Oleh Abd. Basid
Judul :
Rezeki itu Misteri, Mati itu Pasti
Penulis :
Ali Akbar
Penerbit :
Mizania, Bandung
Cetakan :
I, 2013
Tebal :
200 halaman
Harga :
Rp. 45.000,00
ISBN :
978-602-9255-30-0
Kematian ibarat sebuah ending, penutup cerita
hidup setiap orang. Karenanya kematian menjadi penting untuk dipelajari dan
disiasati dengan harapan endingnya menjadi menarik dan khusnul khatimah.
Kadang manusia lupa ending cerita dalam hidup nanti. Mereka sibuk menggarap
cerita di dalamnya, namun enggan memikirkan kematiannya.
Kemudian tidak sedikit dari kita yang merasa tegang,
bahkan mungkin takut menghadapinya, kematian itu. Membaca buku Rezeki itu
Misteri, Mati itu Pasti ketegangan dan ketakutan tersebut akan sedikit
banyak terminimalisir. Dalam buku ini Ali Akbar, yang juga seorang pakar SEO, mengajak
pembaca berdamai dengan kematian dan meraihnya dengan penuh optimisme.
Ali Akbar berpendapat bahwa mengingat kematian
merupakan salah satu rahasia kesuksesan setiap pribadi. Berkelimpahan.
Logikanya, dengan mengingat kematian, maka orientasi hidup seseorang tidak akan
lagi untuk kemakmuran diri sendiri, tetapi juga bisa memberi manfaat kepada
orang lain (hlm. 83).
Ibarat sebuah pohon, bukanlah akar yang bisa
menghasilkan buah terbaik, tapi tanah tempat akar itu menancap, menunjam, dan
bercabang di dalamnya. Dari sini, analoginya, tanah merupakan tempat kita
kembali, yang tak lain adalah kematian, di mana manusia berasal dari tanah dan
akan melebur kembali bersama tanah (hlm. 131).
Ali Akbar mengajak pembaca agar tidak tegang
dan takut pada kematian dan juga tidak terlalu berani pada kematian. Kematian untuk
dipersiapkan tidak untuk ditakuti. Dibutuhkan ketenangan jiwa dalam
mempersiapkan diri menyambut kematian.
Sebagai muslim, tentu mendambakan akhir
kehidupan yang berbaik (khusnul khatimah). Untuk itu, bersiap menghadapi
kematian, dalam setiap kesempatan, harus senantiasa menjadi tujuan utama,
sehingga tidak akan pernah menyia-nyiakan waktu melakukan hal-hal yang di luar
ketetapan syariat Allah. Hal inilah yang kemudian oleh Ali Akbar disebut dengan
konsep hidup yang berorientasi pada kematian (hlm. 24).
Sebagai langkah persiapan, Ali Akbar memberi
dua rumusan penting, yaitu dengan (1) menjadi manusia yang bermafaat, dan (2) menjadi
hamba yang selalu bersyukur. Menjadi orang yang bermanfaat adalah terus menjadi
penebar manfaat bagi orang-orang sekitar, dengan cara menanamkan konsep
kesadaran diri bahwa hidup ini haruslah saling berbagi, sebab dengan berbagi
seseorang akan semakin berarti. Tidak ada orang kaya jika tidak ada orang
miskin. Tidak ada sedih jika kita tidak pernah merasa senang. Tidak ada duka
jika seseorang tidak sempat bahagia.
Untuk itu, seseorang haruslah pandai-pandai bersyukur
menjalani hidup, misalnya dengan cara menggunakan dan memanfaatkan harta yang
kita miliki dengan kebijaksanaan sehingga bukan hanya kita dan keluarga yang
merasakan manisnya harta yang kita peroleh, tapi juga orang-orang sekitar.
Dengan syukur seseorang akan makmur dan
sebaliknya dengan kufur seseorang akan tersungkur. Hal ini bisa dilihat
bagaimana orang-orang yang tidak lagi menghiraukan cara mendapatkan rezeki yang
halal, seperti para koruptor, seiring dengan berjalannya waktu, mereka mulai
tersungkur menjadi tersangka dan terpenjara. Keadaan inilah yang dijanjikan
Allah dalam surat Ibrahim [14]: 7, di mana Allah berjanji akan menambah nikmat
seseorang yang pandai bersykur dan akan mengadzab mereka yang mengingkati nikamt-Nya.
Karena kematian itu pasti, maka kita harus
menyambutnya dengan senyum dan ikhlas. Kematian sejatinya tidaklah membuat kita
pesimis, akan tetapi ia menjadikan kita agar lebih terampil untuk menghiasi
diri dengan kemuliaan; agar kita pintar menata hari dengan ketakwaan; dan agar
lebih pandai mengisi jiwa dengan ketawadlu’an. Akan hal ini, Ali Akbar
menganalogikannya seperti kepastian rezeki yang misteri (hlm. 188). Pasti
adanya, tapi tidak ada yang tahu kapan tibanya.
Meminjam bahasa Komaruddin Hidayat, agar kita
bisa berdamai dengan kematian, maka kematian haruslah dijadikan sebagai
pendorong munculnya optimisme, bukan malah sebaliknya. Karena bila ketakutan
diganti dengan optimisme, maka kematian akan mampu kita posisikan seperti teman
bagi kehidupan. Bila hal itu bisa kita lakukan, maka ajal pun akan kita
songsong dengan senyuman.
Abd. Basid, pengelola Rumah Baca Baitul Hikmah, Probolinggo