Oleh Sofi Muhammad
Mas Hadi
memanggilku lagi untuk menghadapnya di kantor. Pikiranku sudah mulai was-was.
Perhitunganku adalah bahwa jika kemarin ia gagal, maka lain kali pastilah harus
lebih matang lagi persiapannya.
Tidak!
Kalau sampai dia
macam-macam, aku tak akan segan-segan untuk memberontak. Entah apalah asal aku
bisa lari dari cengkeramannya.
Di hatiku ini sudah
kupersiapkan pengunduran diri. Biar sajalah tak dapat gaji besar asal hatiku
ini merasa tenang. Benar juga apa yang dikatakan Bisri bahwa aku memang sebaiknya
cepat-cepat angkat kaki.
Semakin lama, aku
semakin muak saja dengan Mas Hadi. Lagaknya yang sok bos itulah yang sangat aku
benci. Memang benar dia itu bos, bosok!
“Aku mengundurkan
diri,” kataku begitu sampai di depan meja Mas Hadi.
Mendengar
perkataanku yang tak terduga itu, matanya jadi melebar. Mungkin dia merasa
kalah lantaran aku lebih dahulu mengundurkan diri padahal ia belum sempat
memecatku.
Sebelum dia sempat
berkata apa-apa, aku pun cepat-cepat keluar saja dari kantornya. Tak maulah
kutunggu sampai ia coba-coba untuk memberiku kenang-kenangan terakhir.
Usai dari sana,
langsung saja kutemui resepsionis dan kukembalikan seragam yang pernah
diberikan padaku.Cepat sekali.
Kataku pada Santi,
“aku akan mencari pekerjaan yang murahan saja, San.”
Dia hanya tersenyum
dan melepas kepergianku. Akh, padahal, aku ingin sekali kalau Santi
mengikutiku. Ikut-ikutan mengembalikan seragam pink-nya juga. Tapi, nyatanya dia
malah masih nyaman-nyaman saja.
Saat kustarter motor,
aku berjanji bahwa itu adalah untuk terakhir kalinya aku menginjakkan kaki di
tempat itu. Sesudah itu, kuberitahu Bisri lewat SMS dan langsung kuarahkan
motorku pulang.
Di rumah, aku
dikagetkan oleh tingkah laku Mbak Dian yang semakin tidak wajar. Usai minggat
tak ada kabar selama tiga minggu, kini ia kembali dengan seorang lelaki yang
dikenalkannya padaku dengan nama Mas Pras, orang yang dibilang sebagai calon
suaminya itu.
Saat tidak pulang,
rupanya Mbak Dian tinggal di rumah Mas Pras-nya. Setiap hari, katanya, dia
selalu diperlakukan tidak baik oleh anak-anaknya Pras itu. Disuruh membuatkan
sarapan, mengepel, nyapu.
Iyalah, itu
sebetulnya merupakan tugas ibu rumah tangga secara wajar. Tapi, bagi Mbak Dian,
itu penghinaan. Oleh karena itulah, pada akhirnya mereka berdua memutuskan
untuk tinggal di rumah Mbak Dian saja.
Entah jadi menikah
atau hanya main-main lagi, semuanya tak ingin pusing-pusing aku pikirkan!
***
Yang pasti, aku
merasa sangat tidak nyaman dengan kehadiran lelaki itu. Saat aku menyapu lantai
pada pagi hari, juga memasak di dapur karena aku pun sudah tidak bekerja lagi, kulihat
secara samar bahwa lelaki yang bernama Pras itu mencuri-curi pandang ke arahku.
Begitu Mbak Dian
datang, menemaninya ngobrol di depan TV yang memang dekat sekali dengan dapur,
dia bersikap biasa lagi. Aneh juga kenapa dia itu tak tahu malu sekali.
Pelan-pelan, batinku
ini jadi agak curiga. Kalau beneran sangat kaya tentu saja ada lebih dari satu
rumahnya. Kenapa pula harus memilih untuk numpang di sini? Iya tahu, ini juga
bukan rumahku. Tapi, aku benci sekali pada setiap lelaki yang jelalatan matanya
semacam dia itu.
Saat dia berangkat
kerja, aku merasa senang sekali. Mbak Dian kini pun jadi tak ke mana-mana lagi
usai ia berencana untuk punya suami. Setiap pagi, juga malam, kulihat tak
pernah berhenti mereka saling berbisik di dalam kamar yang segera disusul
dengan aroma keletihan usai melakukan sesuatu.
Akh, aku jadi tak
tahan!
Semakin tak tahan
jika Mbak Dian kebetulan sedang keluar untuk sekadar beli bakso atau
jalan-jalan sambil mengisi bensin di SPBU terdekat. Pada jam-jam rawan seperti
itu, lelaki itu semakin tajam saja memelototi pantatku kala aku lagi nyapu di
halaman dengan sapu lidi.
Memang semakin
butuh pekerjaan di luar rasanya. Tapi apa?
Seminggu di rumah,
rasanya semakin terasa di neraka apalagi sejak ada bangkotan itu. Yaelah,
kenapa aku jadi parno tiap ada lelaki tua.
Iseng-iseng, aku
benar-benar mencari pekerjaan lagi. Apa sajalah asal aku tak seharian di rumah.
Selain itu, aku juga berniat untuk tinggal di kos saja. Bisa satu kos dengan
Santi, pasti akan jauh lebih menyenangkan sekali.
Iya, benar itu!
Selanjutnya, kuhubungi
Santi sesegera mungkin untuk menanyakan tempat yang kosong. Begitu dia bilang
ada, aku langsung bat-bet berpamitan
pada Mbak Dian.
“Kenapa pergi?”
tanyanya heran.
“Aku mau mencoba
hidup mandiri, Mbak.”
Akh, sebenarnya,
tak mau juga aku bersusah-susah begini. Hanya saja, tiap kali melihat bebandot
tua yang kuanggap bermata keranjang itu, trauma masa-masa lalu itu muncul lagi,
sekaligus memunculkan kembali kenanganku dengan Arya, lelaki yang tak pernah
kuketahui keberasaannya itu.
***
“Jadi PRT aku, San.”
Kebetulan, ada
rumah gedong di pinggir jalan yang memasang lowongan itu di pintu gerbangnya.
Tidak jauh dari kos baruku. Berjalan kaki saja kala aku iseng-iseng menyusuri
pedestrian hingga kutemui tomprang
itu.
Menyuci, menyapu,
besih-bersih taman, alah, itu sudah
tugasku sehari-hari saat berada di rumah Mbak Dian. Saat ditanya pengalaman
kerja, kukatakan saja kalau aku pernah menjadi pembantu di rumah Mbak Dian.
Alasan keluarnya
aku dari sana, kukatakan bahwa si pemilik
rumah kini sudah jadi ibu rumah tangga jadinya tidak terlalu membutuhkan tenaga
saya.
Meskipun agak
konyol tapi nyatanya cukup bisa diterima. Melihat kerapian pekerjaanku, si ibu
pemilik rumah kelihatannya juga suka. Wah, memang tidak sia-sialah latihan
rutin yang kupraktikkan saban hari di rumah Mbak Dian sana.
Tapi, ketika membayangkan
gajinya yang cuma tujuh ratus lima puluh ribu, aku agak malas sebenarnya. Tapi,
apa boleh buat.
Selain itu, tak
enaknya jadi PRT adalah bahwa aku ini harus selalu siap menjadi ramah sekali.
Andai pemilik rumah menyuruh, aku pun harus melalukannya dengan tersenyum. Tak
bisa bekerja sambil cemberut sesuka hati.
Halah, memang dasar
tipikal pengangguran, kerja apa pun selalu saja dilihat yang tidak enaknya.
Tapi, tetaplah kubetah-betahkan. Paling tidak, kutunggu saja sampai gaji
pertamaku turun. Penasaran saja, sih. Kira-kira, nikmatan mana antara gaji yang
banyak dengan yang sedikit, begitu.