Oleh Sofi Muhammad
Mulutku basah oleh
guyuran lemon tea yang terhidang di atas meja. Di luar, udara panas nian. Sudah
pakai lotion tebal pun nyatanya tak
begitu mampu melindungi kulitku dari sengatan ganas ultraviolet.
Sepotong demi
sepotong, kunikmati pula ceriping pisang yang sedari tadi ngawe-ngawe minta dimakan. Tak perlu malulah jika memang lapar
benar. Dari pada mubadzir juga, toh sudah repot-repot dihidangkan.
“Susah nyari
kosanku, Ras?” tanya Santi sambil menaruh dua jenis camilan lagi di atas meja
belajarnya, yang kini telah beralih menjadi meja tamu.
“Lumayan,” jawabku
sambil meminum lagi lemon tea yang
dihidangkan untukku.
“Haus ya?”
“He, he, iya nih,”
jawabku benar-benar tak tahu malu, “panas banget di luar.”
“Namanya juga
Semarang bawah, Ras.”
Kosan Santi berada
di tengah-tengah antara tempat kerja dan kampusnya. Sengaja memang dia pilih
yang ditengah-tengah. Katanya, biar sama-sama mudah jangkauannya. Di salah satu
universitas yang paling dekat dengan kawasan Bandungan-lah ia kuliah.
Ketika aku mengunjunginya,
Santi sedang agak sibuk browsing.
Lagi nyari tugas katanya.
“Susah ya?”
tanyaku.
“Nggak. tinggal co-past aja, kok.”
“Co-past?”
“Copy-paste.”
“Oh.”
Aku benar-benar
malu. Kelihatan benget seberapa bodohnya diriku ini. Biar begitu-begitu, Santi
nyatanya sangat jauh lebih berpengalaman daripada aku. Dilihat dari banyak segi
pun, aku jelas masih kalah jauh.
Yang dibilangnya power point pun aku benar-benar baru
benar-benar melihat proses pembuatannya. Pernah sih dulu melihat guru SMA-ku
yang menayangkannya di kelas, tapi tentu tak pernah kulihat saat ia membuatnya.
Ketika melihat
boneka lucu yang bergerak-gerak, kadang tersenyum, atau marah, aku jadi
tertarik. Bukan tertarik untuk mendengarkan penjelasannya, melainkan untuk
memandangi perubahan ekspresi boneka kartun di dalam power pointnya.
Di Blackberry-ku yang dulu, banyak sih
kudapati animasi yang semacam itu. Tapi, tetap saja beda rasanya ketika itu
dimasukkan dalam sebuah presentasi. Apalagi, di depan kelas presentasinya, di
mana ada begitu banyak mata ngantuk yang sudah hampir pada molor semua.
Oalah, jadi kengen
sekolah lagi. Enak saja kelihatannya. Meski terkadang menyebalkan jika harus
membuat tugas, mengerjakan PR, tapi lumayan menyenangkan saat kumpul-kumpul,
menggosiplah.
Meski menurut
beberapa kalangan menggosip itu membuang waktu tapi tidak bagiku. Dengannya,
aku baru benar-benar merasa menjadi manusia sutuhnya. Ekspresi jiwa itu
nyatanya bisa sempurna keluar melauinya.
“Kamu kalau ngetik
cepet, nggak Ras?”
“Ngetik, kalau SMS
cepet.”
“Ya elah, kalau itu
sih aku juga.”
“Wah, pegel benget
nih tanganku,” keluh Santi, “kalau lulus, aku malas jadi sekretaris.”
“La kamu jurusannya
apa memangnya?”
“Ekonomi.”
Salah jurusan
kayaknya tu orang. Maunya kerja enak malah begitu, kan jadinya.
“Tak kira, jadi
sekretaris itu enak, Ras, cuma gitu doing. Yang penting cantik, seksi, urusan
kerjaan, tidak pentinglah. Eh, ternyata…”
Baru kusadari pula
bahwa ternyata tak ada pekerjaan yang benar-benar enak di dunia ini. Jika jadi
jutawan itu enak, tentu tak bakal ada beritanya para jutawan Jepang yang mati
bunuh diri. Iya, kan?
Wah, gara-gara
bergaul dengan anak kuliahan, jadi lumayan pintar juga aku ini. Iyalah, siapa
juga yang mau memuji diri ini kalau bukan diriku sendiri. Menunggu kamu
memujiku, sampai kekeringan kaya jemuran, barang kali.
“Lain kali, gantian
main kerumahku, ya.”
“Okelah, kalau
nggak sibuk.”
“Semester berapa
kamu?”
“Delapan. Dan mulai
skripsi tapi masih ada mata kuliah yang hancur juga.”
“La terus? Gimana?”
“Diulanglah!”
“Ya, aku kan nggak
pernah kuliah, San.”
Rasanya, jadi
kepingin kuliah. Tapi, ya kalau ikut kejar paket, minimal pasti ditanyain KTP.
Huah, KTP sialan! Lagi-lagi, gara-gara kamu, aku jadi susah bergerak! Apa-apaan
sih negara ini. Mau mencoba hidup baik-baik saja susahnya minta ampun.
Apa perlu kudekati
anaknya Pak Menteri biar aku dibuatkan KTP palsu, ya, bagaimanalah biar jadi
tidak palsu. Tapi sayang, anak Pak Menteri saja cewek. Satu-satunya kesempatan
ya dengan mendekati Pak Menterinya sendiri.
Gila! Menyebalkan
sekali.
“Kalau nyari suami
itu yang kaya, Ras,” sambung Santi.
“Aku nggak terlalu
pingin jadi konglomerat.”
“Jadi, kamu lebih
suka tidur di kolong jembatan, demi cinta, begitu?”
“Ya, nggak
segitunya juga.”
“Saranku, lupakan
deh Arya. Apaan itu, orang nggak jelas begitu kok.”
Mungkin, aku memang
dianggap wanita bodoh oleh Santi itu. Jika kupikir-pikir, memang benar juga
perkataannya. Tapi, tentu tidaklah bisa semudah itu andai dia jadi aku, andai
dia memiliki kenangan yang teramat konyol itu!
“Selesai!”
“Sip, deh.”
“Yuk, berangkat!”
Hari ini, kami
sama-sama menerima gajian. Bedanya, itu gajian Santi yang kesekian kalinya
sedang bagiku adalah yang pertama. Sebagaimana kesepakatan yang telah kami
setujui, hari ini Santi mengajakku memanjakan diri.
Huah, sudah lama
sekali aku tak ke mall. Kira-kira, mau beli baju yang bagaimana, bagusnya.
Keseringan bergaul dengan para LE yang memakai rok mini, aku jadi lumayan
tergiur. Saat melihat kelopak mata Santi yang semu kemerah-merahan, aku juga
pingin banget bisa sekali-kali tampil secantik dia.
“Pake motormu saja,
Ras. Punyaku baru tak cucikan tadi, he, he…”
“Huh, dasar!”
Baca juga: