Cerbung Episode 23…
Baca juga:
Oleh Sofi Muhammad
jepang.net |
Mas Hadi
menempatkanku pada jam dua siang hingga tujuh malam sesuai dengan keinginanku.
Lagi pula, aku tak langsung dimasukkan dalam VVIP room karena memang masih baru. Menjadi seorang lady escort nyatanya juga butuh
profesionalitas yang tidak main-main.
Untuk sementara
ini, kata Mas Hadi, yang kulayani adalah para keluarga yang demen berkaraoke.
Pada jam-jam segitu biasanya memang jam-jam istirahat yang cukup marak
digunakan untuk berkaraoke dengan keluarga.Tentu saja jauh berbeda dengan jam
kelas atas; maksudnya, kelas di atas jam anak-anak melek malam.
Khusus untuk yang
satu itu, memang sudah kukatakan jauh-jauh hari pada Mas Hadi bahwa aku tak mau
yang plus-plus. Tak apalah jika gajiku tak banyak. Toh tanpa itu, Mbak Dian
masih bersedia menyuplaiku.
Keputusanku hingga
aku mau jadi pemandu lagu tidak lain hanya karena untuk mencari kesibukan saja.
Seharian di rumah, aku takut jika semakin mempermudah pencuri kecil semacam Rio
itu memanfaatkan kesempatan.
“Tapi,” ucap Mas
Hadi ketika aku hanya bicara berdua saja dengannya tanpa ada Mbak Dian, “kalau
suatu saat kamu berubah pikiran, langsung ngomong saja sama aku,” katanya
dengan mata penuh birahi yang teramat membuatku tak tenang. “Jangan malu-malu,
ya!” tambahnya.
Dia itu, entah apa
tujuannya hingga mau-maunya –menurutku— malah kaya jadi kacungnya Mbak Dian.
Aku sangat yakin pasti bukan karena alasan suka, apalagi cinta. Toh di tempat
karaokenya, pasti sangat banyak lady-lady
yang mau dipegang-pegang sama dia. Sampai sejauh ini, aku tak paham dengan
hubungan mereka berdua itu.
Bagiku, jika
benar-benar karena cinta, apalagi keduanya sudah berpenghasilan, kenapa tidak
menikah saja. Okelah, jika menikah, tentu Mbak Dian mungkin tak bisa bekerja
lagi. Tapi, kan Mas Hadi sudah ada penghasilan dari tempat karaokenya yang
selalu diburu pelanggan dari segala usia itu.
“Itu, seragamnya,
minta sama Mbak Tia,” kata Mas Hadi sambil menunjuk ke pojok tempat di mana
seorang wanita bernama Mbak Tia itu berada.
Mbak Tia
melambaikan tangan ke arahku. Aku pun mendekat secara otomatis. Segera kutagih
seragam yang dijanjikan itu dengan isyarat mataku.
“S apa M?” tanya
Mbak Tia.
“Biasanya M, Mbak.”
Lalu, diambilkanlah
aku sebagaimana ukuran yang kuminta. Tapi, seketika itu juga ditahan tangannya
sebelum mampu kusentuh seperangkat seragam pink yang masih bersih terbungkus
plastik transparan.
“Kamu kayaknya S,
deh,” kata Mbak Tia.
Tanpa meminta
persetujuan, dia langsung saja mengambilkanku seragam berukuran S meski kutahu
pasti sangat maksa nantinya. Memang dasar, semua yang di tempat karaoke ini,
kurang lebih sama.
Berarti memang
harus kuat-kuatan bertahan. Tidak sekarang mungkin besok-besok aku akan
ikut-ikutan. Apa tidak usah saja sekalian, ya?
“Ganti di toilet
situ, ya,” ucap Mbak Tia sambil menunjuk arah toilet yang dia maksud. “Sudah
jam setengah dua. Kamu harus standby,”
tambahnya.
Usai berganti
seragam pink dengan kerah yang sedikit menurun dengan rok mini lima belas centi
di atas lutut, kumasuki Jasmine Room di paling ujung dekat pintu masuk.
Tidak sendirian aku
rupanya, karena di dalam sudah ada satu rekanku yang belum kuketahui namanya.
Ketika dia tersenyum, kubalas pula dengan senyum kemudian kusodorkan tangan,
“Laras,” kataku.
“Santi.”
Jika kutaksir, wanita
dengan tubuh lencir kuning berambut
sebahu itu sepertinya berusia sekitar dua puluhan, sama sepertiku juga. Tapi,
dia sudah terlihat sangat berpengalaman sekali. Tak terlihat sedikit pun gurat
ketakutan sebagaimana yang kurasakan kini.
Takut pada apa?
Banyak sekali,
kawan! Mulai dari, tentu saja, jika kedatangan pelanggan lelaki hidung belang
yang minta dilayani plus-plus sampai bagaimana jika aku tak mampu menolaknya
nanti. Padahal, sedikit-sedikit, aku juga harus menemani minum jika sang tamu menuangkan
wiski di gelasku. Agaknya, karaoke yang murni karaoke kok ya bukan di sini
tempatnya.
“Tak usah grogi
gitu,” kata Santi dengan wajah bersahabatnya yang memang sedikit mampu
menenangkanku.
“Ah, kelihatan
benget, ya,” ucapku tanpa basa-basi, “jadi malu aku, ha..ha...”
“Pertama masuk
sini, aku juga kikuk kaya kamu banget.”
“Oh ya?”
“Em, kamu, dibawa
siapa ke sininya?”
“Mas Hadi.”
“Dia pacarmu?”
“Pacarnya Mbakku.”
“Yang mana itu?”
“Memang ada berapa
pacarnya?”
“Yang jelas, lebih
dari satu.”
“Kamu juga salah
satunya, pasti.”
“Nggaklah. Aku
tentu tak masuk kriteria. Seleranya tinggi banget.”
“Wajar sih,
ngganteng.”
“Wah,
jangan-jangan, kamu naksir juga.”
“Nggaklah.”
“Eh, la tadi,
Mbakmu, siapa namanya?”
“Mbak Dian.”
“Mbak Dian?!”
“Kenal?”
“Sedikit.”
Tapi, seolah ada
sesuatu yang disembunyikan. Mungkin saja kenal banget dengan Mbak Dian tapi
pura-pura tak kenal. Masa iya, pacar dari pemilik karaoke ini pada nggak kenal.
Apa benar-benar saking banyaknya pacar Mas Hadi ya?!
Jadi kelingan Mbak Dian. Meski ia berumur
lima tahun lebih tua dariku tapi tak tampak jelas perbedaan itu. Sedari dulu
saat kami masih sama-sama di rumah Mami, sepertinya, wajahnya ya begitu-begitu
saja, tetap cantik, tetap muda, segar, dan menggairahkan.
Mungkin, itu juga kali
ya yang membuat Mas Hadi jadi betah berpacaran dengan Mbak Dian. Meski
jelas-jelas telah tahu bagaimana keadaannya tapi seolah tak ada tuntutan
apa-apa dari mereka berdua. Sangat heran juga, terbuat dari apa hati mereka
itu.
Apa mungkin karena
sama-sama ingin bebas menikmati kepuasan di tempat lain maka tak memilih untuk
benar-benar terikat. Dengan begitu tentu saja masih bebas untuk lirak-lirik
sana-sini sesuka hati. Akh, tiba-tiba saja, aku malah teringat dengan pandangan
mata penuh birahinya Mas Hadi ketika ia menawariku yang plus-plus tadi.
Baca juga: