Cerbung Episode ke 26…
Oleh Sofi Muhammad
Kumulai hari-hariku
menjadi seorang LE dengan enjoy lagi. Santi, ia yang telah kuceritai segalanya
tentang Arya, diam-diam mau membantuku. Sumpah mati! Hanya Santi, orang yang
baru beberapa minggu bertemu itu.
Sedangkan Mbak Dian
yang telah bertahun-tahun, tak sanggup aku berbagi mengenai apa pun tentang
Arya. Meski telah lama tinggal seatap tapi kami sungguh berbeda dalam menilai
laki-laki.
Santi, dia
sebenarnya juga sama membenci laki-laki sebagaimana Mbak Dian. Tapi,
setidaknya, ia tak menertawakanku kala kukatakan bahwa aku sangat mencintai
Arya. Bahkan, ia pun mendo’akan kebahagiaanku saat kuungkapkan keinginanku yang
sampai bermimpi menikah dengan Arya suatu saat nanti.
“Setiap orang
berhak memilih jalannya masing-masing, Ras,” begitu katanya.
Dengannya, aku
seolah menemukan seseorang yang paling bisa mengerti. Meski dari segi usia dia
masih lebih muda dariku beberapa bulan tapi bagiku, jalan pikirannya terkadang
sangat jauh melampaui kedewasaanku.
Barangkali karena
terlalu banyak pengalamannya tentang segala perihnya kehidupan ini. Hingga pada
akhirnya, ia begitu cepat beradaptasi; menjadi dewasa bahkan sebelum saatnya ia
dewasa.
Katanya, “Kalau ada
tamu ganjen, kamu boleh menghindar lagi. Ke toilet, gudang, atau pulang
sekalian!”
“Mas Hadi gimana?”
“Aku nggak akan
bilang-bilang, deh.”
Seolah sebuah
kebodohan besar apa yang dilakukannya itu. Dia lakukan apa pun demi membuatku
nyaman bekerja. Padahal, gaji toh tetap sama. Hanya agak sedikit berbeda, tentu
saja ketika ia mendapat bookingan
untuk lanjut ke hotel.
“Kamu itu orang
baik, Ras,” katanya sambil memandangku sayu. “Kamu berhak mendapatkan
kebahagiaan.”
“Kamu juga, San.”
“Aku nggak layak
bahagia. Aku, sudah kehilangan semuanya.”
“Kamu masih punya
aku, kan?!”
“Ha, ha, kamu itu…”
Aku senang jika
bisa membuatnya senang. Seoalah sudah sangat lama sekali kami saling kenal. Tak
tahulah bagaimana nasibku jika tak ada dia. Mungkin, aku sudah lama menyerah
jika tak ada dorongan kuat darinya. Selanjutnya, kami saling menguatkan.
Dalam malam ketika
aku tak juga bisa tidur, kuingant-ingat persahabatanku dengan Santi itu. Macam
apalah hubungan kami ini. Tiba-tiba saja, aku pun bisa menangis karena saking
bahagianya. Ini gila karena orang sepertiku ini bisa juga punya sahabat.
Sahabat, kau tahu, sahabat!
Keesokan harinya,
jika mataku sampai lebam akibat menangis saking bahagianya, Mbak Dian reflek
pasti bertanya.
“Kenapa matamu?”
Kujawab saja sambil
tersenyum, “Habis nonton film drama,” kataku, “mengharukan sekali, Mbak.”
“Kamu sensitive
banget jadi orang.”
“He, he,..asli dari
sononya, Mbak.”
Mbak Dian itu, dia
mungkin tak pernah merasakan memiliki seorang sahabat sekali pun dalam
hidupnya.
***
Langit telah gelap
gulita kala aku tiba di rumah. Berderet-deret lampu di sepanjang jalan gang
telah menyala terang. Membius siapa saja yang menatapnya sambil lalu; malam
begitu terang di kawasan Bandungan.
Banyak sekali
pengusaha kecil dan besar yang membuka tempat karaoke di sini. Selain itu, ada
juga hotel yang siap melayani dua puluh empat jam. Bisa dibilang, Bandungan,
setiap detik pasti siap melayani pelanggan.
Meski sedikit
berkelok-kelok dan kadang menanjak curam tapi komplek perumahan Mbak Dian
beruntung tidak berada di posisi buruk itu. Di sini pula, lumayan ramai oleh
sekian banyak rumah atau hotel baru yang berjajar rapi membungkus tepian jalan.
Oleh karena belum
berani pakai mobil, serta karena sempitnya juga parkiran di tempat kerjaku,
maka sehari-hari, kugunakan motor untuk pulang pergi. Dengan motor pula, aku
merasa bebas pergi ke mana pun dengan Santi usai kerja yang mana kita memang
ditempatkan di shift siang hingga sore. Malamnya, sejak persahabatan kami
terbentuk, kami sempat ke mall bareng dua kali.
Selain mall, Santi
pernah juga ngajak aku ke salon kecantikan untuk sekadar merapikan rambut, spa,
atau mandi susu. Katanya, “ini bisa semakin mencerahkan kulitmu, Ras.”
Memang agak capek
tapi aku menikmati. Selama aku bahagia, rasanya, capek dan pegal-pegal pun jadi
lupa. Hingga aku jadi ketagihan rasanya untuk bercapek-capek ria hanya berdua
saja dengan Santi itu.
Seperti halnya juga
malam ini.
Meski telah malam
pun, rupanya Mbak Dian belum pulang. Belum malam juga sebenarnya. Masih jam
Sembilan kurang seperempat. Saat rebahan menikmati empuknya sofa untuk
menenangkan punggungku yang pegal, seseorang mengetuk pintu.
Kuintip dari jendela
sebelum kubuka. Siapa tahu itu Rio dan pasti tak akan kubuka, apalagi sudah
malam begini.
“Mbak Dian belum
pulang, Mas,” kataku begitu kubukakan pintu.
“Aku nggak nyari
Dian,” katanya, “tapi nyari kamu.”
Deg!
Aku sedikit takut.
Apa jangan-jangan dia tahu kalau aku masih tak mau jadi lady yang plus-plus. Ingin memecatku? Akh tidak! Aku masih ingin
menikmati persahabatanku dengan Santi. Tak mungkin secepat ini kami harus
berpisah.
“Ada apa, ya?”
tanyaku buru-buru.
“Eh, masa aku tak
disuruh masuk.”
“Oh, iya, lupa.
Masuk dulu, Mas.”
“Soal pekerjaanmu,
Ras,” katanya usai kuambilkan sebotol minuman kaleng dari kulkas.
“Bagaimana lagi,
Mas?” tanyaku menyelidik.
“Kita santai saja,”
katanya mungkin karena melihat ketegangan di wajahku. “Penolakanmu itu, bukan
karena kamu masih virgin, kan?” tanyanya to
the point. “Terbuka saja sama aku, nggak papa, Ras.”
Aku agak malu
hingga tak sanggup menjawab. Selain itu, agak curiga juga sebenarnya; untuk apa
dia tanya-tanya. Apa ini untuk pekerjaan atau untuk dia pribadi. Akh, bingung
lagi!
“Jadi benar, kamu
masih virgin?”
Baca juga: