Cerbung Episode ke 27…
Oleh Sofi Muhammad
http://pendarbintang.wordpress.com/2010/10/16/ |
Usai kunjungannya
di malam itu, sikap Mas Hadi jadi lain. Beda sekali ia memperlakukanku. Ia jadi
lebih lembut dengan pandangan matanya yang menyiratkan perhatian begitu dalam.
Tak hanya aku ternyata,
tapi Santi pun juga menyadarinya. Seolah-olah, aku merasa bakal dijadikan objek
baru sebagai ganti dari Mbak Dian yang memang semakin susah ditemuinya. Iyakah
demikian?
“Beneran itu?”
tanya Santi begitu Mas Hadi selesai mengajakku bicara empat mata.
“Sumpah, dia ngajak
aku nonton!”
“La kamu mau?”
“Nggaklah.”
“Dia gimana?”
“Ya, mau gimana
lagi,” jawabku, “kukatakan saja kalau aku nggak enak sama Mbak Dian.”
Untung ada Mbak
Dian yang sedikit-banyak bisa kujadikan alasan. Tanpanya, barangkali aku takkan
punya alasan kuat untuk menolak. Mas Hadi itu tentu beda dengan Rio. Kutolak
mentah-mentah pun, Rio tak akan marah. Tapi, jika Mas Hadi kuperlakukan sejahat
aku memperlakukan Rio, maka ancamannya tentu saja pemecatan.
Meski bukan materi
yang aku cari tapi jujur saja, aku lumayan hidup saat bekerja. Dengannya, aku
memiliki lebih banyak link yang
membuat otakku benar-benar berfungsi dengan baik; berinteraksi, bercanda, apalagi
ketemu Santi yang sungguh mampu membuatku merasa sangat beruntung karena masih
sempat merasakan cinta.
Baiklah kalau
begitu. Aku rasa, takkan pernah ada pemerkosaan yang tentu saja akan berbuntut
pada liang penjara jika sampai Mas Hadi berani-berani melakukannya. Sekarang
ini, yang bisa kulakukan memang hanya bertahan, diam dan menunggu sampai akhir
bulan saja –nunggu gajian.
Meski lumayan
nyaman, tapi aku tak mau ambil risiko. Bisa saja Mas Hadi mendatangiku kala aku
mabuk berat, kan. Dalam keadaan yang tak sadar sama sekali, mungkin ia akan
membawaku ke salah satu hotel kemudian meniduriku. Mudah saja terjadi.
“Sekali-kali nggak
papalah,” balas Santi sedikit menggodaku.
“Nggak akan
pernah!,” tandasku. “Ntar kalau aku digerayangi, gimana?”
“Nikmati sajalah,
Ras, ha-ha-ha.”
“Huh, itu sih
maunya kamu!”
“Emang kamu beneran
nggak mau?”
Digerayangi lelaki,
siapa yang tidak mau. Hanya saja, tentu aku tak bisa jika harus hidup
sembarangan sebagaimana Santi. Meski tak secantik dan semulus, dia tapi aku
juga merasa berhak untuk memilih. Jijik sajalah jika aku harus bercinta dengan
lelaki yang sukanya gonta-ganti pasangan. Seolah-olah, ada begitu banyak
bekas-bekas dari wanita lain yang menempel lengket di sekujur tubuhnya.
“Ya, mau,” jawabku
dengan teramat sangat jujur, “tapi jelas nggak sama dia!”
***
Jalan yang kususuri
ini tak begitu ramai sebagaimana hari-hari biasa. Meski matahari sudah cukup
meninggi, tapi tak banyak pejalan kaki yang berlalu-lalang dengan berbagai
tujuan. Apalagi, kredit motor sekarang ini dipermudah. Alhasil, tak banyaklah
yang mau capek-capek mempekerjakan kakinya walau hanya sekadar menyusuri dua
ratus meteran untuk sampai ke gerbang kampus.
Meski terdengar
konyol tapi aku memang memberanikan diri benar-benar mencari Arya di UNDIP
bawah. Pikirku, barangkali dia sedikit lebih beruntung dari aku –masih bisa
kuliah. Tak ada salahnya pula jika kucoba mencari dia di sana.
Yang pertama kali aku
tuju adalah tempat parkir yang berada di samping pintu gerbang utama dekat
Simpang Lima. Kurang lebih dua jam aku telah duduk di sana. Menunggu, mengamati
kanan-kiri tapi memang hanya sia-sia saja hasilnya.
Sementara itu,
waktu telah menunjukkan pukul satu siang. Tentu saja aku tak bisa sebebas dulu
kala mencari Arya. Kerja, kini aku sudah punya tanggungan kerja!
“Harusnya kamu
kasih tahu aku kalau mau nyari Arya, Ras,” pinta Santi begitu kuberikan alasan
keterlambatanku.
Tentu saja hanya
pada dia kukatakan itu. Pada yang lain, aku bilang bahwa ban motorku bocor dan
harus menunggu karena ada orang lain yang terlebih dulu “kebanan” sebelum aku
datang.
“Emangnya kamu mau
ngapain ikut-ikut segala?!”
“Ya kan, aku mau
jadi saksi sejarah kalau kamu tiba-tiba saja ketemu dengannya.”
“Saksi sejarah, apaan
itu?” kataku. “Ada-ada saja kamu ini.”
“Emangnya, dia
seganteng apa sih?”
“Seganteng apa?”
tanyaku lebih kepada diriku sendiri. “Aku bahkan sudah hampir lupa dengan raut
wajahnya, San!” kataku lesu.
“Lha terus,”sambung
Santi, “bagaimana caranya kamu bisa mengenalinya?”
Bukan pertanyaannya
yang salah ketika aku tak bisa menjawab. Santi itu benar sekali. Apalagi, sudah
bertahun-tahun yang lalu. Tentu saja pasti akan ada perubahan fisik di dirinya
meski hanya sedikit saja.
Apa jangan-jangan,
aku memang sudah pernah bertemu tapi tidak sadar?
Hah.
Kubenamkan saja
wajahku di kedua telapak tangan. Kutekan-tekan otakku dengan tengkuk.
Tiba-tiba, semuanya jadi berat sekali. Kepalaku ini serasa sudah berganti jadi
lima puluh kilogram rasanya. Berat,
berat sekali rasanya!
“Ya, sudahlah, Ras,
tak perlu dipikirkan omongan ngawurku tadi,” kata Santi mencoba menghiburku,
“kamu pasti bisa mengenalinya, aku yakin sekali!”
“Tapi, aku takut
jika,” aku tak jadi meneruskan ucapanku yang hendak berkata bahwa aku takut
jika aku benar-benar tak mampu mengenalinya pada pandangan pertama. “Bagaimana
jika dia ternyata sudah melupakanku, San?”
“Aku yakin tidak!”
“Kenapa kamu bisa
seyakin itu?”
“Jika dia memang
sebaik yang kau ceritakan, tentu dia takkan pernah melupakanmu.”
Aku cukup tenang
begitu mendengar kata-kata Santi yang selalu saja mampu menghilangkan ribuan barbell yang sempat bergelayutan di
kepalaku. Rasanya, jadi sedikit agak ringan meski hanya dibantu dengan
kata-kata saja.
Pertemuan kami ini
sungguh-sungguh membuatku berucap syukur ribuan kali walau hanya dalam hati.
Dengan Santi, aku seolah mampu merasakan diriku menjadi manusia normal yang
biasa saja curhat masalah cowok kayak di film-film FTV yang sangat suka
kutonton itu.
Ah, jadi ingin nonton
TV lagi. Sayangnya, harus kerja. Jadinya, agak sibuklah akhir-akhir ini. Jika
dulu aku rutin nonton sambil masak atau nyapu, sekarang tidak bisa lagi. Tapi,
aku tidak boleh mengeluhkan itu karena meski kehilangan sesuatu, aku juga
mendapatkan sesuatu, banyak sekali sesuatu.
Bersambung
Episode 28…
Baca juga: