Oleh Sofi Muhammad
Semakin hari,
semakin banyak saja godaan untuk secepatnya melupakan Arya. Tapi, memang aneh
aku ini karena seolah kuhianati dirinya padahal kami tak pernah membuat
perjanjian apa pun.
Hutang budi dibayar
budi sajalah kalau begitu. Mungkin, jika kami memang dipertemukan lagi ketika
aku tak lagi sendiri, biarlah kubantu dia ganti, apalah sebisaku. Untuk saat
ini, hanya itulah yang bisa kuputuskan.
Terlalu lama sendiri,
rasanya tidak enak juga. Saat melihat pasangan bermesraan, dadaku mau meledak
rasanya. Ketika mereka saling tersenyum kemalu-maluan, aku benci sekali karena
aku masih juga hanya sendiri.
Makanya, kuturuti
saja apa yang dikatakan Santi.
“Tapi, dengan satu
syarat,” tambahku.
“Apa?”
“Kamu juga harus
mau aku kenalin sama tetanggaku.”
“Tetanggamu? Cakep
nggak?”
“Lumayan. Dia sudah
skripsi-an. Mungkin, tahun depan, kalau nggak molor lagi, katanya, dia lulus.”
“Wah, boleh tuh.
Namanya?”
“Bisri.”
Ini bukan keputusan
yang mudah buatku. Sebelumnya, aku tak pernah semudah ini mencoba percaya pada
lelaki. Bahkan Rio yang nyata-nyata tetanggaku saja, sampai saat ini, aku
masihlah malas jika harus mencoba serius padanya.
Berhubung Bisri
kelihatannya cukup baik sebagai seorang lelaki makanya aku mau. Siapa tahu kami
memang ditakdirkan untuk bersama. Sedangkan Arya, dia mungkin hanya mampu
menjadi kepingan masa silamku saja.
“Kenapa tak kau
ambil sendiri si Rio itu?”
“Males ah, dia playboy, kok,” jawabku, “cocok banget
sama kamu, kan?!”
“Ih, apa-apaan
sih?”
Saat malam usai
bekerja, aku benar-benar mau menerima ajakan Bisri. Toh belum sangat malam
juga. Belum ada jam tujuh malam, dia sudah menungguku di luar, di parkiran.
Sedang Mas Hadi yang melirikku tajam, aku tak hendak pedulikan.
“Pakai motorku
saja,” pinta Bisri, “masa mau jalan sendiri-sendiri.”
Kuturuti saja
permintaannya. Toh aku sudah lama ingin merasakan nikmatnya diboncengin cowok
pakai motor. Tapi, aku masih grogi jika harus mendekapnya dengan sangat mesra
sekali.
“Pegangan, Ras,”
katanya, “biar nggak jatuh.”
Aduh, sudah kayak
Deddy Corbuzier saja itu orang bisa membaca pikiranku. Biar tak terlalu
mencolok, kupegang saja pinggangnya dan tidak terlalu erat. Kalau sampai dia
berani-berani cari-cari kesempatan, mengerem mendadak, awas saja dia!
Tapi, sepanjang
perjalanan, dia tak pernah bertingkah murahan semacam itu. Kalau pas lewat SMS
dia sangat berani menasehatiku, di sini, dia lebih banyak diamnya. Ah, kencan,
nggak nyangka jika aku rupanya sedang berkencan.
“Dimakan dulu,
Ras.”
Di depanku sudah
terhidang sepotong paha ayam yang kelihatannya sangat menggiurkan. Ditambah
lagi, memang belum sepat makan tadi. Belum pulang kerja saja, dia sudah nongol.
Apa dia benar-benar serius denganku.
Memang aneh aku
ini. Mau makan saja pakai malu segala. Biasanya, aku tak pernah grogi makan
sembarangan di depan lelaki. Tapi Bisri, dia benar-benar membuatku malu untuk
bertingkah biasa saja.
Iyalah, namanya
juga baru-baru ini kenalnya. Aku yakin sekali bahwa lama-lama, kami akan
terbiasa. Tak hanya aku tapi kurasa dia juga merasakan hal yang sama. Buktinya,
kami sama-sama jadi pendiam nian.
“Kamu beneran nggak
punya pacar, Ras?” tanyanya dengan lemah lembut sekali.
Kujawab saja dengan
gelengan kepala.
“Terakhir pacaran
kapan?” tanyanya lagi.
“Nggak pernah
pacaran.”
“Ah, nggak percaya
aku.”
“Terserah kalau
nggak percaya,” jawabku ketus, “nggak ada gunanya juga percaya sama aku.”
Akh, aku mulai lagi
deh. Wajahku sudah kusut saja rasanya. Tapi, aku memang benar-benar mengetes
keseriusannya. Kalau benar-benar mau denganku, apa adanya, tentu tak boleh
mudah menyerah.
“Bercanda, Ras,”
ujarnya sambil memamerkan senyuman yang ternyata, manis juga kalau dilihat dari
dekat, apa lagi cuma berdua seperti ini di satu meja makan.
Setelah itu, kami
mulai banyak bercakap-cakap. Tak hanya seputar status tapi juga asal-usul. Malu
sekali aku kalau ditanya asal-usul. Tapi, memang kukatakan apa adanya diriku
karena Santi mungkin saja juga sudah pernah bilang sebelumnya.
Dari situ, kutahulah
bahwa Bisri itu anak seorang camat di daerah Gunungpati. Otomatis, otakku
langsung bergerak saja pada KTP. Paling tidak, bisalah membuat KTP dengan tanpa
syarat jika pemintanya Pak Camat sendiri.
Kelihatan buruk
sekali niatku ini. Seolah-olah, kudekati Bisri karena memang ada maunya. Memangnya,
aku beneran mau serius dengan lelaki yang berselisih lima senti ini.
Memang tidak
terlalu penting sih, fisik, bisalah dinomor duakan. Asal nyambung dan baik
saja, itu sudah cukuplah. Tapi ya hanya itu, aku tak boleh pakai highhill sama sekali saat berkencan
semacam ini.
Padahal, di rak
sepatu, sudah ada tiga pasang, termasuk dua pasang yang baru saja kubeli dengan
Santi usai gajianku yang pertama. Masa iya mau kusingkirkan selalu saat aku
berkencan dengan Bisri.
“Mau nambah, Ras?”
“Ah, cukup. Sudah
kenyang.”
“Nambah nggak papa.
Biar gendut, ha-ha.”
“Ih, nggak deh.”
Baca juga: