Cerbung Edisi 28…
Oleh Sofi Muhammad
Dari pada harus
pergi dengan Mas Hadi, kupikir akan sedikit lebih baik jika aku pergi saja
dengan Rio. Pada malam usai pulang dari kerja, Mas Hadi datang lagi ke rumah.
Jelas sekali bahwa ia pasti sudah konfirmasi dulu pada Mbak Dian, dia sedang di
rumah apa tidak.
Ya, ini dugaanku
saja. Ketika Mbak Dian bilang tak di rumah maka ia cepat-cepat menjengukku.
Lagi, tawaran untuk mengajakku ke bioskop itu muncul lagi. Sementara itu, aku
sangat kebingungan mencari alasan yang tepat untuk menolaknya.
“Aku sedang mau
pergi, Mas,” jawabku sekenanya.
“Ke mana?”
“Adalah.”
“Tak anterin kalau
gitu.”
“Aku sama temen,
kok.”
“Siapa, Santi?”
tanyanya, “temenmu kan ya cuma Santi, to.”
“Nggak,” jawabku,
“sama yang lainlah.”
Seketika itu pula,
tanganku otomatis mengirim SMS ke
nomor Rio. Kuajak saja ia pergi malam ini. Meski agak rawan tapi jujur saja
bahwa aku sedikit lebih nyaman dengannya. Biar bagaimana pun, aku telah cukup
lama mengenal Rio. Sedikit banyak, tahulah aku cara untuk menundukkannya meski
hanya sedikit saja.
Tak berapa lama
kemudian, Rio benar-benar datang. Baru di detik itulah aku begitu merasa sangat
bersyukur telah ditakdirkan untuk bertetanggaan dengannya. Meski sama-sama playboy tapi Rio tak pernah coba-coba
untuk menduakanku dengan Mbak Dian, satu-satunya saudara yang aku punyai.
Meski berselisih
dua tahun lebih muda dari Mbak Dian tapi tentu tak akan menuai masalah jika
sudah sama-sama suka. Sedangkan Rio, oleh karena ia tak menyukai saudaraku
makanya aku tak terlalu takut.
Bahaya tentu saja
jika aku sampai mau diajak jalan si Hadi itu. Bisa-bisa, Mbak Dian malah
berubah jadi kejam kemudian mengusirku. Demi nyawaku, aku tak mau kalau itu
sampai terjadi. Lebih baik mati sekalian dari pada aku harus diusir oleh
satu-satunya anggota keluarga yang masih tersisa.
“Eh, itu temanku
sudah datang,” kataku kala Rio telah masuk. Pintu memang sengaja tak kukunci
tadi. Bahkan, kubiarkan sedikit terbuka agar hatiku ini merasa aman.
Mata Mas Hadi jadi
melotot sedikit geram. Entah apalah yang ada di pikirannya. Mungkin, dia kaget
karena setahunya aku ini jomlo. Tapi, begitu melihat Rio, dia pasti salah
sangka.
Alah, biarlah! Aku
malah sangat suka jika dia sampai mengira bahwa Rio adalah pacarku. Biar
berhenti saja sekalian. Toh masih banyak LE
lain yang jauh lebih baru dan lebih segar dari pada aku. Kenapa pula harus
coba-coba menggodaku.
Tak lupa,
kuperkenalkan juga mereka berdua.
“Ini Rio,” kataku
menunjuknya, “Rio, ini Mas Hadi, pacarnya Mbak Dian,” biar jelas saja sekalian.
Siapa tahu dia lupa kalau dia itu masih miliknya Mbak Dian.
“Rio, Mas,” kata
Rio ramah sambil mengulurkan tangannya.
Pas dia lewat di
depanku untuk mendekati Mas Hadi itu, huah, wangi sekali parfumnya. Sepertinya,
dia juga sempat dandan tadi. Kok, aku jadi merasa bersalah benget yah. Jika
kuberitahu yang sebenarnya, dia pasti sangat marah dan tentu saja, kecewa.
“Em, ya sudah kalau
begitu,” kata Mas Hadi, “karena Mbak Dian nggak di rumah ya aku pulang saja.”
***
“Kita mau ke mana,
nih, Ras?” tanya Rio begitu Mas Hadi sudah pulang.
“Nggak ke
mana-mana,” jawabku sambil senyum-senyum kemaluan.
“Katanya mau ngajak
pergi, gimana, sih,” keluhnya benar-benar kecewa, “udah wangi, nih. Pake minyak
sebotol juga.”
“Ha, ha, ya maap.
Aku cuma mau ngusir orang yang tadi kok.”
“Loh, kenapa?
Emangnya, dia mau ngajak kamu selingkuh? Pacarnya Mbak Dian, kan?”
“Kelihatannya sih
begitu.”
Sejenak, kami hanya
terduduk manis di beranda. Usai mengantar kepulangan Mas Hadi, aku memang
sengaja langsung duduk di teras. Ada dua kursi dengan satu meja kecil di
tengahnya. Pas keluar tadi, aku sengaja juga bawa dua kaleng minuman bersoda.
Ya, jaga-jagalah agar si Rio itu tak berdalih meminta minum agar aku masuk rumah
lalu ia membuntut di belakang.
Sambil terdiam,
kulihat-lihat layar HP-ku. Di sana, jam menunjukkan pukul delapan malam. Belum
larut juga sebenarnya. Melihat langit yang lumayan cerah oleh karena dipenuhi
sejumlah bintang yang tak terhitung, juga melihati Rio yang telah rapi, aku
jadi tergoda untuk pergi.
“Sia-sia nanti
parfumku, Ras,” katanya lagi.
“Tak ganti besok
kalau aku sudah gajian.”
“Boleh, boleh,”
jawabnya tak tahu malu benar, “jadi, malam ini, kita cuma ngobrol-ngobrol saja,
nih?” tanyanya. “Nggak serulah, Ras!”
“Ya kalau keberatan
ya pulang saja, nggak papa.”
“Nggak mau, aku
maunya, kita ngobrol tapi di dalam, Ras. Di luar dingin.”
Dadaku mulai
berdesir. Nafsu itu, kurasa memang tak hanya muncul atas nama suka sama suka
saja. Bahkan dari orang yang sangat dibenci pun nyatanya bisa juga datang. Apalagi,
Rio sudah tak terlalu menyebalkan akhir-akhir ini. Melihatnya yang sedemikian
modis dengan jaket hitam yang sedikit merah di kerah dan lengan, dia sungguh
sangat terlihat tampan.
“Kita, ke kamarmu
lagi,” katanya yang semakin membuat perutku terasa diaduk-aduk hebat sekali,
“melanjutkan yang kemarin itu, Ras,” tambahnya dengan memperhalus ucapannya.
Ah, diriku ini,
untung ada meja di tengah hingga dia tak seratus persen mampu duduk berdekatan
sampai menyentuh kulitku. Jika sampai itu terjadi, jika sampai ada sentuhan
sedikit saja, maka yakin sekali bahwa aku ini pastilah sudah tak bisa berbuat
apa-apa. Sentuhannya itu, laksana racun ganas yang kuyakin akan mampu
melumpuhkanku hanya dalam sekali usap.
“Ayolah, Ras,”
pintanya lagi, “aku udah horny, nih,”
katanya sambil meletakkan tangannya di selangkangannya sendiri.
Meski baru sekali
itu mendengar kata horny itu tapi aku
seolah sudah dekat sekali dengannya. Kira-kira, tahulah aku apa yang dia
maksud. Dan itu, sungguh-sungguh membuatku, kurang lebih, samalah dengan yang
sedang dirasakannya.
“Ya, kita, nggak
usah ML, deh,” pintanya semakin
merujuk, “kissing-kissing aja,” oh,
dia sungguh mati-matian berusaha hingga membuatku semakin melemah.
“Janji, nggak ML?” tanyaku mulai menyerah.
“Janji!”
“Ya sudah kalau
begitu, tapi janji lho!”
“Sumpah, nggak
sampai ML, Ras. Aku bisa menahan
diri. Yakin, deh sama aku.”
“Ayo, masuk!”
Bersambung Episode 29….
Baca juga: