Cerbung Episode ke 24…
Baca juga:
Oleh Sofi Muhammad
Keringat dingin
mengucur deras mulai pelipis hingga seluruh bahu sebelah belakang. Sentuhan
tangan-tangan itu, aku benar-benar serasa tak sanggup. Ingin berteriak namun
kutahu bahwa itu akan mempermalukan diriku sendiri. Hingga yang terjadi
hanyalah diam saja mulutku ini seolah lumpuh tak mampu berkata-kata.
Di ruang tempatku
memandu lagu, sudah gerah sekali rasanya. Meski sudah ada AC yang dinyalakan
cukup rendah tapi tetap tak berpengaruh apa-apa. Tamu itu adalah tamu kedua di
hari ketujuhku bekerja. Badannya tinggi tegap dan berkumis agak tebal. Dia itu,
sungguh-sungguh mengingatkanku pada peristiwa yang terjadi beberapa tahun
silam.
Perawakannya yang
tinggi berotot dan berbulu cukup lebat pada setiap pergelangan tangannya
membuat pikiranku mengingat kembali si bebandot sialan yang biasa dipanggil Pak
Letnan oleh Mami.
Sebelum, tamuku di
Jasmine Room memang sesuai dengan yang kuharapkan. Beberapa pasang keluarga
dengan anak-anak yang sangat lucu pernah singgah beberapa kali. Sekadar untuk
mengakrabkan diri dan menjaga komunikasi, barangkali.
Kalau agak-agak
parahnya ya bisa juga beberapa pemuda namun dengan pasangannya masing-masing.
Lelaki-perempuan, mereka bisa bebas melakukan apa pun yang mereka mau bahkan
tanpa harus dipandu pun. Hingga aku merasa sangat senang sekali karena dapat
gaji utuh tanpa harus giat bekerja.
Tapi kini, di hari
ketujuhku bekerja ini, aku mulai menemukan awal dari ketidaksukaanku pada
pekerjaanku menjadi seorang lady escort.
Di pojok sebelah
kiri, kulihat Santi sedang menikmati belaian lelaki garang yang mengenai paha
putihnya yang semakin berkilauan tertimpa cahaya lampu. Sementara di pojok satunya,
ada aku yang semakin deras mengucurkan keringat dingin lantaran mendapati
belaian menjijikkan dari bebandot sialan yang mulai merayuku ini.
“Jangan malu-malu,
lah,” ujarnya penuh birahi sambil mendekatkan mulutnya yang berbau rokok ke
arah wajahku.
“Maaf, Pak,” kataku
seraya menepis pelan tangannya yang telah melingkari bahuku.
“Kok Pak, sih.
Panggil Mas saja,” katanya mencoba selembut yang dia mampu.
“Aku mau ke toilet
dulu, Pak, eh, Mas,” ucapku cepat dan segera keluar dari ruangan yang semakin
memanas itu.
Hanya alasan memang,
karena setelahnya, aku tak juga kembali masuk. Entah apa hukuman yang akan aku
terima nanti dari Mas Hadi jika tahu akan hal itu. Tapi, aku toh sudah
mempersiapkan batinku sedari dini. Dipecat pun, aku tidak peduli!
Kupikir, tak ada
seorang pun yang menyadari keluarnya aku dari ruangan itu. Selanjutnya, aku
hanya bisa bersembunyi di salah satu ruang yang jarang digunakan karena
setahuku memang gudang penyimpan barang-barang bekas.
Ceklek.
Ketika kubuka
pintunya yang tak pernah dikunci, kudapati se-set sofa agak tua yang sudah
tidak terpakai. Selain itu, ada juga sound
system yang telah patah kaki-kakinya. Sambil menunggu waktu keluarnya kedua
bebandot tua itu dari Jasmine Room, kurebahkan diriku di atas sofa tua.
Di sana, tiba-tiba
saja air mataku mengucur deras. Malang sekali nasibku ini. Kenapa pula hidup
harus ditakdirkan untuk menjadi budak lelaki biadab. Di mana pun tempatnya,
sejauh apa pun aku berlari, yang ada hanya para lelaki gila yang punya banyak
sekali harta. Dengannya, mereka bebas memperturutkan nafsu binatangnya.
Semakin lama,
semakin tak tertahan saja tangisku ini.
***
Kelelahan menangis,
tak sadar jika ternyata, aku pun ketiduran. Cukup lama karena pada dua jam
kemudian, ketika kulirik jam di layar HP, aku baru bangun. Mataku yang sembab
terasa agak panas oleh sisa-sisa air mata. Sambil kusapu bekas-bekasnya,
kuingat pula dengan Santi yang kutinggalkan sendiri di dalam sana tadi.
Apa kedua bebandot
itu sama-sama merayu Santi sebagai gantiku yang telah pergi? Lalu Santi, dia
pasti memarahiku habis-habisan. Mengata-ngataiku kacangan, tidak profesional,
menyebalkan!
Iyalah, terserah
kalian saja. Jika aku ini menyebalkan, tak apa. Menyebalkan atau tidak, apa
pula artinya. Sama-sama tak ada harganya. Sedari lahir pun aku sudah tidak
berharga. Apa gunanya lagi mengharapkan belas kasihan untuk sekadar dihargai.
Mati-matian
kupertahankan keperawananku tidaklah untuk dihargai. Hanya demi cintaku pada
Arya sajalah maka aku sampai mati akan berusaha. Jika pun ada yang menginginkannya
maka yang terpenting adalah aku ingin menyerahkan yang pertama untuk Arya;
sebagai ganti dari nyawanya yang ia pertaruhkan untukku yang tak berharga ini.
Entah cinta atau apa pun namanya, aku tidak peduli. Inginku hanya seperti itu
dan tak ada yang bisa memaksaku, memperkosa kebebasan yang satu-satunya masih
kumiliki ini.
“Santi di mana,
Mbak?” tanyaku pada Mbak Tia, resepsionis di Star Karaoke ini.
Sejenak, kupikir
enak juga jika jadi seperti Mbak Tia ini. Apa mentang-mentang dia hamil maka
langsung ditempatkan di resepsionis?! Setahuku, dulu pas pertama kali ke sini,
resepsionisnya cowok kok.
“Lanjut ke hotel
katanya, Ras,” jawabnya singkat.
Aku menghela nafas.
“Eh, la kamu kan
seruangannya to?” tanyanya menyadari sesuatu.
“Em, tadi aku
kebelet, Mbak. Mencret,” kilahku. “Malu aku bolak-balik ke toilet, Mbak.”
“Habis makan apa
sih memangnya?”
“Makan rujak
semalem.”
“Oalah…”
Lumayan aman
kayaknya. Mbak Tia sepertinya tak menyimpan kecurigaan apa pun dari tindakanku.
Maklum, baru sekali itu aku berbuat kurang ajar pada pelanggan. Jika ini sampai
terulang beberapa kali mungkin aku dapat SP, Surat Peringatan. Setelahnya, SP
lagi yakni Surat Pemecatan!
Akh, biarlah. Tapi,
aku memang tak boleh jadi pengangguran lagi. Beberapa hari belakangan ini, aku
memang cukup aman dari gangguan Rio yang saban detik bisa saja muncul di pelataran
rumah.
Setidaknya, aku ada
alasan lembur atau main ke mall dengan teman-teman baruku, teman kerjaku. Itu
juga yang menyenangkan, dapat teman. Meski hanya teman urakan tapi setidaknya aku punya. Tak terlalu sepah-sepah amat jadinya.
Seminggu ini, aku
bahkan tak pernah sempat melihat batang hidung Rio lagi. Ketika sesekali dia SMS, tinggal tak kubalas saja. Saat dia
telpon, tinggal tak kuangkat saja. Akh, mudah sekali rasanya.
Tapi, Mas Hadi
mulai main-main ini kayaknya. Padahal sudah sangat jelas kukatakan berkali-kali
dulu, kuwanti-wanti agar jangan
sampai aku dikasi tamu yang berpotensi untuk minta yang plus-plus. Tapi, dia
berkhianat, menghianatiku dari belakang. Awas saja kamu!
Baca juga: