Cerbung Episode ke 22…
Oleh Sofi Muhammad
Langit sedikit
berasap oleh gumpalan sisa-sisa kotoran dari moncong pabrik. Di sebelah Timur
Semarang, banyak pabrik yang demikian gencar menelurkan panjahat hitam.
Sesekali, aku terbatuk. Bukan lantaran asap pabrik melainkan asap rokok yang
merangsang masuk ke lubang hidung.
Perjalananku kali
ini tak naik taksi. Usai menumpang mobil Mbak Dian sampai halte, aku langsung
naik metromini. Sekarang, giliran kunaiki bus Semarang-Juwangi yang tentu saja
memang sempat melewati gang rumah Mami tadi.
Setelah beberapa
tahun, aku kini tak terlalu takut. Barangkali memang dendam itu masih ada dan
Mami masih berkeinginan untuk membuat perhitungan jika kami sampai bertemu
lagi. Tapi, sekarang aku tak akanlah seperti kanak-kanak lagi.
Yang aku takutkan
hanyalah ajudannya yang berotot kawat
balung wesi itu. Meski begitu, seolah kini ada beberapa kekuatan yang bisa
kuandalkan; Mbak Dian beserta pacarnya, juga, iya, tak bisa kutinggalkan, Rio.
Biar bagaimana pun,
Rio pasti juga bisa kuandalkan andai terjadi sesuatu denganku akibat ulah Mami.
Sebrengsek-brengseknya dia, aku yakin sekali bahwa dia tak mungkin tega
meninggalkan aku atau membiarkanku disakiti oleh Mami. Yakin sekali.
“Uhuk, uhuk,”
sindirku pada penumpang bus di sebelahku.
Sudah kusindir
begitu tapi sepertinya ia cuek. Kayaknya paham tapi tetap cuek. Sudah mati rasa
barangkali. Sayang sekali memang karena bus ini pun terlalu lama ngetem. Masih seperti dulu, tak akan
berangkat jika belum penuh.
Di jam-jam nanggung
ini, lumayan sulit mencari penumpang. Coba kalau mulai jam dua ke atas, pasti
gampang. Sekilas, kupandang Giant Supermall yang bertengger cukup megah persis
di samping terminal Penggaron.
Berhubung panas dan
haus, rasanya ingin mampir sebentar, ngadem.
Tapi, segera kuurungkan niat karena rupanya, bus yang kutumpangi ini sudah
mulai jalan.
“Juwangi, Juwangi,”
ujar sang kondektur menawari beberapa pejalan kaki.
Sementara yang
ditawari malah melengos. Jawab saja tidak. Si kondektur terlihat marah tapi
sudah maklum. Memang ada berbagai macam jenis penumpang di dunia ini.
Pak Sopir asik
sendiri di depan setirnya. Sebatang rokok telah disulut. Selanjutnya, ia pilih
beberapa VCD bajakan yang kuduga pasti dangdut. Tak salah karena langsung ada
tulisan Pallapa di layar TV 14’ sana.
Beruntung karena
yang diputar tak koplo-koplo amat. Dari beberapa segi, Pallapa bisa
ditoleransi. Baik setelan para biduannya maupun jenis lagu yang dibawakan.
Alhasil, sesekali kulirik juga, kudengarkan sambil kunikmati dalam hati.
“Arem-arem, Mbak?” tanya seorang penjual arem-arem padaku.
Kugelengkan kepala
untuk menjawabnya.
Tak berapa lama,
muncul penjual es. Kugelengkan kepala juga usai dia menawariku dengan melas.
Pak Sopir itu
benar-benar menipuku. Tadi seperti sudah mau jalan tapi malah tidak jadi. Kalau
begitu harusnya aku benar-benar mampir dulu ke Giant. Tapi, takut kecelik jika mampir sedang bus malah
pergi.
Beberapa menit
kemudian, penjual arem-arem dan es
kembali masuk lagi. Tak ada alasan untuk menolak. Kubeli masing-masing dagangan
mereka; satu air es botol dan dua arem-arem
serta satu bungkus tahu pong seharga seribu.
Ternyata nikmat
sekali rasanya. Entah karena kelaparan atau benar-benar nikmat. Yang jelas, dua
arem-arem langsung ludes kutelan
sendiri. Menyusul selanjutnya sebungkus tahu pong yang tak bakalan kutawarkan
ke lelaki gondrong berjaket kulit di sebelahku yang masih asik dengan rokoknya.
Setelah cukup
kenyang, aku semangat lagi untuk berpikir. Memang susah jadi pengangguran. Jadi
pingin kerja. Apa sajalah agar tak hanya bengong seharian. Sekalian untuk
menghindari Rio tentu saja.
Sering-sering di
rumah, pasti akan semakin banyak peluang yang akan dimanfaatkannya. Kalau
begitu, memang harus kerja! Tapi, kerja apa?
Sering sangat
hendak mengambil selembar ijazah SMP yang masih ketinggalan di rumah Mami.
Sekarang ini, pabrik-pabrik garmen banyak kok yang mau menampung lulusan SMP.
Kalau di Penggaron sudah membludak, di Pelabuhan juga Ungaran, lowongan masih
banyak.
Iya kalau masih
baik-baik tersimpan di lemari. Jika Mami iseng terus membakarnya, matilah sudah
aku. Lagian toh aku tak punya KTP. Di pabrik, minimal ya harus punya KTP. Mau
dibuat di mana coba jika Akta Kelahiran pun aku juga tak punya.
Sempat tergiur
untuk jadi pemandu lagu di tempat karaoke yang memang ada banyak di kawasan
Bandungan, dekat rumah Mbak Dian juga. Di sana, katanya tak butuh KTP apalagi
ijazah. Memang ada beberapa yang pada akhirnya juga harus melayani ‘plus-plus’
tapi kan bisa nolak jika tidak mau.
Mungkin memang
harus kuterima saja tawaran dari Mas Hadi, pacar Mbak Dian itu. Jaminan
diterima sudah pasti. Toh dia janji tak akan memaksaku jika aku memang hanya
ingin jadi pemandu lagu yang murni.
Baiklah, ujarku
dalam hati mantap. Kalau begitu, nanti saat pulang biar kukatakan langsung pada
Mbak Dian. Selain dapat gaji lumayan dengan tak usah terlalu keras bekerja, toh
sekalian menghabiskan waktu luang; biar tidak kosong juga pikiran.
Di depan sana,
dangdut masih diputar. Kembali kunikmati beberapa alunannya yang memang tak
selalu mesum selayaknya persepsi negatif yang terlanjur menjamur saat ini. Tak
hanya setelan yang lumayan sopan tapi juga suara penyanyi yang tak hanya
dipilih sekadar cantik di luar.
Beberapa tahun ke
depan, jika kualitas itu dipertahankan, aku yakin dangdut akan menggoyang, tak
hanya Indonesia tapi juga dunia. Biar bumi gonjang-ganjing
digoyang dangdut, ha-ha…
Tapi, kalau hendak
menggoyang dunia tentu saja tak boleh hanya mempertahankan tapi juga menaikkan
kualitas. Sayang sekali suaraku tak semerdu para biduan Pallapa itu. Apa perlu
latihan di kamar mandi juga di dapur sambil masak?!
Akh, kelamaan juga.
Lagian, jadi biduan kan harus hafal semua lagu entah yang populer atau yang
tidak. Mana mungkin aku mau. Pasti bosan dan malas jika harus bisa semua sedang
aku cuma Five Minutes sukanya.
Ya sudahlah. Biar itu
digarap para aktivis dangdut saja. Bagianku mungkin bukanlah di tempat yang
setinggi itu. Siapa juga aku ini. Hanya anak haram yang cuma lulusan SMP.
Berani-beraninya bermimpi besar untuk dangdut supaya bisa go international.
Kuedarkan pandangan ke luar jendela bus yang
mulai melaju. Semilir angin mulai merangsak masuk. Menelusup pelan melintasi
rambut di kepalaku yang sempat basah oleh keringat. Udara semakin panas namun
aku lumayan puas. Setidak-tidaknya, aku telah mencapai sebuah keputusan kecil
untuk diriku sendiri.
Baca juga: