Cerbung Episode 25…
Oleh Sofi Muhammad
Ketika kuadukan
masalah itu pada Mbak Dian, dia malah hanya menertawakan. Sempat sakit hati
sebenarnya karena Mbak Dian tak juga membelaku. Malahan, dia justru menganggap
wajar-wajar saja tindakan Mas Hadi itu.
Oleh karena tak ada
hasil yang memuaskan, maka aku memang harus sendirian melawan. Mas Hadi itu,
biar kumaki-maki saja dia. Seenaknya saja melanggar penjanjian yang telah kami
setujui sebelumnya. Memangnya, dikiranya apa aku ini?!
“Gitu aja
dibesar-besarkan, Ras,” komentar Mas Hadi ringan kala kumaki-maki ia sampai
hampir habis isi ludahku.
“Bagiku, itu
masalah besar,” jawabku ngotot. “Toh sudah jelas perjanjian kita di awal.”
“Iya, iya.”
Tapi, aku merasa
sangat tidak percaya dengan jawabannya yang terasa tak meyakinkan itu. Seolah
hanya sebutir nasi untuk mengganjal perut dalam sedetik. Sedetik kemudian,
yakinlah bahwa tak akan mampu lagi perut ini menahan kosong.
Dugaan yang
nyatanya benar-benar mampu kubuktikan kebenarannya. Tiga hari kemudian usai
kumaki dia habis-habisan, aku diberinya tamu gila lagi. Meski tak segendut yang
kemarin tapi aku tetap saja membencinya!
Lagi-lagi,
kutinggalkan Santi sendirian saja ketika tiga tamu yang datang berbarengan itu
mulai meminta disetelkan lagu dangdut koplo. Saat mereka sudah setengah mabuk
dengan masih menari-nari penuh birahi, menempel-nempelkan tubuhnya padaku juga
Santi, aku pura-pura sakit perut lagi.
Tidak sangat
pura-pura juga sebenarnya karena tiap kali mendapat rangsangan seksual semacam
itu, perutku memang mendadak serasa tak enak. Seolah-olah diaduk-aduk dengan
garpu dari dalam.
Setelahnya, bukan
main Mas Hadi gantian memarahiku. Menuduhku tak becus dan sok jual mahal.
“Memangnya, tarifmu
berapa, sih?” tanyanya dengan sepenuh amarah yang sudah merangsak di matanya.
Aku tak hendak
menjawab. Jika kuberi alasan pun pasti dia tak akan percaya. Baginya, alasan
apa pun yang aku keluarkan pasti terdengar konyol di pikirannya yang terlanjur
tercemar itu.
Sementara Santi, lady escort yang seruangan denganku,
yang sebelumnya hanya tertunduk diam di pojokan, mendengarkan makian Mas Hadi
padaku, kini ia mendekatiku. Ditepuknya bahuku beberapa kali.
“Kenapa?” tanyanya
bersahabat.
Aku masih hanya
diam sambil sesekali menghapus lelehan air mata oleh karena sakit hati.
“Buat apa
susah-sudah seperti itu?” tanyanya lagi.
“Aku nggak mau,
San.”
“La iya, kenapa?”
tanyanya masih bersahabat, “apa karena seseorang?”
Aku mengangguk.
Dia tersenyum
kecut. Katanya, “Kau beruntung, Ras. Setidaknya, kamu bisa merasakan cinta,”
ujarnya sambil merebahkan dirinya di sofa dalam Jasmine Room yang kini hanya
dihuni oleh kami berdua.
Aku mulai tertarik.
Santi itu, dia satu-satunya lady escort
yang tak pernah memaksaku minum rainbow
cocktail ketika kami pesta kecil-kecilan hanya untuk memperlihatkan
kematangan.
“Cinta monyet atau
serius?”
“Nggak tau,”
jawabku sambil mendengus pasrah.
“Kamu,” katanya, “setidaknya
masih memiliki kesempatan untuk mempertahankan keyakinanmu. Sementara aku,” dia
terdiam sejenak, “tak ada apa pun yang bisa kupertahankan, Ras.”
Aku kurang paham
dan semakin tertarik untuk mendengarkan curhatannya; kurapatkan dudukku semakin
mendekatinya.
“Ketika kelas lima
SD,” katanya mulai bercerita, “kakak lelakiku memperkosaku.”
Kukernyitkan kedua
alis mata dan masih mendengarkannya.
“Sejak saat itu,
Ras, aku merasa tak memiliki apa-apa lagi. Semuanya telah direnggut oleh si
Biadab itu. Aku sangat membencinya. Tapi saat itu, aku tak berani melawan
karena dia pasti akan memukulku saat orangtuaku tak ada di rumah.
Sejak kelas lima
SD, Ras, bayangkan!”
Hingga pada
akhirnya, dia mampus kelindes truk saat aku kelas 1 SMP. Dia mampus, Ras, dan
aku puas sekali saat itu! Seolah aku telah terbebas dari tiang gantungan. Tapi
setelahnya, setelah itu, Ras, aku begitu benci dengan laki-laki, benci
sekaligus jijik! Bagiku, semua laki-laki itu sama jahatnya. Ketika ada
seseorang yang berusaha mendekatiku untuk menyatakan perasaannya, aku justru
semakin membencinya!”
Menyedihkan sekali
hidupku ini, Ras. Kini, aku merasa bahwa tak ada sesuatu pun yang perlu
kupertahankan lagi. Aku sudah tak punya apa-apa, Ras. Bahkan cinta, aku selalu
iri, termasuk juga padamu yang masih bisa merasakan cinta. Hatiku mati, Ras,
mati benar rasanya hatiku ini!”
Tak hanya dia tapi
aku pun ikut menitikkan air mata. Santi, kubilang apa. Dia itu sebenarnya
memang baik. Tapi, siapa juga yang akan tahan menghadapi pemerkosaan. Jika aku
jadi dia, mungkin malah sudah bunuh diri sejak jauh-jauh hari. Dia bisa
bertahan sampai sejauh ini, bagiku sudah luar biasa.
“Kamu orang baik,
San,” kataku sambil masih memeluknya, “kamu pasti akan dapat orang baik juga.”
“Nggak bakal ada,
Ras,” jawabnya parau. “Kamu itu,” katanya sambil melepaskan pelukanku, “kamu
itu terlalu lugu jadi orang. Nggak bakal ada lelaki yang mau dengan wanita
semacam aku ini. Yang mereka inginkan hanya kepuasan sesaat. Tak pernah ada keinginan
untuk membahagiakanku seutuhnya.”
“Tapi…”
“Sudahlah. Jangan
berusaha menghiburku. Aku sudah terbiasa hidup seperti ini.”
“Kamu punya pacar
di kampus?” tanyaku karena memang si Santi ini anak kuliahan.
Jadi seorang lady escort sebenarnya juga untuk
membiayai kuliahnya sendiri sejak ia kabur dari rumah karena tak tahan dengan
ayah tirinya yang mencuri-curi masuk ke kamarnya tiap ibunya tak ada di rumah.
“Aku sekali pun,
tak pernah punya pacar.”
“Teman dekat?”
“Aku malas
berpura-pura tersenyum ramah pada mereka sedang hatiku ini hancur sekali
rasanya.”
“Kalau begitu,
maukah kau jadi temanku, San?”
“Ha, ha, pertanyaan
macam apa itu, Ras,” katanya setengah tersenyum –senyum yang teramat manis
sebenarnya. “Kau ini, benar-benar lugu banget jadi orang.”
Baca juga: