Oleh Sofi Muhammad
Meski membayangkan
gajinya saja sudah membuatku lemas tapi sebenarnya aku cukup nyaman juga
bekerja di laundry itu. Cuma antar-jemput sih masalah gampang. Masalah sulitnya
adalah ini.
Salah satu
pelanggan di laundry-ku ini ternyata adalah Bu Mira. Dia kehilangan pembantunya
beberapa hari lalu. Otomatis, tugas mencuci dialihkan ke laundry. Oleh karena
Bu Mira tak ada waktu, tak punya sopir, juga tak punya anak, maka aku pula yang
disuruh antar-jemput cuciannya.
Benar-benar sempit
sekali dunia ini. Tidak mungkinlah jika tiba-tiba aku berani memunculkan diri
begitu saja di depan mukanya. Bohong, ketahuan bohongnya pasti!
Begitu aku mendapat
jatah mengambil cucian di alamat yang sudah kukenal itu, buru-buru otakku
memutuskan sesuatu. Daripada memunculkan kecurigaan, bahkan sampai bisa merusak
hubungannya dengan sang suami, lebih baik berhenti sajalah!
Iya, iya, nganggur
lagi.
“Nganggur, kok
bisa?!”
“Kenapa nggak
bisa?”
“Belum genap
seminggu, Ras.”
“Tahu, deh, San.
Aku malas kalau disuruh nganterin di rumah Bu Mira.”
“Ya, kan kamu bisa
minta dioper.”
“Yaelah, San. Anak
baru aku ini, sudah minta-minta segala.”
Tak banyak komentar
pula. Dibiarkan olehnya aku bingung sesukaku. Kini, barulah benar-benar
kurasakan apa itu artinya susah mencari pekerjaan.
***
Meski pernah
dihubungi lagi oleh Mbak Laundry untuk mengantar lagi di rumah Bu Sur, ibu-ibu
yang paling laris dihindari teman-temanku di laundry itu, tapi aku tetap tak
kasihan sama sekali.
Ah iya, kenapa tak
dicoba saja, ibu itu, Bu Sur itu.
“Yakin, kamu, Ras?”
tanya Santi yang tak percaya dengan rencana terbaruku yang hendak melamar
menjadi PRT di rumah Bu Sur.
“Banget,” jawabku.
“Sebenarnya, jadi PRT itu tak susah-susah amat. Cuma sedang sial aja kemarin.
Kalau di rumah Bu Sur kan jelas tak ada suaminya, taka ada lelaki, bahkan!”
“Iya, juga sih.”
“Aku semangat nih
mau melamar kerja di sana.”
“Ati-ati lho. Bisa
dimakan kamu nanti, ha-ha.”
“Mendingan dimakan
Bu Sur daripada bangkotan-bangkotan tua. Eh maaf San, bukan maksudku untuk
menyindirmu lho.”
Santi tersenyum. Di
hatinya mungkin agak sebal padaku oleh perkataanku tadi itu. Tapi, biarlah.
Yang penting, sekarang keputusanku sudah sangat bulat. Lebih baik bobrok di
rumah Bu Sur daripada di rumah Bu Mira.
Usai berganti pakaian
dan cuci muka sekenanya, aku benar-benar langsung melancarkan rencana. Dengan
wajah tertunduk setengah ragu, benar-benar kuhadapi Bu Sur itu. Matanya yang
tajam, galak, tak berani kupelototi ganti.
Karena aku yang
membutuhkannya, maka kumanis-maniskan perkataanku. Kubilang, mau kerja apa
sajalah untuk bantu-bantu Bu Sur. Meski dia tak terlalu membutuhkan tenagaku
tapi akhirnya diterima juga.
Komentarnya kala
menerimaku, “Lumayan, buat pijit-pijit punggungku yang pegal.”
Aduh, sebenarnya,
agak ngeri juga mendengar perkataannya yang satu itu. Lemak yang menggelendor
setebal itu di lengannya, bahu, paha, betis, wah, bisa patah nanti jari-jariku
kalau disuruh mijiti dia.
“Sekalian, kamu
nanti nggantiin tugas mantan suamiku, ya,” tambahnya.
Tiba di situ, bulu
kudukku langsung merinding. Di pikiranku yang keluar hanyalah kekonyolan dan
kacau. Apa mungkin bahwa dia itu seorang lesbi?
Mengetahui keanehan
di raut mukaku, kemudian segera diralatnya, “Jangan mikir yang aneh-aneh.
Maksudku, kamu menggantikan tugas suamiku narik duit kos-kosan. Itu anak-anak
kuliahan pada lemot kalau ditarik duit. Tugasmu itu!”
Huft, barulah bisa
bernafas lega. Biarlah narik duit kos-kosan asal tak sampai masuk sumur juga,
kan. Sumur yang bahkan airnya saja tidak ada. Sumur lubang buaya. Iya, kan ada
banyak buaya di mana-mana. Sumur-sumur pemasok buaya darat yang luar biasa aku
benci keberadaannya.
Tugas pertama aku
disuruh narik duit kos. Kos-kosan Bu Sur tersebar hampir ke seluruh penjuru
Kota Semarang. Baik Semarang atas atau pun bawah, ada semua. Memang pinter pilih
tempat. Di sekitar kampus UNDIP Tembalang, UNNES, bahkan menyebar sampai ke
IKIP PGRI, UDINUS, sampai IAIN juga.
Alhasil, kalau diperinci
menggunakan ilmu hitung, lima hari kerja itu kan untuk minggu awal di tiap
bulan, sedang minggu-minggu yang lainnya, biasanya juga untuk menarik kembali
para penghuni kos yang luar biasa lelet kalau disuruh bayar.
Bu Sur bilang,
kalau tidak dikejar terus seperti itu, bisa-bisa nunggak berbulan-bulan
kemudian kabur, minggat. Ealah, dasar mahasiswa, memalukan sekali!
“Kalau yang di
UNDIP tembalang memang cewek semua,” kata Bu Sur, “biasanya tak terlalu sulit
kalau diminta.”
“Iya, Bu,” jawabku
sambil menggut-manggut.
“Nanti tak telpon
anak-anak biar mereka tidak salah ngasih ke orang lain,” imbuhnya.
“Iya, Bu.”
“Tak kasih tahu
jugalah PRT-ku di kos-kosan juga.”
“Iya.”
Dalam sehari itu,
aku langsung disuruh berangkat ke UNNES menarik duit kos. Penghuninya mahasiswa,
laki-laki semua, agak risih sebenarnya, tapi Bu Sur malah bilang kalau itu
justru baik.
“Biasanya,
mahasiswa lelaki itu malu kalau di depan cewek terlihat nggak punya duit,”
begitu kata Bu sur.
Yah, lagi-lagi,
kalau punya motor sendiri memang sedikit lebih mudah untuk mendapatkan
pekerjaan dari pada yang tidak. Yang masih kukhawatirkan hanya satu; lampu lalu
lintas.
Kalau pas lagi
pegang duit banyak sih nggak masalah. Masalahnya saat ini, aku lagi bokek
banget. Kalau sampai ketilang dan motorku disita karena aku tak punya apa-apa, tak
tahulah bagaimana.
Hari pertama kerja
di rumah Bu Sur, nikmat sekali rasanya. Jadi budaknya, aku memang menjadi
budaknya yang harus siap sedia di mana pun dan kapan pun. Meski sama-sama
menjadi budak tapi tak boleh sembarangan memilih majikan, bukan?!