Oleh Sofi Muhammad
Penghuni kos di UNNES
ramah-ramah. Benar kata Bu Sur, mereka risih banget kalau ditarik uang kos oleh
cewek. Begitu aku sampai di sana, pada malu-malu begitu bagi yang sedang bokek,
terus pinjam ke temannya.
Mungkin karena aku
penarik duit yang baru juga kali ya, jadinya mereka istilahnya belum berani
ngutang. Tapi, kalau aku sudah terbiasa narik mungkin pada biasa juga. Bayar
nanti-nanti seperti yang sering dikatan pada Bu Sur.
Dalam sehari, hanya
satu lokasi saja jatahku. Untuk lokasi yang lain ada jadwalnya sendiri-sendiri.
Ada yang awal bulan, tengah, juga akhir bulan. Tergantung dengan perjanjian
yang telah ditempel di tembok kos dekat pintu utama.
Kalau sehabis narik
di tempat yang cukup jauh dari rumah Bu Sur, seperti di IKIP, IAIN, UNNES, dan
UDINUS, Bu Sur biasanya tidak memberiku pekerjaan tambahan lagi untuk
bersih-bersih rumahnya.
Tapi, jika sehabis
dari UNDIP, selain nantinya bersih-bersih rumah, pasti juga disuruh mampir ke
mana-mana. Ubi madu kesukaannya itu, tak pernah lupa dipesankan. Padahal, repot
sekali aku membawanya tapi dia cuek dan terus saja menyuruhku.
Oalah, sudah gemuk
gitu, masih juga rakus soal makanan. Pantesan saja suaminya nggak betah.
Bahkan, orangtuanya pun tak betah lalu lebih memilih untuk dikubur daripada
hidup rebutan makanan sama anak semata wayangnya.
“Sakit jantung bapakku,”
kata Bu Sur, “sedang ibuku gula darah.”
“Kalau saudaranya,
Bu?”
“Saudara, saudara
gimana,” katanya agak jengkel, “anak tunggal ini. Makanya si Warno itu mau
menikahiku. Ternyata cuma ngincer hartaku. Rasain dia sekarang, emangnya enak.”
“Memangnya, tidak
ada pembagian harta gono-gini?”
“Ya nggaklah,”
jawabnya mantap sekali sambil membusungkan dadanya penuh keyakinan, “ini
semuanya kan milikku. Mau nggugat cerai ke pengadilan saja dia tak punya duit kok.”
“O.”
“O? Cuma O?”
“Lha terus?”
“Pikir pakai otak.
Jadi wanita itu harus tegas. Jangan sampai mau diakali lelaki!”
Aku hanya diam saja
mendengarkan kejengkelannya. Meski bukan aku yang salah, tapi Bu Sur
benar-benar seperti memarahiku. Bahkan sampai dituding-tudingnya mukaku ini.
Kalau dilihat orang lewat pasti dikiranya aku sedang dimarahinya.
Padahal, lagi-lagi,
ia memarahi suaminya yang kawin lagi itu. Mungkin cemburu, mungkin juga sangat
benci karena dulunya sangat cinta.
Aku kini sedikit
ikut terkontaminasi oleh keganasan kata-kata Bu Sur yang menghujaniku
bertubi-tubi. Bak roket yang meluncur cepat sekali hingga mampu menerobos
jantung pertahanan akal sehatku.
Dipengaruhinya
benar-benar hingga terkadang, pikiranku membenarkan: benci dengan suami, mantan
suaminya.
Aku sendiri jika
diperlakukan demikian pasti juga tak akan terima.
“Lelaki itu egois,
selalu menuntut istrinya jadi sempurna. Maunya yang cantik, seksi, padahal dia
sendiri apa. Lha wong dia juga kurus krempeng, hitam, dekil,” Bu Sur masih saja
belum puas. “Cuih, amit-amit deh, Ras. Jangan sampai mau kamu dikibuli sama
laki-laki. Capek badan, capek ati!”
***
Kupandangi
langit-langit kamar kos. Putih, hanya cat putih yang sama sekali tak bisa
membuat tenang. Beberapa kali, kubolak-balikkan badan ini memeluk guling
kemudian melemparkannya ke pojokan hingga membentur gelas usai kupakai mengaduk
kopi nan pekat dan gelap.
TV yang nangkring
di depanku rasanya ingin sekali kubenturkan, kubanting di lantai hingga berhamburan,
hancur berkeping-keping. Biar tak ada yang tersisa sekalian. Baik gelas, TV,
teko, figura, atau apa pun yang mampu nyaring kala dibanting, ingin sekali
tangaku ini membantingnya.
Saking sesaknya
dadaku, hingga air mata pun tak sanggup keluar lagi. Rambut yang sudah empat
hari tak kukeramasi jadi tak terasa gatalnya. Otakku sedang terfokus pada satu
hal saja; marah!
Benci sekali
rasanya hidup seperti ini. Baru saja sedikit-sedikit ingin kulupakan perkataan
Bu Sur tentang kejahatan lelaki tapi rupanya dia itu seratus persen benar. Di
mana-mana, benar juga kata Mbak Dian, kata Santi juga. ternyata memang benar-benar
tak ada pengecualian di dunia ini. Semua lelaki itu jahat, kejam!
Semakin nyata bahwa
makhluk yang paling jahat di dunia ini adalah lelaki!
Seumur-umur,
setengah mati aku mencoba menepis anggapan itu. Kubilang, tidak semua, tidak
semua pasti. Tapi, nyatanya apa?
Benar-benar
brengsek, jahat, keparat, tak ada yang mampu menandingi kekejaman lelaki. Nggak
di sini atau di sana, nggak anak pejabat, bahkan pejabatnya sendiri pun sama.
Tak ada lelaki bersih, apa lagi benar-benar baik.
Jika setengah mati
ada wanita yang menyayanginya justru pasti pikiran liciknya muncul. Ia berusaha
untuk mengambil sebanyak-banyaknya keuntungan lalu diam-diam menghianatinya
dari belakang.
Akh, sakit sekali
rasanya. Hingga remot TV yang berada di depan mata pun kubanting sekeras mungkin.
Juga gelas sisa kopi yang tergeletak kotor kena lemparan guling, kuambil
kemudian benar-benar kubanting sekuat mungkin.
Hancur benar
perasaan ini. Tak pernah kusangka jika benar-benar seperti ini jahatnya manusia
yang berjenis laki-laki itu. Benarkah sudah tak ada yang berperasaan, yang mampu
merasakan sakitnya perasaan wanita saat ia terluka?
Atau memang sudah
ditakdirkan demikian para wanita. Takdir jahat yang mana Tuhan sendiri juga
jahat! Sama jahatnya dengan makhluknya, dengan para lelaki yang Dia ciptakan
tanpa menyelipkan perasaan padanya sekalian.
Padahal sudah lama
sekali aku menunggu. Menunggu satu-satunya harapan kebahagiaan dari seorang
lelaki yang kukira mampu untuk membahagiakanku. Tapi, malah seperti ini yang
terjadi.
Sekali lagi, kubanting
saja apa pun yang kukira mampu untuk memuaskan nafsu amarahku. Tapi ternyata,
tak ada satu pun yang sanggup mengobati rasa sakit hati ini. Dalam sekali
lukanya hingga tak mempan jika hanya diobati dari luar.
Arya, ya Tuhan,
kenapa harus seperti ini jadinya?!
Bersambung Episode ke 39…
Baca juga: