Oleh Fajri Andika
Malam ini udara sangat dingin. Tiga
lapis kain yang kupakai tidak mampu melindungi tubuhku dari dingin. Begitu pula
dengan Intan, istriku, kulihat dia sangat kedinginan. Maklumlah, kami tidak
terbiasa dengan cuaca seperti ini. Apalagi baru satu bulan kami tinggal di
sini. Perlu banyak waktu untuk beradaptasi. Padahal rencananya jam setengah
sepuluh nanti kami akan jalan-jalan di taman sekitar Menara Eiffel. Di sana
kami akan menghabiskan malam tahun baru bersama teman-teman, sesama pelajar
asal Indonesia.
Meski tubuhku dan Intan gemetar
kedinginan, tapi karena sudah terlanjur janji pada teman-teman, yang mungkin
sekarang sudah pada ngumpul di
sekitar Menara Eiffel, akhirnya dengan sangat terpaksa kami berangkat ke tempat
itu dengan naik taksi.
“Aku tidak menyangka kita bakal merayakan
tahun baru di kota, yang kata orang-orang romantis ini, Mas” kata Intan sambil
tersenyum.
“Iya, Sayang, aku juga tidak
menyangka kita bakal berbulan madu di sini,” kataku sambil mencium keningnya.
“Ya, kalau melihat kisah cinta kita
dulu, rasanya kita ini seperti berada di alam mimpi.”
“Iya, Sayang, aku juga tidak
menyangka kita bakal bisa melewati semua rintangan yang sangat menguras banyak
keringat itu. Aku masih ingat pada saat aku melamarmu. Waktu
itu bapakmu menolakku mentah-mentah gara-gara aku orang Madura.”
Ya, perjalanan cinta kami melewati
banyak rintangan, dan sangat dramatis. Kami bertemu di Jogja. Waktu itu, kami
sama-sama mahasiswa di salah satu perguruan tinggi ternama di kota pelajar itu.
Kebetulan kami mengambil jurusan yang sama. Pada saat itu, aku yang sudah semester
sebelas mengulang materi kuliah semester satu. Di kelas itulah pertama kali aku
bertemu dan berkenalan dengan perempuan yang sekarang sudah sah menjadi istriku
itu.
Pada awalnya,
hubungan kami cuma sebatas teman. Namun, karena sering bertemu dan intens
berkomunikasi baik lewat sms maupun facebook, lama-lama rasa
cinta itu tumbuh di hati dan perasaan kami. Kami sering bertemu karena waktu
itu Intan belajar menulis cerpen dan puisi padaku. Aku tidak tahu, dia
benar-benar ingin belajar menulis atau cuma ingin ketemu denganku. Yang jelas, aku
serius mengajarinya menulis. Dan aku memang senang kalau ada seseorang ingin
berbagi ilmu denganku, apalagi seputar dunia tulis-menulis. Maklumlah, selain
sibuk kuliah, aku seorang penulis. Dan kebetulan, waktu itu tulisan-tulisanku
baik cerpen, puisi, maupun esaiku sering muncul di media massa. Mungkin dia
suka padaku karena aku ini seorang penulis.
Aku sadar, sebenarnya aku punya rasa
lain padanya. Rasa yang tidak biasa. Dan ak yakin, Intan juga punya rasa yang
sama seperti rasa yang kurasakan. Namun, aku akan berusaha memendamnya. Aku
berbuat seperti ini bukan karena aku pengecut atau takut mengungkapkannya, tapi
aku belum siap untuk kembali mengidap penyakit sakit hati. Aku masih trauma. Maklumlah,
aku pernah tunangan, tapi gagal menikah. Aku masih ingin menimati
kesendirianku. Dan soal rasa ini, biarkan waktu yang menjawab.
Lama-lama, meski aku sudah sekuat
tenaga menahan rasa ini, tapi karena sering bertemu dan jalan bareng, akhirnya
aku tidak kuat juga. Aku bingung bercampur galau. Aku tidak tahu harus dengan
cara apa menyampaikan rasa yang kupendam ini pada Intan.
Lama aku merenung, hingga akhirnya
aku menemukan cara yang paling jitu untuk mengungkapkan rasa itu dengan cara
yang lain. Ya, aku akan mengungkapkannya lewat cerpen.
Tak lama setelah kutemukan ide yang
sangat cemerlang itu, aku langsung menulis cerita pendek itu. Tidak butuh waktu
lama untuk menyelesaikan cerpen yang alur ceritanya sangat kusukai itu. Dalam
waktu sepertiga malam, cerita pendek itu pun selesai. Selanjutnya, kukirim
cerpen itu ke e-mail-nya. Entah, apa
yang akan terjadi setelah Intan membaca cerita pendekku itu, kataku dalam hati.
“Cerpenmu bagus, Mas. Aku suka pada
alur ceritanya. Dan aku akan menjadi wanita paling bahagia di dunia ini jika
cerita yang ada di dalam cerpenmu itu jadi kenyataan,” begitulah Intan membalas
e-mail-ku. Dan diakhir pesannya dia
menulis, “aku siap menjalani hidup denganmu, Mas, asal dirimu serius padaku.”
Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi
setelah membaca pesan itu. Aku hanya merasa bahagia.
Setelah beberapa bulan menjalin
hubungan, akhirnya kami sepakat untuk membawa hubungan ini ke ranah yang lebih
serius. Ini memang keputusan yang sangat berat. Bagaimana tidak, aku baru lulus S-1
dan tidak mempunyai pekerjaan tetap, yang masih menggantungkan hidup pada
honor-honor tulisan. Apalagi waktu itu Intan masih semester dua. Aku yakin,
kalau aku melamarnya, orangtuanya pasti tidak akan merestui. Begitu pula dengan
Ibuku, belum tentu beliau merestui hubungan kami.
“Dari mana kita akan mendapatkan
uang untuk ongkos ke sana, Nak? Kan kamu tahu sendiri, kita ini orang nggak
punya!” kata Ibuku pada saat bilang kalau aku mau melamar Intan.
Aku mengerti kenapa Ibu tidak setuju. Aku bisa menebak, selain
memang karena tidak punya uang, beliau juga tidak
ingin jauh dariku. Maklumlah, aku dan Ibu sudah lama tidak hidup
bersama. Sejak kelas 1 SMP sampai kelas 3 SMA aku tinggal di asrama. Biasanya
aku pulang ke rumah pada saat liburan semester
dan lebaran. Itu pun aku di rumah paling cuma satu minggu. Setelah lulus SMA,
aku dapat beasiswa kuliah S-1 di salah satu perguruan tinggi ternama di Jogja. Dan
aku mudik setiap tahun, pada saat liburan Hari Raya Idul Fithri. Mungkin
karena alasan itulah Ibu tidak rela jika aku menikah dengan perempuan yang
rumahnya di luar Pulau Madura. Ya, kalau dihitung
mungkin membutuhkan waktu tiga hari perjalanan dari rumahku untuk sampai ke
kampung Intan di Lampung sana.
Lama aku berdiskusi
dengan Ibu, hingga akhirnya beliau mengizinkanku melamar Intan. Beliau berkata begini: Ibu bisa ngomong apa lagi jika kamu
memang sudah mantap untuk menikah dengan perempuan itu. Nikahilah perempuan
itu, Nak. Ibu cuma ingin berpesan, cintai dan sayangilah dia sepenuh
hatimu. Ingat, jangan pernah kau menyakiti hatinya. Karena kau lahir dari rahim
perempuan.
Setelah Ibu memberi restu, tiga hari
kemudian aku berangkat ke Lampung. Aku tidak mungkin
mengajak Ibu, karena aku takut terjadi sesuatu pada beliau di tengah perjalanan
nanti. Perjalanan yang panjang ke Lampung, yang memakan waktu kurang lebih tiga hari-tiga
malam pasti membutuhkan fisik yang kuat. Sementara fisik
Ibu sudah tidak memungkinkan untuk melewati perjalanan panjang yang sangat
melelahkan itu.
Aku berangkat ke
Lampung dengan menaiki bus dari Terminal Arya Wiraraja Sumenep sampai Pelabuhan
Tanjung Perak Surabaya. Dari Surabaya ke Lampung, aku naik kapal laut, yang
ukurannya dua kali lebih besar dari rumahku. Meski aku takut naik
kapal laut, tapi demi Intan, aku rela memendam rasa takutku ini. Apalagi Ibu
telah berpesan agar aku memperjuangkan cintaku.
Setelah melewati
satu hari perjalanan darat dan dua hari dua malam perjalanan laut, akhirnya
sampai juga aku di Lampung. Di sana, aku sudah ditunggu oleh Intan di
pelabuhan. Rasa rindu jelas terpancar dari wajahnya setelah melihatku turun dari
kapal laut
yang aku tumpangi.
Intan tidak
langsung mengajakku ke rumahnya. Tapi ia membawaku ke sebuah tempat wisata, yang aku tidak tahu nama tempatnya. Yang jelas tempat itu sangat indah. Di sana kami saling bercerita
tentang kegiatan kami selama berada di rumah. Dan tidak ketinggalan juga kami
saling bertanya tentang respon orangtua kami masing-masing tentang rencana
lamaranku.
Aku bercerita
tentang Ibuku yang pada awalnya tidak setuju dengan rencana
lamaranku. Intan tertawa terbahak-bahak mendengar ceritaku. Entah
apa yang lucu dari ceritaku itu sampai-sampai ia memegang perutnya sendiri
karena tidak tahan dengan ketawanya. Tapi ketika aku bertanya tentang respon orangtuanya, ia tidak berkata
apa-apa. Ia diam seribu bahasa.
“Bagaimana dengan
orangtuamu, Dek?” tanyaku penasaran.
“Iya, Mas, aku sudah cerita pada Bapak dan Ibu kalau hari ini Mas akan melamarku,” katanya dengan wajah yang tiba-tiba layu. Entah, kenapa
tiba-tiba ia jadi seperti itu!
“Terus, gimana
respon mereka?” tanyaku lagi, semakin penasaran.
Intan tidak
menjawab. Ia langsung menarik tanganku dan mengajakku ke rumahnya.
Di sana aku sudah
ditunggu oleh orangtua dan keluarga-keluarga Intan yang lain. Alhamdulillah,
aku disambut dengan baik.
Setelah aku ngobrol
dengan keluarga Intan, aku disuruh istirahat. Ternyata mereka paham kalau aku
capek.
Malam harinya aku
menjelaskan tentang tujuanku datang jauh-jauh dari Madura ke Lampung. Ternyata
mereka semua sudah tahu kalau aku datang ke situ untuk melamar Intan.
Dan betapa
kecewanya diriku setelah orangtua Intan bilang secara
terang-terangan kalau mereka tidak ingin punya menantu orang Madura.
Entah, kenapa mereka tidak suka pada orang Madura. Mereka tidak
memberi alasan yang jelas. Mungkin mereka mengira kalau orang
Madura itu wataknya keras, pemalas, dan terbelakang. Padahal kenyataannya
tidaklah demikian. Orang Madura itu tidak keras, tapi tegas. Orang
Madura akan melakukan dan berbuat apapun agar harga dirinya tidak diinjak-injak, apalagi kalau sampai istri mereka diganggu orang.
Mereka akan melakukan apapun untuk menjaga kehormatannya.
Karena bagi orang Madura, istri itu bagian dari nyawa mereka. Dan siapa bilang orang Madura itu pemalas dan
terbelakang? Orang Madura itu pekerja keras dan berpendidikan. Dan orang yang
melontarkan stigma negatif seperti itu adalah orang yang tidak tahu pada Madura
yang sebenarnya.
Mengenai lamaranku yang ditolak, entah, apa yang membuat orangtua Intan tidak suka pada orang Madura. Apa
itu cuma alasan mereka untuk tidak menerima lamaranku? Atau mungkin karena aku
sarjana muda yang tidak punya pekerjaan tetap. Mungkin mereka takut Intan akan
kelaparan dan terlantar kalau hidup denganku. Kalau memang seperti itu, aku
mengerti. Aku pun jika menjadi mereka tidak akan merestui Intan menikah dengan sarjana pengangguran seperti diriku.
Entahlah, hanya Tuhan yang tahu. Yang jelas, aku tidak akan menyerah. Aku akan
tetap berjuang untuk menaklukkan orangtua gadis yang sangat aku cintai itu. Aku
yakin, suatu saat nanti mereka akan merestui hubungan kami. Apalagi aku ini
orang Madura, yang dikenal sebagai manusia yang pantang menyerah.
Setelah beberapa
hari tinggal di rumah Intan, aku pun memutuskan untuk pulang, tapi tidak ke
Madura, melainkan ke Jogja.
* * *
Setelah
kupikir-pikir,
ternyata banyak hikmah dan pelajaran berharga yang bisa aku
petik dari lamaranku yang ditolak itu. Untuk itu, sambil menjalani kuliah S-2,
aku bekerja di salah satu penerbit ternama di Jogja sebagai editor. Soal gaji, cukuplah untuk membiayai kebutuhan hidupku
sehari-hari. Ya, bisa dibilang, jika dibandingkan dengan kehidupanku pada saat kuliah
S-1
dulu, sekarang hidupku lebih sejahtera. Aku sekarang sudah punya
motor keluaran terbaru. Ya, meski kudapatkan dengan cara kredit. Kalau masalah
cerpen dan puisi, aku tetap menulis. Bahkan lebih produktif. Hampir setiap
minggu karya-karyaku terpampang di media massa, lokal maupun nasional.
Lama aku menjalin
hubungan dengan Intan tanpa restu dari orangtuanya, hingga akhirnya tiba pada suatu hari ketika Intan memberi tahu aku kalau orangtuanya sudah merestui hubungan kami.
Mendengar kabar itu, aku terkejut sekaligus bahagia. Aku tidak tahu kenapa
orangtuanya yang dulu menolakku mentah-mentah, sekarang malah memintaku untuk
segera mempersunting Intan.
Namun, karena kami
sudah sama-sama berkomitmen untuk menyelesaikan kuliah, aku menyelasaikan S-2
dan Intan S-1, kami
sepakat menundanya. Kami harus sabar menunggu sampai kami sama-sama
wisuda. Selain itu, juga sambil menunggu pengumuman beasiswa ke Paris, Prancis. Kami memang punya cita-cita untuk kuliah di sana.
Kalau beasiswa yang
ke Paris itu kami lolos, berarti kami akan menjalani masa-masa indah sebagai
pengantin baru di kota yang kata orang-orang romantis itu.
* * *
Sekarang kebahagiaanku berlipat
ganda. Bagaimana tidak, aku baru saja selesai wisuda untuk yang kedua kalinya.
Selain itu, aku dan Intan diberi kesempatan oleh Tuhan untuk tinggal di
Prancis. Dan satu lagi, tidak lama lagi kami akan menikah.
Bukan hanya aku saja yang merasakan
kebahagiaan seperti ini, kulihat beberapa kali Intan mengusap airmatanya. Ia
terlihat sangat bahagia. Ia juga tidak menyangka kalau cita-cita dan impiannya
untuk menjalani hidup berdua dalam naungan pernikahan denganku dikabulkan oleh
Tuhan.
* * *
Jam menunjukkan pukul setengah dua
belas malam. Orang-orang di sepanjang jalan Kota Paris berkumpul sambil berteriak,
happy new year, happy new year, happy new year. Sementara taksi yang
kami tumpangi tidak lama lagi akan sampai di Menara Eiffel.
“Ini seperti mimpi ya, Mas?” ujar
Intan sambil memegang tanganku erat-erat.
“Ini bukan mimpi, Istriku. Tapi ini
mimpi yang menjadi kenyataan,” kataku sambil tersenyum.
Yogyakarta, 2012-2013
Fajri Andika lahir di
Sumenep, Madura.
Bergiat di Komunitas Kosong dan juga aktif di Komunitas Rudal
Yogyakarta.
Cerpen ini kenang-kenangan untuk Intan.