Cerbung
Edisi 29…
Bersambung Episode ke 30…
Oleh Sofi Muhammad
Kebenaran nan pasti
itu tidak pasti. Satu golongan orang mengatakan begini dan lainnya begitu.
Sebagai seorang manusia yang sangat biasa, tentu saja kupilih jalan yang mana
pun asalkan aku suka.
Tidaklah terlalu
kupedulikan ke mana arahnya nanti. Yang kulakukan saat ini hanyalah apa yang
mampu kujalani. Baik roda pedati ataupun tronton yang tiap hari menggilasi
badan jalan, semuanya pun memiliki peranannya masing-masing.
Biar pun sesama
roda tapi mereka tak sama kuat. Begitu pula denganku yang tentu saja memiliki
kadar kekuatan yang berbeda denganmu, barangkali.
Usai pergulatan
kami, aku dan Rio di malam itu, aku semakin sering bergila-gilaan dengannya.
Tak tahulah diriku ini. Rasanya, aku semakin bosan saja menunggu ketidakpastian
dari Arya yang tak jelas di mana juntrungannya.
Iyalah, aku memang
hanya main-main dengan Rio. Tak mungkin jika aku ini sampai berharap lebih pada
playboy itu. Lagi pula, dia itu anak
kuliahan, sedang aku cuma lulusan SMP. Walau ada kemungkinan jika dia akan
menerimaku apa adanya, tapi bagaimana dengan orangtuanya?
Tentu saja aku tahu
diri. Sedari lahir, aku sudah belajar untuk tahu diri. Lahir dengan tanpa
pernah merasakan timangan seorang ayah, diludahi teman-teman sepermainan karena
raporku tak pernah diambilkan ayah. Halah, itu sudah kebal aku.
Gila saja jika aku
terus-terusan menjadi orang baik-baik. Mana ada?
Bahkan yang hidup
sempurna semacam Rio, yang memiliki ayah-ibu komplit, berkecukupan materi, dan
tampan pula, masih juga tak sanggup menjalani kehidupannya dengan baik-baik.
Memangnya, siapa aku hingga sok-sokan jual mahal!
Meski begitu, aku
masih tak tertarik kala Mas Hadi yang mengajak. Dia itu memang tak terlalu
peduli denganku ini, apakah masih jomlo atau tidak. Toh selama ini bisa
dikatakan bahwa dia tidak jomlo tapi selingkuhannya ada di mana-mana.
“Ras, kayaknya, aku
akan menikah, deh,” ucap Mbak Dian secara sangat tiba-tiba kala kami sedang
berkumpul di depan TV pada malam setelah aku pulang kerja.
“Apa?” tanyaku
setengah melotot.
“Iya, menikah.”
Kupegang jidat Mbak
Dian selayaknya perilaku orang yang di TV-TV Indonesia.
“Panas, Mbak,”
komentarku.
“Ih, apaan sih
kamu, Ras,” kilah Mbak Dian, “emangnya aku ini gila, apa?”
“He, he…habis, aneh
banget sih Mbak,” kataku, “emangnya ada angin apa ini?”
“Tak tahulah. Tapi,
aku sudah yakin, Ras. Aku juga sudah bosan hidup begini terus. Jadi simpanan
orang, jadi bola yang dioper ke sana-sini,” jelasnya.
Syukurlah Mbak Dian
telah menyadarinya sendiri tanpa harus aku yang ngomong. Hidup seperti dia itu
kurasakan sangat berat sekali. Bagaimana mungkin bisa bercinta dengan beberapa
lelaki sedang tak ada perasaan sama sekali.
Selain itu,
pelanggan Mbak Dian tidak hanya anak muda yang masih genteng dan menggairahkan,
tapi beberapa malah tua. Soalnya, sebagaimana yang pernah dikatakannya, yaitu
bahwa hanya yang telah berubanlah yang mampu membayarnya dengan sangat mahal.
Tapi, ngomong-ngomong,
dia mau menikah dengan siapa?
“Dengan Mas Hadi,
Mbak?” tanyaku agak takut. Jika benar dia, takutnya Mas Hadi akan leluasa
tinggal di rumah dan menggerayangiku saat malam ketika Mbak Dian kebetulan
sedang kondangan.
“Ya nggaklah,”
jawabnya mantap sekali.
Syukur, deh.
“Sama siapa, dong?”
“Mas Pras.”
“Orang mana, Mbak?
Masih muda? Kerja apa dia?” tanyaku bertubi-tubi.
“Ya, kok borongan
pertanyaannya.”
Untungnya,
benar-benar bukan Mas Hadi itu. Meski belum kenal tapi aku yakin saja dengan
kemampuan Mbak Dian dalam menilai orang. Dia yang selama ini begitu bangga tiap
kali mampu menundukkan lelaki, akhirnya tunduk juga.
Seberapa hebat sih
lelaki itu hingga sampai Mbak Dian mau menikah segala dengannya. Padahal, tidak
muda juga katanya. Sudah empat puluh lebih. Anaknya saja sudah dua dan yang
pertama sudah tujuh belas tahun. Cewek pula.
Tentu saja ada
bedanya antara cewek dan anak cowok. Dari beberapa sinetron dan film FTV yang
pernah kutonton, anak tiri cewek itu lebih besar mulutnya. Untung-untung malah
Mbak Dian itu bisa jadi ibu tiri yang kejam hingga mereka jadi takut.
Tapi, yang
sebaliknya kini juga sangat banyak. Gantian anak tirinya yang kejam. Apalagi
jika dari sononya bapaknya itu sangat kaya raya. Dari kecil sudah sering
dimanja tentu saja nglunjak.
Aku ini hanya
kasihan saja jika Mbak Dian sampai disakiti oleh anak tirinya kelak. Agak
beruntung karena istri lelaki itu sudah meninggal. Kalau masih hidup, semakin
hancurlah rumah tangga Mbak Dian pasti.
Kubayangkan, jika
istrinya masih hidup, serangan itu muncul dari kedua belah pihak. Di rumah
diserang anaknya, sedang di luar diserang ibunya. Apalagi jika suami Mbak Dian
kelak adalah businessman yang jarang
di rumah. Ya, sudah.
“Rencananya kapan
Mbak, aku jadi tidak sabar,” kataku dengan mata yang kurasakan telah
berbinar-binar.
“Kok jadi kamu yang
nggak sabar.”
“He, he, kan pingin
lihat Mbak Dian dirias, pasti tambah cantik, Mbak.”
“Eh, Ras, tapi
anaknya itu nggak pernah senyum sama aku.”
“Oh, iya?”
“Ya, itulah yang
membuatku ragu. Rasanya, pingin tak bunuh saja dia.”
“Wah, Mbak Dian
sudah sangat cinta ya dengan calon suami?”
Cinta yang tumbuh
di hati Mbak Dian itu entah cimon atau cinlok. Apapun itu, aku hanya bisa
mendukung dari belakang. Usianya memang masih cukup muda sebenarnya. Baru dua
puluh lima hampir dua enam. Tapi, sudah sejak sangat belia Mbak Dian menjadi,
ya, bola yang dioper-oper tadi. Jadi, menurutku ya pantaslah jika dia sudah
mulai bosan.
Sedang aku ini,
malah justru sebaliknya. Payah benget hidupku. Mudah sekali ternyata. Apa
karena aku ini, seperti yang dikatakan Santi, masih lugu, lugu banget begitu.
Jadi, sekali rayu saja sudah langsung klepek-klepek.
Biarlah. Kan sudah
kukatakan bahwa aku ini bukan anak dari orang penting juga. Bisa bertahan
sampai sejauh ini saja kupikir sudah bagus. Memangnya siapa aku ini? Tak
penting dan tak istimewa pasti.
Tapi, aku merasa
murahan benget jadi orang. Masih mending Mbak Dian kalau begitu. Dia jadi
seperti itu kan tidak gratis. Sedang aku, aku ini sekali pun tak pernah meminta
bayaran pada Rio saat ia menciumiku.
Baca juga: