Cerbung
Episode ke 19…
Oleh Sofi Muhammad
Benar saja bahwa
selamanya, penjilat itu tak pernah bisa menolong tanpa pamrih. Di luar, dia
seolah setia dan siap menemaniku ke mana pun aku mau. Begitu ada kesempatan
untuk menjahati, maka ia tak tanggung-tanggung lagi melakoninya.
Kesempatan baik itu
terjadi sebulan berikutnya kala Mbak Dian pergi lagi ke luar kota. Entah untuk
bagian kota yang mana kali itu. Yang jelas, seminggu kemudian, katanya, ia baru
bisa pulang.
Rio yang kebetulan
sedang main ke rumah juga sempat mendengar pamitan Mbak Dian itu, langsung
terlihat cerah wajahnya. Sementara wajahku, kutahu sangatlah jauh lebih muram
dari yang sebelum-sebelumnya.
Tak tahu kenapa
tapi firasatku sangat buruk. Baru terasalah sebetapa takutnya aku di rumah
sendirian kala itu. Sementara, jika harus meminta tolong, kurasa tak ada
tetangga yang mau peduli. Sudah sedari jauh-jauh hari, hanya Rio, tetanggaku
satu-satunya yang peduli, selain Pak RT yang tiap bulan minta bagian.
“Cuma tinggal kita
berdua, Ras,” kata Rio sambil merapatkan tubuhnya ke arahku yang setengah
meringkuk di sofa depan TV.
“Lha terus kenapa
emang kalau cuma berdua?”
“Jangan munafiklah,”
katanya yang semakin menghapus jarak di antara kami, “kamu juga pasti pingin
sebenarnya.”
“Gila, kamu!”
Kudorong saja
tubuhnya hingga terjatuh di lantai. Seketika itu juga, aku beranjak dan menuju
kamar. Tapi, belum sempat kupegang daun pintu, Rio telah terlebih dahulu
mendapatkan tanganku.
“Mau ke kamar?”
tanyanya penuh birahi, “ayo!”
Kemudian, dia seret
tanganku selayaknya anjing yang hendak dipukuli tuannya karena kedapatan
mencuri sepotong daging di kulkas.
“Sakit, tau!”
kukibaskan tanganku namun tak banyak membantu. Genggamannya terlampau kuat
hingga membentuk lebam merah di pergelangan tangan kananku.
“Makanya, jadi
cewek itu jangan kasar-kasar,” katanya, “aku juga bisa main lembut kalau kamu
tidak sok seperti itu!”
Rio semakin
menggila. Dilemparkannya tubuhku di atas kasur di kamarku. Sementara itu, daun
pintu yang terbuka, masih tetap menjadi incaranku. Sayang sekali memang, karena
tak satu pun aku punya tetangga yang mau peduli dengan teriakanku.
Dalam keadaan
setengah menggila, ia sudah bermaksud untuk membuka resleting celananya. Pada
jeda yang singkat itu, kugunakan sekuat tenagaku untuk segera berlari menuju
arah pintu.
Sialnya, kakiku
terpeleset seprai yang berhamburan hingga akhirnya, ia mampu memangkapku lagi.
Tapi, aku tetap berontak.
“Kenapa, Laras?”
tanyanya marah. “Apa gara-gara si Arya itu?” tanyanya dengan memelukku sangat
erat hingga aku kesulitan untuk bernafas.
Aku tak hendak
menjawab. Satu-satunya yang ada di pikiranku adalah bagaimana caranya agar bisa
lari.
“Apa hebatnya dia
dibanding aku?” tanyanya sambil menciumi leherku.
“Lepasin aku, Rio!”
“Nggak akan
pernah!”
Aku kembali dibenamkannya
di atas kasur. Cepat sekali gerakan tangannya yang membuka celana saat itu
hingga aku tak ada kesempatan kedua untuk berlari selayaknya tadi. Dasar sial!
Ada-ada saja seprai sialan itu!
Aku seperti sudah
di ujung tanduk. Tak hanya terlalu lemah menghadapi kekuatan tangan Rio, tapi
juga menghadapi rangsangan kelelakiannya yang mulai memengaruhiku. Sedikit saja
sentuhan, aku seolah menjadi lemah dan semakin kehilangan tenaga untuk bisa
memberontak.
Ketika bibirnya
mulai mendapatkan bibirku, aku semakin melemah. Hendak tercebur juga dalam hisapannya
yang semakin dalam. Juga ketika tangannya mulai menggerayangi bagian-bagian
sensitifku, aku serasa mau untuk menyerahkan apa pun yang dimintanya pada saat
itu juga.
Tak hanya dia, tapi
aku juga menikmati. Bibir beraroma strawberry itu kini hendak kulahap sampai
habis. Ketika ia berencana untuk melepas, aku jadi tak rela. Kuraih kembali dan
tak kubiarkan ia pergi ke mana-mana lagi.
“Aku belum pakai
kondom, Ras,” katanya yang segera menghentikan semua gerakannya dengan sangat
tiba-tiba.
“Kondom?”
“Kamu punya?”
Ah, gila! Aku
benar-benar sudah gila. Hampir saja. Untung Rio segera mengingatkan. Jika
tidak, sudah habislah aku siang itu juga. Kesadaranku bahkan sudah di luar
kepala. Hilang entah kesambet setan apa.
“Ada di kamar Mbak
Dian,” jawabku, “tak ambil dulu, ya?!”
“Jangan lama-lama.”
Kutinggalkan Rio
sendirian di dalam kamar sementara aku keluar. Aku memang tahu di mana biasanya
Mbak Dian menyimpan kondom-kondomnya. Tak selamanya di kamar sih. Terkadang malah
cuma di laci dapur.
Tak ada rahasia di antara
aku dan Mbak Dian. Meski begitu, sekali pun ia tak pernah menyuruhku untuk
ikut-ikutan. Tak ada keinginan sedikit pun baginya untuk mengatur hidupku
sebagaimana saat aku di rumah Mami dulu.
Tapi, aku tak
sedang hendak ke dapur. Juga tak hendak memeriksa lacinya. Yang kubutuhkan
hanyalah kunci.
Begitu keluar
kamar, kurapikan dahulu tiga kancing baju yang telah sempat dibuka Rio tadi.
Usai kurapikan rambut sekenanya, kukembalikan ekspresi wajah sebiasa mungkin,
aku kembali mencari kunci.
Di atas meja tidak
ada. Di atas TV, bergelantungan di pintu juga tidak ketemu. Lantas di mana?
Sementara pintu itu sedang tertutup. Apa salahnya jika dicoba. Kudekati ia yang
mungkin saja sedang tak dikunci.
Ternyata benar.
Bahkan kunci yang kucari pun malah bergelantungan di luar rumah. Lupa belum
kuambil sejak tadi sehabis mengantar Mbak Dian ke bandara Ahmad Yani. Begitu
masuk gerbang, Rio sudah menunggu di teras dan segera menyusulku masuk saat aku
membuka pintu.
Setelahnya, ia
langsung PW di depan TV bahkan
sebelum kupersilakan juga. Lagi-lagi, tanpa kusuruh, ia telah menganggap rumah
Mbak Dian ini selayaknya rumah sendiri. Tak ada yang bisa kulakukan selain
pasrah dengan mengusirnya sebisaku.
Kini, beruntung aku
segera teringat sebelum Rio benar-benar berhasil mengambil keperawananku.
Kubiarkan sampai mampus ia menunggu di kamar. Toh aku sangat yakin tak akan ada
barang berhargaku yang akan dicurinya.
Sambil tersenyum
puas, aku ke luar rumah dengan tenang. Di bayanganku, muncul kata-kata Rio yang
pasti mengumpatku begitu ia sadar telah kutinggal; dasar perempuan sial!
Ha, ha…
Baca juga: