subkhi. Tidak
semata gelarnya itu yang penting, tetapi kita butuh teladan tentang
kepahlawanan. Bagaimana semangat nasionalisme, penuh pengorbanan itu ditiru
semua anak-anak kita hingga cucu-cucu kita kelak,” ujarnya seraya membacakan
sambutan tertulis dari Bupati Temanggung.
Kesaksian
Pelaku Sejarah
Para
pembicara lain juga menyampaikan hal hampir serupa dan menyatakan mendukung
pengusulan Kiai Subkhi sebagai pahlawan nasional.
"Kiai
Subkhi harus jadi pahlawan nasional, bukan hanya pahlawan dari
Temanggung," ujar Yuliarti yang mendapat tepuk tangan para tamu.
Bentuk
senjatanya cukup sederhana. Bahan dasarnya adalah bambu. Bagian ujungnya
dilancipkan. Senjata itu memang sangat dikenal berasal dari Parakan.
"Dulu
istilahnya Granggang Parakan, begitu kuat sebagai simbol keberanian bangsa,”
tutur Yuliarti.
Munjiyat
(94), veteran Temanggung yang sewaktu masih aktif sebagai tentara BKR pernah mendapat
tugas menjaga keamanan Kyai Subkhi menceritakan, setela peristiwa Clash II
tahun 1949, sepasukan Belanda mengepung rumah Kiai Subkhi. Begitu pintu rumah
sang kyai dibuka, tentara Belanda langsung memerondongkan senapan. Tembakan itu
mengenai Haji Abdullah yang berdiri menutupi ayahnya. Mbah Subkhi yang selamat
segera bersembunyi dan menemui para pejuang dengan menyusuri sawah dan hutan di
belakang rumahnya. Perlariannya sampai di Kranggan, Temanggung.
“Waktu
zaman revolusi dulu, Parakan itu selalu penuh orang. Setiap hari, tak kurang 10
ribu orang datang untuk meminta didoakan Mbah Subkhi. Baik didoakan dirinya
maupun senjatanya. Bahkan tak hanya bambu runcing. Karaben (senapan laras
pendek) pun didoakan,” tutur Munjiyat dengan sikap tegap berdiri, meski untuk
berjalan harus memakai tongkat.
Kesaksian
lain, ditulis oleh mantan menteri Agama era Soekarno, KH Syaifuddin Zuhri.
Dalam bukunya bejudul “Guruku Orang-Orang Pesantren”, Syaifuddin Zuhri mengisahkan:
“Berbondong-bondong barisan-barisan Laskar dan TKR menuju ke Parakan, sebuah kota Kawedanan di kaki dua Gunung Penganten Sundoro Sumbing..... Diantaranya yang paling terkenal adalah Hizbullah di bawah pimpinan Zainul Arifin, Barisan Sabilillah di bawah pimpinan KH Masykur.
“Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia” di bawah pimpinan Bung Tomo, “Barisan Banteng” di bawah pimpinan dr. Muwardi, Lasykar Rakyat dibawah pimpinan Ir. Sakirman, “Laskar Pesindo” di bawah pimpinan Krissubbanu dan masih banyak lagi. Sudah beberapa hari ini baik TKR maupun badan-badan kelasykaran berbondong-bondong menuju ke Parakan……”.
Dalam
tulisannya mantan Menteri agama itu mengantar sendiri KH Abdul Wahid Hasyim,
KH.Zainul Arifin dan beberapa petinggi negara untuk datang ke Parakan. Semata
untuk meminta doa kepada Kiai Subkhi. (Ichwan)