Oleh Sofi Muhammad
Menurut kesepakatanku pribadi, usai
mendapatkan gaji pertama, aku berniat untuk berhenti. Nyatanya, tidaklah
semudah itu. Rasanya, sayang benget jika tiba-tiba berhenti begitu saja.
Andai berhenti pun
memangnya mau kerja apa lagi. Sedangkan menjadi seorang pengangguran itu
jelas-jelas tidak enak. Waktu serasa cepat sekali berputar. Bangun pagi,
bersih-bersih, masak, tiba-tiba saja sudah jadi siang. Habis itu, nonton TV
sebentar, jadinya sore. Masak lagi, sudah malam.
Tak mungkin juga
aku kembali pada kehidupan yang statis itu. Jadi budak dapur, budak TV, juga
kamar mandi.
Maka dari itulah
kuputuskan untuk lanjut saja. Sebelum kutemukan pekerjaan yang lebih baik, dan
lebih mudah dari ini, maka biarlah begini dulu. Aku juga harus selalu ingat
bahwa aku ini tak punya KTP.
Menggantungkan
hidup pada Mbak Dian terus, mana bisa juga aku seperti itu. Lagi pula, aku akan
mati, mati jiwaku jika hanya selalu bertemu dengan benda-benda elektronik itu;
kompor, kulkas, kipas, oven, TV.
Sekarang ini, aku
sedang senang-senangnya menikmati hidupku yang serasa selayaknya manusia.
Setidaknya, aku merasakan kembali nikmatnya ngomongin orang, jalan berdampingan
dengan manusia, Santi.
Memang bisa saja
aku jalan-jalan dengan Mbak Dian, tapi tentu tak bisa sering-sering. Saat ia di
rumah pun, melihat wajahnya yang selalu capek, aku jadi tak tega saat mau
mengajaknya pergi ke mana-mana.
Kebetulan sedang
punya duit, duitku sendiri, maka aku pun bisa sesuka hati membelanjakannya.
Saat ada penjual koran yang menawariku kala aku sedang berhenti di lampu merah,
ya kubeli saja. Toh cuma seribu.
Sampai di rumah,
karena sudah terlanjur kubeli, ya kubacalah. Setelah membolak-balik beberapa
halaman, gambar seorang lelaki yang sedang menggenggam raket menarik
pandanganku.
Taufik Hidayat
namanya. Nama itu, beberapa kali memang sempat terdengar oleh telingaku. Di TV,
aku juga terkadang menyaksikannya main. Sempat ngefans juga karena selain jago
main bulutangkis, dia juga ganteng. Tapi, agak kaget sekali saat aku membaca
beritanya di koran ini. Di sana disebutkan bahwa ia diduga menghamili seorang
wanita, yang tentu saja bukan istrinya.
Usai membaca koran
itu, ternyata di TV juga ditayangkan beritanya. Untung sekali bahwa aku ini
sempat nonton infotainment meski sambil bersiap-siap untuk berangkat kerja. Di
TV, wajah wanita itu juga tidak kelihatan karena dia pakai cadar.
Tapi, anak lelaki
yang berada di sebelahnya pas dia di acara konferensi pers, mirip juga dengan
Taufik. Bisa iya, bisa juga tidak. Jika tidak, ya mungkin si wanita itu hanya
sedang ingin mencari perhatian. Barangkali, dia adalah salah satu fansnya yang
melakukan itu demi agar bisa bertemu dengan sang idola.
Namun jika benar,
ya wajar saja menurutku. Taufik Hidayat, biar dia hebat sekalipun, dia juga
seorang manusia, seorang lelaki. Hanya keteloderan si perempuan saja. Sudah
tahu para lelaki ya seperti itu. Mau-maunya dikibuli.
Ternyata, benar
sekali apa yang dikatakan Mbak Dian selama ini. Semua lelaki itu pada dasarnya
sama. Tinggal pintar-pintarnya sang perempuan untuk memunculkan duri-durinya di
balik kecantikannya karena jika perutnya terlanjur membuncit, kan dia sendiri
yang paling kelihatan salahnya.
Jangankan Taufik
yang memang masih labil pemikirannya. Sekelas Pak Gubernur saja nyatanya pernah
juga ngajakin Mbak Dian berkencan gelap. Kalau begitu, sama berarti, kan.
Akh, semakin sebal
saja pada lelaki. Nggak di sini, nggak di sana, sama saja. Kalau sampai Arya,
jika kami memang dipertemukan lagi, juga begitu adanya, entah apa yang akan
kulakukan selanjutnya.
***
“Kau hanya belum
menemukan lelaki yang tepat saja,” kata Bisri, teman sekampus Santi yang
tiba-tiba saja SMS aku, “tidak semua laki-laki seperti yang kau sebutkan tadi,
Ras.”
Sebelumnya, kami
memang sempat ngobrol sejenak seputar lelaki dan wanita. Saat kubilang bahwa
aku benci laki-laki karena keegoisannya, komentarnya ya seperti itu.
“Semua lelaki itu
sama,” jawabku.
“Sama apanya?”
“Sama jahatnya!”
Aku memang sedang
sebal dengan laki-laki. Tak tahulah. Barangkali memang harus ditakdirkan jadi
jomblo seumur hidup jika aku terus-terusan benci seperti ini. Tapi, memang
tidak semudah itu membuka hati. Di saat ada segudang lelaki busuk yang
melingkari kehidupanku, aku jadi pesimis terhadap semua lelaki, bahkan termasuk
juga Arya untuk saat ini.
Oleh karena aku
sedang sebal pada lelaki, maka kumarahi saja Santi yang tega-teganya memberikan
nomor HP-ku pada si Bisri itu. Meskipun kata Santi dia itu lumayan baik tapi
aku tetap tak mau percaya begitu saja.
Iya, baik
awal-awal. Akhir-akhir, baru deh ketahuan belangnya. Zaman sekarang, para
wanita yang buncit perutnya sebelum ia menikah, kebanyakan, bukan lantaran
karena ia diperkosa oleh orang yang tidak dikenal, melainkan dihamili oleh
pacarnya sendiri. Itulah yang kutahu dan kupercayai!
Bagaimana mungkin
tidak manis-manis di awal sampai-sampai si wanita mau menyerahkan
keperawanannya dengan begitu ikhlasnya. Seolah-olah, dia sudah tak butuh
apa-apa lagi ketika sudah memiliki pacarnya itu. Baru tahulah jika ternyata,
para lelaki hanya bersenda gurau dan main-main belaka.
“Males aku kalau
diganggu sama Bisri terus,” keluhku pada Santi.
“Dicoba sajalah,
Ras,” jawabnya via telepon.
“Aku mau ganti
nomer saja kalau begitu.”
“Eh, ya jangan,”
cegah Santi, “okelah, beri dia kesempatan satu bulan, please, Ras!”
Entah dibayar
berapa itu Santi hingga mau-maunya dia diperalat temannya. Ya, mungkin aku
malah dijadikan alat agar si Bisri itu tidak mengejar-ngejar dia lagi, begitu.
Uh, tega sekali dia.
“Kenapa tak kau
ambil sendiri jika memang dia itu baik,” tanyaku jujur sekali. Aku tahu bahwa
niat Santi itu baik. Mungkin, dia mau melihatku tidak jomblo lagi. Tapi, tetap
saja aku tak suka jika dijodoh-jodohkan dengan lelaki asing, anak kuliahan
pula.
“Aku nggak sanggup
hidup dengan orang baik-baik, Ras,” jawab Santi, kedengarannya tulus sekali,
“kupikir, kamulah yang lebih layak untuk mendapatkan orang yang sebaik dia,”
jelasnya. “Kalian pasti akan saling nyambung karena sama-sama baik.”
“Kalau menurutnya?”
“Dia bilang, sama.
Ternyata, kamu itu tipenya banget.”
“Alasannya?”
“Karena kamu bisa
menjaga diri.”
“Dari mana dia tahu
kalau aku bisa jaga diri?”
“Karena kamu masih
perawan, Ras, ha..ha...”
“Jadi, kamu kasih
tahu dia kalau aku ini masih perawan?”
“He, he…iya.”
Baca juga: