Oleh Sofi Muhammad
Belum sampai genap tiga
hari tapi aku sudah sangat berniat untuk mengundurkan diri. Bukan lantaran
masalah gaji lagi, tapi ini karena alasan gila, benar-benar gila!
Masih ingat bukan tentang
lelaki berbadan gimbal dan berbulu lebat yang kutemui di tempat karaoke.
Ternyata, dia adalah suami dari Bu Mira, ibu-ibu yang selalu menyuruh dengan
tersenyum, majikanku!
Begitu melihatku
menjadi pembantu barunya, lelaki itu langsung menyadari sesuatu. Aneh sekali
tatapannya, apa lagi saat Bu Mira sedang mandi atau tidur siang.
Saat hari Minggu,
pas Bangkotan tua itu tak ada jadwal kerja, semakin takut saja aku ini. Baik
ketika mencuci piring, mengepel, atau bahkan sekadar memotong rumput. Aku merasa
GR saja bahwa selalu ada yang mengawasiku dari balik pintu.
Aku benar-benar
semakin benci saja dengan para bebandot tua yang ditakdirkan kaya dari sononya.
Sudah gendut, jelek, mata keranjang pula. Istri sudah cantik, baik, ramah
begitu, tapi kok ya masih suka mencari sabetan di luar.
Bangsat! Si Bangsat
itu, rasanya pingin tak cincang-cincang terus kulempar lemak-lemak yang
menggelendor di perutnya itu ke mulut-mulut macan di Kebun Binatang Mangkang.
Macan saja palingan bakalan muntah-muntah saking tak sanggupnya menelan
bangkainya yang pastinya pahit benget rasanya.
Daripada makan hati,
lebih baik mengundurkan diri.
Esok harinya, aku
benar-benar tak lagi masuk kerja. Saat Bu Mira menelpon, kubilang saja bahwa
aku ini mendadak menikah dan pindah ke luar kota dengan suami. Tinggal sekali
bohong, beres sudah semuanya. Benar-benar beres dan tak ada kerjaan sama
sekali. Maksudnya, jadi pengangguran lagilah.
Di bayanganku,
sempat juga hendak minta maaf pada Mas Hadi, kemudian bekerja lagi di sana.
Tapi, hati kecilku berontak benar. Jangan sampailah aku kembali lagi menjadi
budaknya. Dia yang sok seperti itu.
Tapi, keseringan
bengong pun kurasakan sangat tak baik buatku. Pikiranku ini jadi ngelantur ke
mana-mana dan agak jorok pula. Puncaknya adalah ketika Bisri mengunjungiku di
kos. Di sana, aku sama sekali tak pernah melarangnya kala ia menciumiku. Lagi
pula, dia kulihat tak memiliki sifat playboy
sebagaimana yang lainnya.
Meski fisiknya
kurang membuatku terpesona –aku suka cowok yang tinggi— tapi biarlah
sekali-kali tak kunilai seseorang dari fisiknya saja. Toh sama-sama enak
ternyata. Baik dia ataupun Rio, sama-sama membuatku ketagihan dengan ciumannya.
Bersama Bisri, aku jadi
lebih berani lagi. Sedikit pengalaman dari Rio adalah untuk buka dasar. Sedang
dengan Bisri ini, oleh karena kuyakin dia lelaki baik-baik, maka sedikit pun,
aku tak merasa khawatir. Andai dia meminta keperawananku, aku pun sebenarnya
tak berkeberatan.
Tapi, dia tak
pernah mau dan itu sungguh-sungguh membuatku jadi curiga. Jangan-jangan, dia
hanya ingin main-main saja denganku. Lelaki zaman sekarang, masa iya ada yang
sebaik dia. Apa dia takut jika aku menuntutnya di kemudian hari sedang ia
sebenarnya mengharapkan wanita lain yang benar-benar layak baginya.
Akh, lama-lama, aku
pun jadi muak dengannya. Hingga kuputuskan untuk melupakannya saja sekalian.
Seteleh itu, aku pun mengganti nomor HP.
***
Pengumunan yang
kudengar langsung dari Santi adalah bahwa pusat laundry di RW sebelah sana sedang
membuka lowongan untuk antar-jemput cucian. Oleh karena aku sedang menganggur
dan punya motor, maka aku pun mendaftarkan diri.
Ternyata, mencari
pekerjaan itu mudah asal tak terlalu pilah-pilih. Kalau cuma sekadar
antar-jemput sih gampang. Yang menjadi persoalan, lagi-lagi adalah masalah gaji.
Tidak hanya tujuh ratus lima puluh ribu, tapi kini jadi lima ratus ribu per
bulan.
Wah, bisa buat apa
uang yang sebanyak itu. Bayar kos saja sudah dua ratus ribu. Masa uang tiga
ratus untuk makan sebulan. Putar otak-putar otak! Mau kembali ke rumah Mbak
Dian, tapi kok ya ada lelaki itu.
Bangsat, brengsek
banget dunia ini. Di mana-mana, lelaki mata keranjang itu memang tersebar di
mana-mana.
“Gimana kerja di
laundry, Ras?” tanya Santi saat ia beristirahat di kamarku.
“Enak sih kerjanya.
Tapi, tadi toh gila banget,” jawabku.
“Gila kenapa?”
“Aku tadi ngantar
cucian ke rumah ibu-ibu yang gualak banget gitu, San.”
“Kamu dimarahi?”
“Iya. Padahal, aku
kan nggak tahu apa-apa.”
“Dimarahi gimana
emang?”
“Begini,” kataku
setengah tertawa, “kan ada tikus mati di kamarnya to, eh dia malah marah-marah
ke aku. Kan aku cuma nganter cucian, malah dimarah-marahi.”
“Dia nuduh kamu
yang naruh tikus mati itu?”
“Nggak,” jawabku,
“tapi, dia marah karena katanya, aku ini cantik. Gara-gara melihat janda
cantik, suaminya jadi menceraikannya. Jadi, kini dia jengkel sekali karena saat
ada tikus mati, nggak ada yang bisa disuruh-suruh untuk membuangkannya.”
Hiburan memang.
Ada-ada saja. Meski gajinya sedikit tapi ternyata lumayan asik pekerjaan di
laundry ini. Setiap hari, aku bisa kembali menertawakan orang yang memiliki
keanehan karakter.
Meski agak was-was
saat aku lagi-lagi disuruh mengambil atau mengantar cucian di rumah ibu-ibu
galak itu –tak ada karyawan lain yang mau mengantar-jemput di rumah itu— maka
kupuas-puaskan saja menonton dia menghujati mantan suaminya.
“Dasar sial tuh
orang,” katanya, “sekarang, miskinlah dia gara-gara klemeren sama janda!”
Ibu-ibu dengan
berat badan yang overload itu masih meraco-meraco tak karuan. Lagi-lagi, pasti dibodoh-bodohkanlah mantan suaminya
yang tergila-gila dengan janda. Sambil membolak-balik daftar yang entah apa,
dia terus saja membahas hubungan mantannya itu dengan si janda.
“Sekarang,” katanya
lagi, “syukurin dia itu tinggal di kontrakan kecil.”
“Memangnya, suami
Ibu tak punya rumah lain selain ini?”
“Rumah lain?”
tanyanya balik sambil melotot, “ini saja rumahku, peninggalan orangtuaku. Lha
wong dia dulunya cuma kacungku. Cuma pesuruh yang kusuruh narik uang kos-kosan.
Punya banyak kos aku. Anak kuliahan itu banyak sekali yang makai,” jelasnya.
“Memang dasar bodoh itu malah lebih milih janda miskin!”
Huah, bisa sampai
dua jam kalau lagi dapat jatah mengambil cucian di rumah itu.
Baca juga: