Kedekatanku dengan
Bisri rupanya memunculkan kecemburuan di mata Mas Hadi. Dalam benaknya mungkin
saja berkata: aku yang lebih dulu malah
Bisri yang mendapatkannya. Bukan semata-mata dugaanku saja karena siang
harinya, aku dapat panggilan untuk menemui Mas Hadi di ruang kerjanya.
“Dikasih apa kamu
sama Bisri?” tanyanya.
“Ini urusan
pribadiku, Mas.”
“Pribadi, pribadi,
apaan itu?” tanyanya nyolot, “nggak ada yang namanya urusan pribadi di sini.”
Matanya benar-benar
menyiratkan kemarahan. Itu sungguh-sungguh membuatku sangat tidak nyaman. Tak
ada orang lain di ruang kerja Mas Hadi selain hanya kami berdua saja. Selain
takut karena amarahnya, aku juga takut kalau dia kalap kemudian memerkosaku.
“Aku mau keluar,”
kataku.
Sebelum aku sempat
ke mana-mana, dia buru-buru sekali menutup pintu. Lama sangat ia berdiri di
samping pintu, menjagainya karena memang tak ada kuncinya. Setahuku, aku tadi
melihatnya masih bergelantungan di daun pintu sebelah luar.
“Aku belum selesai,
Ras,” kilahnya.
“Tapi, aku sudah
selesai!”
“Kamu tidak sopan
pada bosmu!” katanya dengan nada yang ia tinggikan.
“Ini tak ada
hubungannya dengan pekerjaan lagi!”
Kupandangi lantai
keramik yang tampak bersih di bawah kakiku. Sedetik pun, aku tak mau bertatapan
langsung dengan mata lelaki yang ada di hadapanku ini. Aku sudah tak ingin
bertengkar, malas, juga tak hobi.
“Dasar, wanita
murahan!”
Aku diam saja.
Mungkin karena
bosan atau memang sudah tak mood lagi
padaku hingga akhirnya dia pun membiarkanku pergi. Saat dia pergi itu, sangat
buru-buru sekali kubuka pintu. Di luar, kulihat Santi tengah menungguiku dengan
cemas.
“Diapain kamu,
pakai ditutup segala?” tanyanya kemudian.
“Tau, deh.”
Usai kejadian itu,
aku benar-benar hendak melakukan apa yang telah disarankan Bisri; keluar dari
pekerjaan ini. Namun, bingung juga mau kerja di mana lagi. Aku masih ingat
betul bahwa aku ini tak punya KTP.
“San, lelaki itu,
semakin dilarang malah semakin membrutal, ya?”
Santi tak menjawab.
Hanya tepukan bahunya saja yang kurasakan cukup mampu untuk membuatku sedikit lebih
nyaman.
“Ya sudah, tak
penting jugalah untuk dibahas, ayo, kerja, kerja,” kataku menenangkan diriku
sendiri.
Santi tersenyum,
“Eh, gimana kencanmu sama Bisri, lancar?”
“Nggak tahu deh.”
“Kok nggak tahu.”
“Kencan pertamaku,
San,” jawabku mengingatkan, “aku tak tahulah mana yang dianggap lancar dan
tidak.”
“Ooo…”
***
Sesuai dengan
ketetapan, Santi harus mau kujodohkan dengan Rio. Aku tak bilang apa-apa juga
sih sama Rio. Biar Santi dulu yang tahu kemudian dia yang memutuskan sendiri.
Saat Santi bertandang ke rumah, sengaja ku-SMS
Rio untuk datang.
Setibanya dia,
kupersilakan masuk lalu kutinggallah mereka berdua di depan TV. Selanjutnya,
aku pura-pura mau beli sesuatu tapi satu setengah jam kemudian, aku baru berencana
untuk kembali.
Besar memang harapanku
pada dua sejoli itu. Menurutku, Rio masih layaklah jika ditangani oleh orang
yang tepat. Santi juga begitu. Aku hanya ingin menjadi pengawas sekaligus
penasehat setia agar mereka benar-benar bisa bersama.
Oleh karena Santi
sangat cantik, menurutku, sudah pastilah Rio itu tergiur. Sebagai awalan, buka
dasar dari pertemuan mereka, pastilah si Rio itu tak ilfill duluan. Sedangkan Rio sendiri, seperti yang pernah
diinginkan Santi, dia itu termasuk orang yang berada di wilayahku.
Oalah, sudah kaya
kontak jodoh saja aku ini. Diri sendiri saja belum dapat tapi malah mencarikan
orang lain. Kaya Yuanita Kristiani kalau begitu. Di acara Take Me Out yang agen pencari jodoh itu, dia sendiri malah masih single.
“Bakso satu, Bang.”
“Sendirian saja,
Ras,” kata penjual bakso yang sudah terbiasa mangkal di ujung jalan.
“Iya, Bang. Eh,
kosongan saja, ya!”
“Siap.”
Aku duduk manis di
salah satu kursi panjang yang tersedia di warung bakso kecil milik Bang Kumis.
Sebenarnya, namanya bukan itu tapi dia lebih terkenal dengan sebutan itu.
Kumisnya memang tebal, mirip sekali dengan para juragan besar dari Betawi.
Bang Kumis itu
asalnya memang dari Betawi. Tinggal di Bandungan setahuku baru dua tahun
terakhir ini. Sejak pertama kali datang, sudah lumayan laris baksonya. Selain
enak, tentu murah masih menjadi incaran.
Bukan orang
bermobil tentu saja. Kebanyakan pelanggannya adalah anak SMA dan para petani
bunga. Di sepanjang kawasan Bandungan memang ada banyak petani bunga. Mawarlah
yang paling banyak.
Mungkin karena
saking sejuknya tempat tinggalku ini hingga mudah sekali tanaman dikembangbiakkan.
Selain bunga, buah-buahan juga banyak di sini. Kala musim kelengkeng atau
rambutan, atau durian, pastilah akan mudah sekali ditemukan pedagang buah
dadakan yang menggelar dagangannya di depan rumah mereka masing-masing.
Yang paling ramai
tentulah saat musim kelengkeng. Hampir setiap rumah memiliki minimal satu pohon
kelengkeng. Tapi, ya banyak juga yang sengaja menanami lahan kosong mereka dengan
beberapa pohon klengkeng juga sih.
Saat musimnya itu,
banyak sekali kreneng yang digantung
di bakal buah untuk mempermudah pemanenan. Bunga dan buah, sudah cukuplah untuk
menjadi penopang hidup sebagian besar warga Bandungan.
Selain mereka
berdua, ada juga banyak jenis sayuran yang mudah untuk ditumbuhkan di wilayah
sejuk ini. Diataranya adalah kol, wortel, sawi, yang mana akan banyak dijumpai
di pasar buah dan sayur yang cukup luas di Pasar Bandungan.
Di tambah lagi
dengan adanya wisata Candi Gedong Songo yang berada di puncak Bandungan sana.
Tak hanya turis domestik tapi juga banyak dari mancanegara. Selain mengunjungi
obyek wisata alam itu, tentu saja mampir jugalah ke pasar tradisionalnya.
Indah banget deh
pokoknya daerahku ini. Selain indah juga sejuk tentu. Jauh bedalah dengan
kawasan Semarang Bawah yang panas banget. Kesempatan itu jugalah yang diambil
oleh para pebisnis semacam Mas Hadi untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.
Dingin-dingin, asik pasti jika karaokean.
Bandungan-ku, tidak
siang, tidak malam, tidak adalah jam-jam sepi bagi Bandungan.
Baca juga: