Surat
Klarifikasi dan Kronologi Mahasiswa Terbungkam
Oleh
Wahyu Dwi Pranata
Berawal pada tanggal 23
Desember 2012, ketika saya mengirim tulisan yang berjudul “Banner Udinus Tipu Mahasiswa” kepada Redaksi
Portal Online WAWASANews.Com. Dan tepat di hari berikutnya, tulisan tersebut
dimuat dengan beberapa perubahan. Kemudian saya bagikan link berita tersebut
kepada teman-teman saya melalui akun Facebook milik saya, WahyuDwi Pranata. Saya mengkopi-paste tulisan tersebut di Kompasiana,
via akun pribadi saya.
Beberapa
hari kemudian saya dipanggil oleh Wakil Rektor III yang waktu itu masih dijabat
Bapak Fanani. Pak Usman, Pak Rindra, Pak Ifan, Pak Jazuli, dan Bu Etika, juga
ada di sana. Mereka menjelaskan bahwa sebenarnya Udinus tidak menipu mahasiswa.
Mereka mengatakan bahwa sebenarnya mereka itu adalah mahasiswa Student
Mobility yang dikirim ke UTeM yang direncanakan satu tahun di sana
namun tiba-tiba terdapat beberapa perubahan yang terjadi.
Saya
sering berkomunikasi dengan teman-teman saya di Malaysia melalui Facebook.
Lewat chatting, banyak pembicaraan yang kami lakukan. Tentang
banyak hal. Mulai dari rencana bisnis ke depan, proses studi mereka selama di
UteM, dan lainnya. Salah satu teman saya dari Jurusan Teknik Elektro mengatakan
bahwa mereka akan pulang pada tanggal 27 Januari bersama teman-teman yang lain.
Jam 9 pagi mereka rencana tiba di Semarang. Pembicaraan ini kami lakukan pada
Bulan November tahun lalu. Menanggapi soal tulisan banner yang salah itu, ia
mengungkapkan bahwa itu hanya “Salah Nulis.” Bahkan teman yang pernah satu
kelas dengan saya menyatakan kalau tulisan itu dibuat agar terlihat menarik.
Mereka
tiba di Malaysia pada tanggal 29 Agustus 2012. Saya sangat senang ketika
melihat teman-teman saya bisa menempuh pendidikan di luar negeri. Mereka bisa
menuntut ilmu dan mendapatkan pengalaman baru di sana. Tapi sayang, saya
merasa mereka tidak diberikan informasi yang detail mengenai program ini. Apa
sih susahnya komunikasi? Buktinya, ketika saya tanya kenapa tulisan Banner yang
di pasang menjadi berbeda dengan program yang mereka jalani, mereka tidak
menjawab seperti apa yang telah dijelaskan beberapa dosen di atas.
Antara 29
Agustus 2012 sampai 27 Januari 2013 (kurang lebih hanya enam bulan), mereka di
sana. Kini mereka sudah kembali ke Semarang. Menempuh pendidikan selama satu
semester lagi di sini, bahkan ini sudah masuk ke semester 5 kuliah.
Saya
tidak pernah merasa iri dengan kawan-kawan saya di sana. Banyak orang
beranggapan seperti ini ketika saya menulis laporan itu. Lha wong mengikuti tes
seleksi ke Malaysia pun saya tidak kok. Waktu itu saya juga tahu bahwa ada
program ini dan saya juga memenuhi persyaratan untuk mengikuti seleksi. Saya termasuk
mahasiswa di kelas unggulan. “Masih banyak yang perlu dilakukan di sini”, pikir
saya.
Setelah
pemanggilan di ruang Biro Kemahasiswaan tersebut, saya lalu bertemu
Rektor, DR. Ir. Edy Noersasongko
M.Kom, di Ruang Sidang Rektorat Gedung G kampus Jalan Imam
Bonjol, Semarang. Hanya ada saya, Pak Edi, dan Pak Fanani. Saya
diberikan banyak penjelasan mengenai program Sudent Mobility.
Termasuk saya dijanjikan akan diperlihatkan surat MoU, dan saya harus membuat
berita baru tentang itu.
Sampai
sekarang, sebelah mata pun saya tidak pernah melihat hasil MoU itu. Dan saya
pun juga tidak membuat berita mengenai MoU tersebut. Jauh sebelumnya saya juga
menanyakan hal ini kepada Kaprogdi, Bu Ayuk, mengenai hal ini. Tapi saya tidak
mendapatkan jawaban. Saya juga tanyakan di dialog akademik Fakultas Ilmu
Komputer. Apa yang Pak Eko jawab ketika itu? Pak Dekan menjawab bahwa ia tidak
berwenang untuk menjawab itu. Bukannya hal-hal strategis seperti ini para
petinggi fakultas seharusnya juga tahu? Pikir saya.
Saya
masih ingat, ketika Pak Rektor bilang “Kalau Udinus itu kamu anggap kampus
penipu, kamu tahu apa akibatnya bagi seluruh mahasiswa Udinus yang berjumlah 11
ribu dan alumni Udinus yang ada? Mereka bakal susah cari kerja, mas. Nanti
dianggap lulusan dari kampus yang sukanya menipu,” suara Pak Rektor halus.
“Kalau
memang ini kampus penipu, kenapa kamu masih kuliah di sini?”. Saya hanya bisa
menelan air liur. Saya takut dengan perkataan itu. Mungkin benar saya bersalah.
Pada saat
masalah itu terjadi, saya sempat menghubungi Pihak Redaksi WAWASANews.Com untuk
meminta petunjuk. Maklum saya masih belajar jurnalistik. Ketika itu banyak
komentar negatif soal tulisan saya. Mulai dari menyebut saya wartawan
Bodrex-lah, dibayar pihak tertentu-lah, bahkan Portal WAWASANews disebut situs
HOAX, dan lain sebagainya. Mas Badri, Pemred, bilang kepada saya untuk tenang.
Ini hal yang biasa. Apalagi, kata Pemred, Redaksi tidak pernah dihubungi
Birokrat dan Rektorat Udinus terkait laporan saya. Jadi tulisan itu tidak
pernah dihapus sampai sekarang. Keadaan kembali kondusif.
Part 2
Rencananya
biaya kuliah untuk mahasiswa baru tahun 2013, naik. Kini itu sudah terjadi.
Sedikit banyak tulisan ini mengupas tentang biaya dan fasilitas yang ada di
kampus swasta berbasis teknologi ini. Tulisan saya bisa dicheck di disini. Beberapa gambar bukti sudah hilang
karena saya disuruh menghapusnya.
Dalam
ingatan saya, masih jelas kata-kata halus Pak Rektor yang menginginkan saya
untuk kuliah di Amikom, Jogyakarta. “Kalo kamu merasa di Udinus itu nggak suka
atau jelek, ngomonglah. Atau kamu sekolah di Amikom saja? Nanti tak bayari”.
Selain itu, lagi-lagi Pak Rektor mengingatkan saya, kalau kampus ini jelek
kenapa aku masih kuliah di sini.
Sudah dua
kali saya dipanggil. Tidak ada pemberitahuan kepada orang tua melalui surat,
apalagi hanya lewat telepon. Tidak. Selama ini yang melayang ke rumah hanyalah
surat tagihan pembayaran, dan kadang-kadang surat pemberitahuan nilai saya.
Saya
minta maaf kepada Bapak Rektor jika saya salah. Suasana mulai kondusif kembali
untuk sementara.
Part 3
Saya
termasuk mahasiswa yang aktif berorganisasi, mulai dari Pers Mahasiswa, PPMI DK
Semarang, Penalaran, MPM, dan kegiatan-kegiatan bersama Ormawa lainnya.
Sampai-sampai saya sering disuruh berhenti mengikuti kegiatan
kemahasiswaan oleh orang tua saya, baik di dalam maupun di luar kampus.
Saya
termasuk orang yang bandel. Simbah yang di Semarang juga sakit gara-gara saya.
Biasanya, dulu, simbah masih memasak untuk saya setiap pagi. Tapi saya jarang
makan. Makanan sering tersisa dan simbah mengeluh. Saya juga
sering keluar bersama teman-teman ketika kegiatan. Kadang-dakang saya tidur di
rumah teman atau di kampus. Dulu, kalau ada acara Sidang Umum MPM sampai
berhari-hari, saya juga tidak pulang. Ya, saya akui ini salah. Saya juga jarang
ijin kalau main ke luar. Dan orang tua pasti memikirkan bagaimana keadaan saya,
akhirnya simbah sakit. Gejala stroke-nya kambuh.
Sejak
saat itu orang tua meminta saya untuk tidak melanjutkan kuliah lagi. Lebih baik
di rumah daripada membuat susah pikiran orang tua.
Ketika
itu saya berinisiatif untuk mempertemukan orang tua saya dengan Wakil Rektor
Bidang Pendidikan, Bu Kusni. Saya ingin menjelaskan kepada orang tua
bahwa soft skill sangat diperlukan nantinya dalam dunia kerja.
Ingin rasanya ada pihak ketiga yang bisa memberikan pemahaman kepada orang tua
saya.
Karena
sibuk, bertemu dengan Bu Kusni akhirnya tidak jadi. Pak Usman yang sudah
menjabat sebagai WR3, keluar pintu, melenggang. Saya curhatkan
kondisi saya dengan orang tua, termasuk permintaan orang tua yang ingin saya
berhenti kuliah. Saya juga utarakan permintaan saya untuk bisa bertemu dengan
beliau jika ada watu yang tepat.
Beberapa
minggu kemudian pengumuman untuk mengikuti tes seleksi ke ITB Bandung
diumumkan. Saya masuk dalam daftar 9 nama yang ada di sana. Psikotest dilakukan
oleh Lembaga Unika, yang beralamat di Jalan Imam Bonjol.
Sudah
saya beritahu orang tua tentang hal ini. Masalah dengan orang tua mereda.
Akhirnya, saya boleh mengikuti kegiatan dan berkuliah lagi. Satu catatan:
“Jangan over!” kata Bapak.
Sebelumnya, saya juga pernah mendapatkan beasiswa PPA/BBM sebesar 350 ribu per-bulan. Saya
juga memberitahukan hal ini kepada orang tua. Mereka sangat senang. Tetapi saya
tidak pernah memberitahukan hal-hal yang kurang menyenangkan dan yang akan
menambah pikiran bagi orang tua saya.
Tes ITB
sudah berlangsung. Akhirnya satu teman saya ada yang lolos, Dede namanya. Kini
ia sudah merasakan kelas pengajaran di sana.
Part 4
Puncak
kejadian itu berawal dari Inagurasi mahasiswa baru tahun 2013 kemarin, tepatnya
5 September, sebelum Isya’. Saya, Wahyu Dwi Pranata, sebagai ketua MPM Periode
2013/2014 dan Pandu, Wakil 1, mengisi acara tersebut. Saya membaca puisi:
tentang Indonesia dan Kampusku. Sedangkan Pandu, ia menyanyikan dua buah lagu.
Pada waktu itu.
Tiba-tiba
beberapa dosen dan staff langsung berjaga di sudut-sudut acara, termasuk Pak
Rindra dan Pak Sarju. Mungkin mereka berpikir saya menyiapkan masa untuk acara
tersebut. Setelah saya selesai membaca puisi, Pak Rindra mendekati saya dan
berkata: “Jane ora ngunu kuwi Yu carane.”
Dalam
pembacaan puisi itu, saya dianggap telah menghasut mahasiswa baru. Padahal
ketika itu saya sebagai Warga Negara Indonesia yang tertindas dan mahasiswa
Udinus, mengungkapkan bahwa Indonesia merupakan negara yang paling kaya di
dunia, namun banyak aset-asetnya masih dikuasai asing. Tak lupa sebagai
mahasiswa Udinus, saya juga menyuarakan adanya transparansi anggaran Poliklinik
dan kasus-kasus yang terjadi di sana. Apakah puisi ini salah dan termasuk menghasut?
Lalu
beberapa hari berselang saya menulis penjelasan dari puisi yang saya lafalkan
pada malam inagurasi itu dengan judul “Kau Renggut Miliaran dari Kami Lalu Kau
Perlakukan Kami Seperti Orang Miskin” di blog pribadi saya dan Kompasiana
(sudah dibaca oleh ribuan orang). Pada Senin, sehari setelah tulisan tersebut
saya publish dan bagikan melalui media sosial, saya ditelepon oleh Kabima, Pak
Rindra.
Saya
dipanggil kala itu terkait tulisan ini. Tapi sayang kini tulisan itu sudah
mereka minta untuk dihapus, termasuk semua tulisan yang pernah saya buat
dimanapun. Mereka menuding saya sebagai orang yang membocori kapal sendiri. Pak
Rindra mengibaratkan. “Kita ini ada dalam satu kapal. Kita berlayar menuju
tempat tujuan yang sama, kenapa malah kamu membocorinya ketika ada di dalam
sini.”
Mereka
mengartikan tulisan-tulisan yang saya publish di media online yang bisa dilihat
oleh ribuan orang adalah cara yang salah untuk menyalurkan keluh kesah saya dan
kawan-kawan. Mereka meminta agar kritik itu sebaiknya tidak keluar, namun masih
dalam kungkungan lingkungan mereka.
Tulisan
saya yang berjudul “Kau Renggut Miliaran dari kami lalu Kau Perlakukan Kami
Seperti Orang Miskin” juga sudah terhapus. Tinggal tulisan copian hardcopy yang
ada pada Elektra, Dewi dan saya.
Mungkin
saya dianggap terlalu frontal oleh beberapa orang. Tapi ini era kebebasan
berpendapat. Apakah saya salah lagi? Mohon beritahu kesalahan saya.
Ketika Orang Tua Saya
Dipanggil
Lewat
pesan oral, Senin (9/9/2013), orang tua saya hanya dipanggil melalui telepon
selular. Diberitahukan untuk datang ke kampus. Dan Selasa, orang tua saya
datang ke kampus.
Kedua
orang tua saya datang dari Purwodadi menggunakan sepeda motor ke Semarang.
Mereka bahagia sekali kala itu, karena dikira akan diberikan pemberitahuan soal
kesibukan kegiatan saya yang padat. Selain berorganisasi, saya juga sudah
diterima menjadi asisten laboratorium, beberapa hari sebelumnya. Hari itu
adalah jadwal pertama saya menjadi pendamping mahasiswa dasar pemrograman.
Pagi,
sekitar pukul 8, saya sudah di ruang dekanat. Saya dan empat orang penting ada di
sana: Sek Dek, Dosen Wali, Kaprogdi dan Ka Bima. Masih berkutat membahas
masalah ini. Seperti kejar setoran saja yah. Padahal mereka tahu waktu itu saya sedang melaksanakan kewajiban saya untuk “ngasis”. Pak Rindra juga bilang
kalau ada apa-apa sebagai seorang laki-laki harus tanggung jawab. Saya jawab,
iya.
Akhirnya
sekitar jam 2 siang saya dipanggil ke ruangan Wakil Rektor. Di sana sudah ada
Bapak dan Ibu saya. Mereka sudah memegang kertas kopian dari tulisan-tulisan
saya. Dari raut muka, mereka sangat kaget. Saya tak tega melihat-nya. Saya juga
pasrah. Tidak banyak kesempatan untuk ngobrol kala itu. Saya langsung ditawari
dua pilihan: pencemaran nama baik dan terkait UU ITE atau saya harus mengundurkan
diri. Saya tidak punya waktu untuk menunda dan menganalisis masalah itu terkait
UU atau apalah. Mereka sudah menyodori sebuah kertas yang harus saya
tandatangani dan bermaterai: Surat Pengunduran Diri.
Saya
sangat sedih ketika orang tua saya cerita bahwa Udinus sangat baik hati kepada
saya. Kurang apa coba anak ibu sudah diikutkan seleksi ke ITB, mendapatkan
beasiswa meski sedikit, pernah dikirim dalam lomba debat, sekarang sudah
menjadi asisten lab. Kebaikan? Bukankah ini hak-hak saya, hak yang dimiliki
setiap mahasiswa di sana? Jika mereka menganggap ini sebuah kebaikan, saya
pertanyakan proses seleksi yang mereka lakukan. Apakah sudah profesional?
Apakah
seperti ini birokrasi kampus yang berbasis IT dan mengaku terbesar se-Jawa
Tengah? Orang tua saya dipanggil sekali, dan langsung eksekusi. Mereka
menjanjikan bahwa semua uang kuliah yang saya bayarkan akan dikembalikan,
transkrip nilai dan semua surat-surat yang saya butuhkan, agar saya bisa
melanjutkan ke perguruan tinggi lain.
Sekarang
saya sudah diterima di perguruan tinggi swasta di Jawa Tengah. Dan, seperti
yang mereka janjikan, semua itu sudah dipenuhi. Satu yang belum: surat
keterangan bahwa saya pernah menjadi asisten laboratorium.
Hari itu
juga saya pulang ke Purwodadi. Malam hari saya baru sampai. Hari yang
melelahkan. Keesokan harinya saya disuruh ke Kudus untuk sharing dengan Om
(paman) saya, mengenai tulisan-tulisan ini. Om saya bilang ini tidak apa-apa,
tulisan kritik dan keluh kesah. Asal ada bukti-buktinya jelas.
Hari
Kamis, kami diminta untuk kembali ke Semarang. Saya dan Ibu saya, berangkat
naik motor, 60 Km kami lalui. Akhirnya sampai kampus agak siang. Ternyata
disuruh mengulangi untuk menandatangani sebuah surat. Diantara isinya adalah
menghapus semua tulisan yang pernah saya buat, disuruh mengakui bahwa tulisan
yang saya buat itu adalah sebuah kesalahan, dan beberapa poin-poin yang saya
lupa.
Kopian
itu ada di Purwodadi sekarang. Ada juga yang di Semarang, dibawa Elektra dan
Dewi (BP2M Unnes).
Saya
menganggap skenario yang mereka buat sangat berhasil. Salah satu indikasinya
adalah mereka memanggil orang tua saya dulu, waktu bertemu dengan WR2. Saya
duga mereka sudah menjelaskan semua hal-hal tentang tulisan tersebut. Orang tua
saya tidak tahu tentang jurnalistik. Mereka juga sudah disugesti bahwa saya ini
adalah mahasiswa yang menjelek-jelekkan kampusnya sendiri, almamaternya
sendiri. Membocori perahu. Orang tua saya bercerita bahwa mereka saling tengok
ketika mereka disodori dan dijelaskan satu-satu tulisan saya. Mereka bingung
dan tidak tahu harus berbuat apa, bahkan mengiba untuk kesalahan saya agar
dimaafkan.
Hati Yang Tersakiti
Tidak hanya soal pengunduran diri yang saya sesalkan. Waktu yang singkat, tidak
ada surat pemberitahuan atau peringatan yang jelas juga membuat saya tambah
kian menyesal. Terutama ketika hati kedua orang tua saya disakiti, diperlakukan
tidak baik. Bapak sampai menangis ketika menelpon Om saya. Saya tidak
melihatnya. Saya di Kudus kala itu. Ibu bercerita, Bapak itu orangnya tegar.
Beliau tidak pernah menangis di depan saya. Juga tidak pernah bertengkar dengan
Ibu karena selalu mengalah. Atas masalah ini, mereka bertengkar. Ibu sampai tidak
tidur beberapa hari, pasti memikirkan saya.
Saya berharap tulisan saya adalah bayangan yang dapat dikenang
sepanjang masa. Tapi saya salah. Bayangan saya dikebiri.
Tapi saya
yakin bahwa akan ada banyak pembelajaran bagi kita semua tentang kasus ini.
Tidak perlu dijelaskan pembelajaran apa dan bagaimana, pastilah kita dapat
mensarikan sendiri.
Wahyu Dwi
Pranata, eks Mahasiswa Udinus
LBH Semarang juga bicara soal Wahyu: Udinus Juga Bisa Dijerat UU ITE
Aktivis Pers Mahasiswa Gelar Demo: Kecam Udinus Pecat Mahasiswa, Aktivis LPM Demo
_____________________
Berikut ini link berita terkait Tregedi Wahyu DP:
Aktivis Pers Mahasiswa Gelar Demo: Kecam Udinus Pecat Mahasiswa, Aktivis LPM Demo
_____________________
Berikut ini link berita terkait Tregedi Wahyu DP:
- http://www.thejakartapost.com/news/2013/09/21/blogger-expelled-campus-being-critical.html
- http://www.tempo.co/read/news/2013/09/20/063515271/Memecat-Mahasiswa-Blogger-Udinus-Semarang-Dikecam
- http://www.tempo.co/read/news/2013/09/19/058514741/Kritik-Kampus-Mahasiswa-Semarang-Dipaksa-Mundur
- http://edukasi.kompasiana.com/2013/09/21/nulis-di-kompasiana-kompasianer-ini-dikeluarkan-dari-kampus-593750.html
- http://edukasi.kompasiana.com/2013/09/21/bahasa-iklan-belajar-dari-kasus-wahyu-dwi-pranata-dan-udinus-591846.html
- http://www.tribunnews.com/regional/2013/09/21/mahasiswa-udinus-dipaksa-mengundurkan-diri-karena-terlalu-kritis
- http://jateng.tribunnews.com/2013/09/21/inilah-kronologi-wahyu-dipaksa-mundur-sebagai-mahasiswa-udinus
- http://www.merdeka.com/peristiwa/kritik-kebijakan-kampus-di-blog-mahasiswa-semarang-dikeluarkan.html
- http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-tengah-diy-nasional/13/09/25/mto8s9-udinus-pecat-aktivis-persma-mahasiswa-gelar-unjuk-rasa
- http://jateng.tribunnews.com/2013/09/25/mahasiswa-udinus-gelar-aksi-tutup-mulut