Cerbung
Episode ke 11.....
Baca juga:
Oleh Sofi Muhammad
besmilelah.wordpress.com |
Ketika Mbak Dian
akhirnya pulang, aku kembali tenang. Sesekali, kami menghabiskan sejenak
waktunya untuk bermain poker. Corat-coretlah semua muka kami dengan lipstik
merah membaranya Mbak Dian.
Tapi, aku tak suka
jika Rio datang. Selalu saja ada modus-modus yang coba ia tawarkan; pura-pura
ikutan mainlah. Kemudian, sesekali waktu, bahkan berkali-kali waktu, dia pasti
akan mencuri-curi pandang ke arahku.
Aku tahu bahwa Mbak
Dian tahu. Namun, ia tak pernah mau tahu. Selanjutnya tentu terserah aku.
“Aku kebelet, nih,”
ucap Mbak Dian yang segera beranjak menuju ke toilet.
“Oh, iya, iya Mbak.”
Aku tak suka lagi.
Tak ada hal menarik yang hendak kuperbincangkan jika hanya berdua saja dengan
Rio. Sementara itu, sembari menunggu Mbak Dian kembali, tanganku hanya kubiarkan
mengocok-ngocok kartu yang masih berada di tanganku.
“Mbak Dian pulang
kapan?” tanya Rio memecah lamunanku.
“Tadi malam.”
“Sini, biar aku
yang ngocok ganti.”
Diambilnya begitu
saja. Sedang kedua tanganku pun tak hendak melawan. Meski sejenak, sempat juga
kuamati setiap gerak-geriknya. Mencuri pandang pada si mata elang itu,
sebenarnya aku lumayan suka. Apalagi ketika harus menikmati hidung mancung
serta bibir manisnya.
Hanya saja, aku
tahu bahwa dia terlalu memiliki banyak mangsa. Tak ragu-ragu, dia sendiri
bahkan yang bercerita. Di tahun pertamanya masuk kuliah, ia sudah dua kali
berganti pacar.
Jika semudah itu ia
mendapatkan wanita, maka aku berhak lebih bingung lagi kenapa dia masih juga
tertarik untuk mempermainkanku. Kupikir, pasti banyak juga yang mau diajaknya
bercinta ketika mereka hanya berdua.
Teman-teman
sekuliahannya itu, kalau ia bercerita, sudah pada familiarlah dengan yang
namanya kondom. Ketika ia pada suatu hari keluar dengan salah satu teman
lelakinya, dia malah dibekali satu.
“Apaan, nih?”
“Buat jaga-jaga,”
kata temannya itu.
Selanjutnya, Rio kini
menyediakan sendiri. Berhubung ada begitu banyak kenalan, otomatis saja
serentetan wanita itu datang. Datang bak lautan garam yang tak habis termakan
siang.
“Kamu udah pernah
lihat kondom, Ras?”
“Pernah.”
“Di mana?”
“Mbak Dian punya
banyak.”
“Oh.”
Ketika berhadapan
dengan Rio itu, pikiranku pun ikut kacau. Jika tujuannya adalah untuk merayuku,
kenapa pula harus dicampur dengan bumbu kepamerannya yang mudah tergila-gila
dengan wanita. Tak masuk akal jadinya.
Jika benar ia
hendak berselingkuh, tentu saja lebih aman bilang tak punya pacar. Atau, memang
benar-benar sudah tak dianggapnya manusia aku ini. Ia begitu saja mengumbar
penilaiannya terhadapku, juga terhadap beberapa wanita yang telah sempat
ditidurinya.
“Nikmat banget deh,
Ras.”
Aku tak berusaha
berkomentar.
“Kamu gak pingin
nyoba?”
Aku masih hanya
diam sambil membatin; pingin, tapi bukan sama kamu!
Lagian, aku malah
benar-benar semakin muak manakala, lagi-lagi, ia bercerita mengenai seksnya
dengan para wanita!
***
Mbak Dian baru
selesai mandi kala aku masih menggoreng ayam di dapur. Rambutnya yang basah itu
telah ia gosok dengan handuk kecil namun belum kering. Sambil mencari angin, ia
mendekatiku.
“Bagaimana
jadinya?”
“Apanya, Mbak?”
“Kamu,” katanya,
“dengan anaknya Pak Somad itu.”
“Ah, dia itu cuma
iseng,” jawabku, “males aku.”
Usai melempar
senyum, Mbak Dian langsung menuju teras. Di sana, kulihat dari jendela bahwa ia
tengah membolak-balik beberapa daun bunga-bungaan miliknya. Sejenak kemudian,
ia memasuki dapur lagi yang memang terletak di sebelah barat teras.
“Ras,” katanya,
“besok beli bunga lagi, yuk!”
“Bunga apa lagi,
Mbak?”
“Apa saja,”
jawabnya, “kita muter-muter pasar saja dulu.”
“Okelah.”
Hingga tiba pada
‘besok’ yang kami maksud, Mbak Dian pagi-pagi sekali membatalkan. Seorang
menteri hendak mengencaninya pada besok itu juga. Katanya, tak bisa ditunda
lagi karena Pak Menteri sudah harus balik ke Jakarta lusa.
Menolak sih bisa
saja tapi Mbak Dian tidak mau. Tak heran jika rekeningnya cepat sekali melonjak
lantaran ia memang seorang pekerja keras. Suatu malam, aku pernah dipamerinya
kala ia sedang ada waktu untuk berbagi.
Kesalahan
terbesarku adalah selalu menghujati pekerjaan Mbak Dian di belakang layar. Memaki
kemudian masih juga kunikmati sehari-hari. Dan itu, sungguh-sungguh membuatku
merasa benar-benar menjadi seorang penjilat!
“Tak suruh Rio
ngantar, ya?”
“Nggak, ah, Mbak.
Mendingan nggak usah.”
“Kenapa sih?”
“Males aku kalau
sama si playboy itu.”
“Ah, kamu itu.”
“Besok-besok saja
kalau Mbak sudah sempat.”
Bukan lantaran
males dengan Rio sebenarnya. Hanya saja, aku merasa butuh sangat banyak waktu
untuk menikmati kebersamaanku dengan Mbak Dian. Pergi dengannya seolah mampu
menambah rasa kepercayaan diriku. Setiap kali berjalan, tak ada yang
mengalihkan pandangan, menghindar untuk tidak menatap kami. Iya, menatap Mbak
Dian maksudku.
Benar-benar
kutunggu akhirnya. Sehari, dua hari, seminggu, hingga beberapa bulan lamanya,
Mbak Dian belum juga ada waktu. Hingga telah lewat tiga bulan pun, kami belum
juga jadi muter-muter di pasar bunga.
Baca juga: