Cerbung Episode ke 40…
Oleh
Sofi Muhammad
Entah
ini air mata atau air hujan, buat apa pula dipertanyakan. Semuanya memang
sangat tidak penting, tidak berguna. Apa, apa yang berguna di dunia ini? Tidak
ada, ya sangat tidak ada. Bahkan diriku ini, apa?
Biarlah
seluruh air hujan ini melelehkan, merontokkan setiap organ yang menempel di
tubuhku. Biar hilang sekalian, terhapus dari muka bumi ini. Toh mati pun juga
tak bakal ada yang menangisi.
Tapi,
hujan hanyalah sekadar air hujan yang bahkan untuk menghapus tinta pun belum
tentu bisa. Apalagi, untuk menghapus semua kekecewaan ini, seberapa besar pula
kemampuannya. Tak ada, tentu saja tidak ada.
Di
sana, di atas sana, air masih setia tertumpah ruah membanjiri jalan raya,
hingga motor matic-ku pun akhirnya mogok juga; hujan deras yang disertai dengan
motor mogok adalah dua buah perpaduan paling harmonis untuk semakin bisa mematahkan
hatiku.
Patah
hati, iya tentu. Bagaimana mungkin tidak jika keduanya sama-sama mampu membuat
jengkel perasaan ini.
Sebangsat-bangsatnya
lelaki bagiku adalah lebih bangsat dia!
Tak
tahu diuntung. Bahkan jalanan ini pun sama tak tahu diuntungnya. Di mana juga
para petugas yang mengurusi saluran air. Sudah dibayar tapi jalanan tetap saja
banjir. Korupsi, koruptor, maunya makan gaji buta!
Crat!
Terserahlah!
Bahkan jika cipratan air hujan se-Kota Semarang menumpahiku pun rasanya tak kan terasa menambahi masalah. Sudah
cukup peka diri ini akan sebuah penghinaan. Apa lagi cuma secomberan air-air
itu.
Biarlah
sampai kelelahan dia mengguyur, menyiprat, atau meludahi mukaku ini. Sedikit
pun, sakit ini tak kan bertambah atau berkurang hanya gara-gara kehadirannya.
“Woi,
Mbak, mampir sinilah.”
Tiga
tukang ojeg yang sedang mangkal memanggil ke arahku. Bukannya berteduh tapi
rasanya benar-benar hendak kutonjok dan kubabat habis leher-leher mereka itu.
Sudah muka penuh kerut kayak lintingan rokok, tapi masih juga jelalatan sekali
matanya.
Benar-benar.
Benar.
Rasanya,
hendak kembali sekadar sedetik untuk menguliti segenap rupa dari lelaki yang
berada di kamar sembilan tadi. Tapi, dasar sial karena bahkan hanya untuk
menatap wajahnya lama-lama pun aku sudah tidak mampu.
Tak
hanya itu. Menagih uang kos-kosan saja aku jadi kelupaan begitu mengingatnya,
membayangkannya bersibuk-sibukan dengan wanitanya di dalam sana.
Tapi,
aku sungguh benci sekali karena tak ada yang bisa kulakukan. Benar-benar sama
sekali tidak ada. Hakku, itu pun tidak ada. Yang ada hanya rasa sakit yang
teramat sangat. Sakit yang bahkan aku sendiri pun tak mampu mendeteksi
jenisnya.
Arya,
tega nian dia padaku. Bertahun-tahun telah kuhabiskan seluruh hidupku hanya
untuk menunggu agar bisa bertemu lagi dengannya. Tapi, jelas bukan seperti tadi
itu keadaan yang kuharapkan.
Matanya,
bahkan aku sudah hampir pingsan begitu melihatnya menatapku dengan sangat
sendu. Sudah lama sekali kurindukan keteduhan mata itu. Mata yang
mengisyaratkan aroma kemurnian dari sebuah pandangan seorang laki-laki.
Kemudian,
semuanya hancur lebur ketika perempuan setan itu datang. Memeluknya,
mencumbuinya, bahkan ketika aku masih berdiri di hadapan mereka. Atau, memang
sengaja begitu agar lebih hancur lagi hatiku?!
Sore
itu, rasanya benar-benar hendak kugeletakkan tubuh ini di atas aspal saja agar
digilas tronton saja sekalian. Kalau saja bukan karena sudah sampai di depan
bengkel motor di samping jalan, mungkin sudah kulakukan benar-benar impianku
yang tadi itu.
“Sudahlah,
Ras,” Santi mengelus-elus bahuku kala kami berdua sudah ada di dalam kos.
Bukannya
tambah kuat tapi justru semakin menjadi saja rasanya. Sedari tadi, belum juga
mampu kuhentikan linangan air mataku ini secara paksa.
“Paling
tidak ya makan dululah, baru tidur ya Ras,” kata Santi yang juga sudah
membelikanku sebungkus nasi dari warung sebelah kos.
“Tapi,
Arya jahat sekali, San.”
“Iya
tahu. Tapi, tetap dimakan dulu, ya,” tambahnya. “Oh iya,” kata Santi sebelum ia
jadi meninggalkanku sendiri di kamar kos, “kemarin, Bisri nanyain nomor HP-mu
yang baru, Ras.”
Demi
mendengar berita itu, tambah menderaslah air mataku ini. Bodoh, jahat, maka
pantas sajalah aku mendapati karma yang sedemikian menyakitkan ini.
Bisri,
padahal jelas dia lelaki yang baik. Namun, memang bangsat juga hati ini karena
tak juga bisa mencintainya. Malah juteru merelakan diriku sangat jauh sekali
terjerat dalam bayang-bayang lelaki yang nyatanya tak bisa diharapkan.
“Dia
sudah tak kasih nomor barumu, Ras,” tambah Santi yang segera menutup pintu
kamarku dari luar.
Kenapa
pula aku malah menuduhnya tak mencintaiku. Apa apaan aku ini. Jika Bisri kukira
tak mencintaiku hanya karena tak mau meniduriku, lalu lelaki semacam Arya-kah
yang disebut mencintai?
Meski
jelas bahwa itu adalah kenyataan, tapi aku sangat berharap bahwa itu adalah mimpi
terburukku saja. Biar aku pun bisa lekas-lekas terbangun kemudian melanjutkan
pencarianku lagi, yang tanpa ujung lagi.
Akh,
Arya, harusnya kamu tahu, tapi kenapa kamu tidak tahu?!
Sepanjang
beberapa tahun ini, aku tak pernah lepas dari menyebut namamu, membayangkanmu
menemuiku lagi dengan sepiring nasi goreng ternikmat yang mampu dirasakan oleh
lidahku.
Kemudian,
kita akan berkutat berjam-jam lagi dalam seonggok meja dapur yang pastinya
belepotan oleh karena kita yang berperang hebat dengan menggunakan kecap manis,
semanis senyummu itu, Arya.
Arya,
Arya, kenapa kamu tega?!
Wanita
yang kau tiduri itu, siapa dia. Kenapa tak sabar sekali kau menunggu
kedatanganku. Padahal, aku sudah mempertahankan diriku ini hanya untuk
menantimu menjemputku, Arya.
Kini,
letih sekali aku rasaya. Letih oleh karena penantian yang kecelik ini, yang sia-sia ini. Benar-benar sudah tak ada guna
sedikit pun hidupku di dunia ini. Untuk apa, untuk siapa jika satu-satunya
harapanku pun nyatanya sudah tak bisa diharapkan. Yang tersisa justeru hanya sepengap
sampah yang menggenagi dadaku ini.